Tak Semua Mimpi Dimulai dari Cita-Cita
Tidak semua orang tumbuh dengan cita-cita menjadi hakim. Beberapa pernah ingin menjadi guru, jaksa, dosen, atau penyiar radio. Ada pula yang saat ditanya soal masa depan, hanya menjawab apa pun yang terdengar aman: “kuliah negeri, kerja jelas, penghasilan tetap”.
Tetapi hidup bukan garis lurus. Ia melengkung, berbelok, bahkan kadang membuat kita tersandung ke arah yang justru menjadi awal takdir. Seperti enam hakim muda yang kini bertugas di Pengadilan Negeri Merauke. Mereka berasal dari latar belakang berbeda, dengan perjuangan yang tak seragam.
Ada yang menyelesaikan studi tepat waktu, ada pula yang harus menyambi kerja hingga tujuh tahun. Ada yang lolos seleksi hakim di percobaan pertama, dan ada yang gagal berkali-kali sebelum akhirnya diterima.
Namun satu hal menyatukan mereka: keteguhan hati untuk mencoba, dan keberanian untuk melangkah.
Penempatan yang Mengubah Segalanya
Hari pengumuman kelulusan adalah peristiwa penting. Tetapi titik balik yang sebenarnya datang setelah itu saat surat penempatan tiba.
Merauke.!
Nama yang dulu hanya dikenal dari pelajaran IPS waktu SD. Kota yang terletak di ujung Timur Indonesia, tempat yang jauh dari pusat, mahal tiketnya, dan nyaris tak ada teman yang bisa diajak bertukar kabar. Reaksi mereka pun beragam: antara galau,bingung, terkejut, tertawa miris, hingga menangis diam-diam.
Namun waktu tetap berjalan. Tiket dipesan. Koper dikemas. Peta dijelajahi. Dan akhirnya, dengan degup jantung yang tak bisa dijelaskan, mereka pun berangkat.
Palu Pertama, Napas yang Tertahan
Di Merauke, mereka disambut oleh kantor pengadilan yang sederhana tetapi hidup. Para staf ramah, hakim-hakim senior tidak menjaga jarak, dan ketua pengadilan memperlakukan mereka bukan sebagai bawahan, tetapi sebagai kawan seperjuangan.
“Kalau belum tahu, bilang saja. Jangan malu bertanya,” ucap beliau suatu hari.
Saat sidang pertama tiba, toga terasa berat, suara gemetar, dan palu diketuk dengan tangan yang belum sepenuhnya yakin. Tetapi justru di sanalah titik awal itu dimulai.
Perlahan mereka sadar, menjadi hakim bukan hanya soal tahu hukum. Tetapi soal hadir dengan tenang saat orang lain panik, dan tegas saat orang lain ragu.
Pelajaran yang Tak Ada di Buku
Tak ada diktat pelatihan yang mengajarkan:
- Cara menghadapi terdakwa yang menangis seperti ayah sendiri.
- Menyusun pertanyaan untuk saksi yang buta huruf.
- Menenangkan para pihak yang saling berteriak.
- Menulis putusan saat listrik padam tiga kali, dan deadline tinggal satu malam.
Itu semua harus dijalani, satu per satu. Dan hanya yang bertahanlah yang akhirnya belajar.
Realita dan Ketahanan
Ketika ditanya apakah kenyataan menjadi hakim sesuai harapan, jawabannya beragam:
“Cukup sesuai. Karena saya sudah pernah magang.”
“Tidak sesuai. Tetapi saya tahu, ini bukan profesi untuk kenyamanan. Ini profesi untuk keteguhan.”
“Saya masih menyesuaikan. Tetapi saya bertahan.”
Tantangan terberat bukan soal hukum, tetapi soal mental: jauh dari keluarga, sunyi dalam kesepian, menahan rasa saat merasa disudutkan media, dan belajar bersikap netral ketika hati ikut terseret oleh cerita para pihak.
Sepucuk Surat untuk Hakim Muda
Barangkali ada hakim muda yang membaca ini di tengah malam, saat semua orang sudah tidur, dan hanya lampu meja yang masih menyala.
Barangkali kau baru selesai mengetik putusan sambil bergulat dengan rasa gugup yang tak kunjung pergi.
Itu wajar. Karena gugup bukan tanda lemah. Ia tanda bahwa hatimu belum beku. Bahwa kau masih tahu, kekuasaan yang tidak digenggam dengan gentar, akan mudah menjadi congkak.
Jangan terburu pindah. Jangan buru-buru menyimpulkan bahwa tempat ini terlalu sepi untuk tumbuh.
Karena diam-diam, tempat sunyi justru tempat yang subur bagi jiwa yang bersungguh-sungguh.
Dan Dulu, Beliau Juga Dari Sini
Tak banyak yang tahu bahwa Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia saat ini, Prof. Dr. H. Sunarto, S.H., M.H., memulai jejaknya dari tempat yang sama: PN Merauke.
Dulu dia juga gugup saat mengetuk palu pertamanya. Dulu juga duduk di ruang sidang yang sederhana. Tetapi dia bertahan. Dan dari titik paling Timur negeri ini, dia perlahan melangkah, satu demi satu, hingga kini menapaki puncak tertinggi Mahkamah Agung.
Jejak itu masih terasa. Walau tak terlihat, semangatnya menyala di meja-meja sidang yang kini diisi para hakim muda.
Karena Matahari Selalu Terbit dari Timur
Hari ini mulai bersidang, enam hakim muda berjalan dengan toga yang mulai lentur, tangan yang mulai mantap, dan hati yang masih menjaga pesan-pesan sederhana dari orang tua: shidiq, amanah, fathonah.
Kejujuran agar tak memelintir kebenaran. Tanggung jawab agar tak menyalahgunakan kepercayaan. Kebijaksanaan agar mampu membaca lebih dari sekadar teks hukum, tetapi juga realitas kemanusiaan.
Karena pada akhirnya, menjadi hakim bukan hanya soal pasal demi pasal. Tetapi soal teguh berdiri dalam sunyi, saat tak ada yang menonton, dan tetap memilih untuk adil.
Dan ketika ditanya, “Mau jadi hakim seperti apa lima tahun ke depan?”, mereka menjawab ringan tetapi dalam:
“Yang tetap sederhana.”
“Yang tidak kehilangan empati.”
“Yang kuat, tetapi masih bisa menangis diam-diam.”
“Yang selalu ingat pesan Ibu.”
Dan Di Ujung Semua Ini, Kami Percaya
Bahwa bibit yang ditebar Mahkamah Agung ke seantero pelosok negeri
Dari Sabang hingga Merauke bukan sekadar barisan aparatur hukum.
Mereka adalah matahari-matahari kecil
Yang tumbuh dalam senyap,
Belajar menyinari dari tempat yang jauh,
Menempa diri dalam keterbatasan,
Perlahan membentuk ruh keadilan dalam setiap putusan.
Mereka belum seterang yang di pusat.
Tetapi mereka sedang menyala dengan cahaya yang jujur,
Dengan keyakinan yang tidak terburu-buru,
Dengan tekad untuk menjadi terang
Yang membuat publik percaya lagi
Bahwa hukum bisa adil,
Bahwa hakim bisa manusiawi,
Bahwa keadilan bisa tumbuh dari Timur.
Karena seperti Matahari,
Mereka tak pernah berhenti belajar Terbit