Intervensi Publik dalam Penjatuhan Putusan dan Upaya Mengatasinya Melalui Pendekatan Hyperrealism

Pendekatan hyperrealism menawarkan kerangka filosofis yang relevan dan aplikatif bagi hakim Indonesia dalam mengatasi tantangan intervensi publik dalam proses penjatuhan putusan.
Majelis Hakim PN Sawahlunto menjatuhkan pidana penjara selama 12 tahun terhadap Terdakwa Sofyan (58) pada sidang pembacaan putusan yang digelar di Ruang Sidang Cakra pada Selasa (18/3/2025). Foto PN Sawahlunto.
Majelis Hakim PN Sawahlunto menjatuhkan pidana penjara selama 12 tahun terhadap Terdakwa Sofyan (58) pada sidang pembacaan putusan yang digelar di Ruang Sidang Cakra pada Selasa (18/3/2025). Foto PN Sawahlunto.

Pendahuluan

Pada era digital dengan perkembangan media sosial yang masif, opini publik semakin mudah terbentuk dan berpotensi mempengaruhi independensi peradilan. Hyperrealism, sebagai pendekatan yang mengakui realitas sosial sambil tetap berpegang pada prinsip hukum, menawarkan solusi pragmatis namun tetap idealis bagi hakim dalam menjalankan fungsinya. 

Sebagaimana diketahui, perkembangan teknologi informasi dan media sosial telah membawa perubahan signifikan dalam lanskap sosial-politik Indonesia, termasuk dalam bidang peradilan. Opini publik kini dapat terbentuk dan menyebar dengan cepat, menciptakan tekanan tersendiri terhadap proses peradilan, khususnya dalam kasus-kasus yang menarik perhatian publik. Fenomena ini menimbulkan tantangan bagi hakim untuk mempertahankan independensi dan objektivitas dalam penjatuhan putusan.

Intervensi publik terhadap proses peradilan sendiri sejatinya dapat termanifestasi dalam berbagai bentuk, mulai dari liputan media yang intens, kampanye di media sosial, hingga demonstrasi massa. Tekanan semacam ini berpotensi mengganggu prinsip fair trial dan independensi hakim yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Dalam konteks ini, penulis ber “hipotesa” jika pendekatan hyperrealism dapat muncul sebagai kerangka filosofis yang menawarkan perspektif unik dalam memahami dan merespons dinamika antara institusi peradilan dan masyarakat. Berbeda dengan formalisme hukum yang cenderung mengisolasi hukum dari konteks sosial, atau realisme hukum yang terlalu menekankan pada faktor eksternal, hyperrealism mencoba mencari titik keseimbangan yang ideal antara keduanya (Daniel A. Farber & Suzanna Sherry, 1997).

Tulisan ini bertujuan untuk mengeksplorasi bagaimana pendekatan hyperrealism dapat diadopsi oleh hakim di Indonesia sebagai instrumen untuk mengatasi intervensi publik sambil tetap menjaga integritas dan independensi peradilan.

Konsep Dasar Hyperrealism dalam Konteks Hukum Indonesia

Hyperrealism dalam konteks hukum dapat didefinisikan sebagai pendekatan yang mengakui adanya interseksi antara sistem hukum formal dengan realitas sosial, politik, dan budaya yang melingkupinya, tanpa mengesampingkan otonomi hukum itu sendiri (Tamanaha, 2006).

Pendekatan ini mengasumsikan, hakim tidak beroperasi dalam ruang hampa, melainkan dalam konteks sosial tertentu yang perlu dipahami dan diperhitungkan, namun tetap dengan berpegang pada prinsip dan norma hukum yang berlaku. Baudrilland dalam teorinya tentang simulacra dan simulasi, mengemukakan, dalam era post-modern, tanda dan representasi sering menggantikan realitas (Baudrillard, J, 1994).

Dalam konteks hukum dan peradilan, fenomena ini dapat dilihat dalam bentuk "trial by media" di mana narasi yang diciptakan oleh media dan opini publik dapat mendahului dan bahkan menggantikan proses peradilan yang sebenarnya (Surette, R.2015). Pendekatan hyperrealism berusaha untuk mengatasi tantangan ini dengan menekankan pentingnya kembali ke realitas faktual dan bukti empiris.

Dalam konteks Indonesia, hyperrealism dapat diposisikan sebagai jalan tengah antara tradisi civil law yang cenderung formalistik dengan kebutuhan untuk merespons dinamika sosial-politik yang kompleks. Pendekatan ini mengakui bahwa hakim Indonesia tidak dapat sepenuhnya mengabaikan realitas sosial, termasuk opini publik, namun tetap memprioritaskan kemandirian dalam penjatuhan putusan berdasarkan fakta dan hukum (Bedner, 2013).

Hyperrealism versus Pendekatan Konvensional

Untuk memahami posisi hyperrealism secara lebih komprehensif untuk kemudian dapat diterapkan oleh hakim dalam menyeimbangkan intervensi publik dan supremasi hukum, perlu dilakukan perbandingan dengan pendekatan-pendekatan konvensional dalam teori dan praktik hukum, di mana penulis dapat mengidentifikasikannya sebagai berikut:

Pertama, berangkat dari pendekatan “formalisme hukum” yang mana pendekatan ini menekankan pada sifat otonom hukum dan aplikasi mekanis dari aturan hukum terhadap fakta. Dalam pendekatan formalistik, hakim seharusnya tidak terpengaruh oleh faktor eksternal, termasuk opini publik. Di Indonesia, pendekatan ini tercermin dalam prinsip "hakim hanya tunduk pada hukum" sebagaimana diatur dalam UU Kekuasaan Kehakiman.

Kedua, realisme hukum, sebagai “antitesa” formalisme hukum, realisme hukum menekankan, hukum adalah produk dari faktor sosial, ekonomi, dan politik. Pendekatan ini cenderung skeptis terhadap klaim objektivitas hukum dan mengakui bahwa putusan hakim dipengaruhi oleh faktor-faktor nonhukum. Walaupun tidak secara eksplisit dianut dalam sistem hukum Indonesia, elemen-elemen realisme dapat terlihat dalam praktik peradilan tertentu, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan pertimbangan keadilan sosial (Pompe, 2005).

Terakhir, hyperrealism sebagai sintesis yang mana hyperrealism mengakui bahwa hakim perlu memahami realitas sosial dan implikasi dari putusannya, namun tetap berpegang pada prinsip independensi dan supremasi hukum. Pendekatan ini tidak menolak pengaruh faktor eksternal, tetapi menawarkan kerangka untuk mengelola pengaruh tersebut secara konstruktif (Tamanaha, 2010).

Dalam konteks Indonesia, hyperrealism dapat dilihat sebagai pengembangan dari konsep "hukum progresif" yang diperkenalkan oleh Satjipto Rahardjo, yang menekankan, hukum harus dimaknai dalam konteks sosial dan bergerak bersama dinamika masyarakat, namun tetap berpegang pada prinsip-prinsip hukum fundamental (Rahardjo, 2006).

Implementasi Pendekatan Hyperrealism oleh Hakim Indonesia

Implementasi pendekatan hyperrealism memerlukan kesadaran dan mekanisme kognitif tertentu dari hakim dalam memproses informasi yang berasal dari domain publik, hal tersebut dalam pandangan penulis dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :

1. Pengakuan dan Kesadaran Kritis 

Langkah pertama adalah pengakuan bahwa hakim, sebagai manusia, tidak dapat sepenuhnya mengisolasi diri dari informasi publik. Namun, hakim dapat mengembangkan kesadaran kritis terhadap informasi tersebut, mengidentifikasi potensi bias, dan melakukan proses filterisasi secara sadar (Leiter, 2012).

2. Diferensiasi Sumber Informasi

Hakim perlu membedakan antara berbagai sumber informasi publik berdasarkan kredibilitas, relevansi, dan nilai pembuktiannya. Informasi dari media massa dan media sosial perlu ditempatkan dalam hierarki yang tepat dalam proses pengambilan keputusan.

3. Kontekstualisasi dalam Kerangka Hukum

Informasi yang diperoleh dari domain publik perlu dikontekstualisasikan dalam kerangka hukum yang berlaku. Hakim dapat mengakui eksistensi opini publik tanpa harus menjadikannya sebagai dasar utama dalam pengambilan keputusan (Bedner, 2010).

Di Indonesia, mekanisme kognitif ini dapat diperkuat melalui program pelatihan khusus bagi hakim, seperti yang telah diselenggarakan oleh Pusdiklat Mahkamah Agung RI, yang memasukkan modul tentang independensi peradilan dalam era digital.

Strategi Komunikasi dan Manajemen Persepsi

Secara kontekstual, pendekatan hyperrealism juga melibatkan strategi komunikasi yang efektif untuk mengelola persepsi publik terhadap proses peradilan, strategi yang bisa diambil yakni dengan transparansi selektif, hakim dapat menerapkan prinsip transparansi selektif, di mana aspek-aspek tertentu dari proses pengambilan keputusan dikomunikasikan kepada publik, sementara tetap menjaga kerahasiaan aspek-aspek lain yang diperlukan untuk menjamin independensi (Pompe, 2005).

Strategi selanjutnya, memberikan penjelasan “rasional” atas putusan.Putusan yang ditulis dengan jelas dan komprehensif, dengan penjelasan rasional yang kuat, dapat membantu publik memahami dasar hukum dan logika di balik suatu putusan, sehingga mengurangi persepsi negatif atau kecurigaan terhadap proses peradilan.

Strategi terakhir yakni, engagement publik secara terstruktur. Hakim dapat terlibat dalam bentuk engagement publik terstruktur, seperti diskusi akademis, seminar, atau publikasi artikel, sebagai sarana untuk mengedukasi masyarakat tentang prinsip-prinsip hukum dan proses peradilan (Lindsey & Butt, 2018).

Mahkamah Agung RI telah mengambil langkah progresif dalam hal ini melalui program "Keterbukaan Informasi Publik" yang memungkinkan akses publik terhadap putusan pengadilan melalui platform digital, sambil tetap menjaga independensi proses deliberasi hakim.

Rekonseptualisasi Independensi dalam Era Digital

Dalam pandangan penulis, penggunaan pendekatan hyperrealism oleh hakim sebenarnya dapat mendorong rekonseptualisasi independensi peradilan yang lebih nuansir khususnya dalam konteks era digital hal tersebut dapat tergambar dalam beberapa konteks, yang pertama, antara independensi substantif dan isolasi total, di mana hyperrealism membedakan antara independensi substantif dalam pengambilan keputusan dengan isolasi total dari realitas sosial. Hakim oleh karenanya dapat tetap independen secara substantif meskipun menyadari dan mempertimbangkan implikasi sosial dari putusannya (Tamanaha, 2010).

Selain itu, lembaga peradilan juga perlu melakukan adaptasi institusional untuk menghadapi realitas digital, seperti pengembangan protokol media dan guidelines etis bagi hakim dalam menghadapi tekanan publik.

Selanjutnya secara kontekstual, diperlukan perlindungan struktural bagi hakim dari tekanan publik yang berlebihan, termasuk melalui mekanisme legal dan institusional yang menjamin keamanan jabatan dan perlindungan dari intimidasi.

Rekonseptualisasi ini sejalan dengan semangat reformasi peradilan di Indonesia yang menekankan pada independensi yang bertanggung jawab (accountable independence), bukan independensi yang terisolasi dari konteks sosial.

Membangun Trust dan Legitimasi Publik

Paradoksnya, dengan mengakui realitas sosial dan mengadopsi pendekatan hyperrealism, hakim justru dapat memperkuat legitimasi dan kepercayaan publik terhadap institusi peradilan melalui beberapa hal berikut:

1. Resonansi Sosial

Putusan yang mempertimbangkan konteks sosial namun tetap berpegang pada prinsip hukum cenderung memiliki resonansi sosial yang lebih kuat, sehingga lebih mudah diterima oleh masyarakat (Bedner, 2016).

2. Eliminasi Kecurigaan

Dengan transparansi selektif dan komunikasi yang efektif, pendekatan hyperrealism dapat membantu mengeliminasi kecurigaan publik terhadap proses peradilan yang sering dianggap "kotak hitam" atau tidak transparan.

3. Pembangunan Narasi Hukum yang Inklusif

Hyperrealism memungkinkan pembangunan narasi hukum yang lebih inklusif, yang mengakomodasi keberagaman perspektif sosial sambil tetap menegakkan prinsip-prinsip hukum fundamental (Rahardjo, 2010).

Dalam konteks Indonesia, pembangunan trust dan legitimasi tersebut pada dasarnya sejalan dengan program "Pembaruan Peradilan" yang sudah lama diluncurkan oleh Mahkamah Agung RI, yang pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan dengan komponen utama yakni transparansi dan akuntabilitas.

Simpulan

Pendekatan hyperrealism menawarkan kerangka filosofis yang relevan dan aplikatif bagi hakim Indonesia dalam mengatasi tantangan intervensi publik dalam proses penjatuhan putusan. Dengan mengakui interseksi antara sistem hukum formal dengan realitas sosial, pendekatan ini memungkinkan hakim untuk tetap berpegang pada prinsip independensi peradilan sambil merespons secara konstruktif terhadap dinamika sosial-politik yang melingkupinya.

Implementasi pendekatan hyperrealism memerlukan pengembangan mekanisme kognitif tertentu oleh hakim dalam memproses informasi publik, strategi komunikasi yang efektif, serta rekonseptualisasi independensi peradilan dalam konteks era digital. Dengan pendekatan yang tepat, hyperrealism justru dapat memperkuat legitimasi dan kepercayaan publik terhadap institusi peradilan.

Sebagai langkah ke depan, diperlukan integrasi pendekatan hyperrealism dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan hakim di Indonesia, pengembangan guidelines praktis bagi hakim dalam menghadapi tekanan publik, serta penelitian empiris lebih lanjut tentang efektivitas pendekatan ini dalam konteks spesifik sistem peradilan Indonesia.