Menelusuri Sejarah Penjara Boven Digoel: Tempat Pembuangan dan Pengasingan Perintis Kemerdekaan

Selain keindahan dan kekayaan alam yang mendunia, tanah Papua menorehkan sejarah nasional dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Cagar budaya penjara Boven Digoel di Provinsi Papua Selatan, Kabupaten Boven Digoel. Foto budaya-data.kemdikbud.go.id
Cagar budaya penjara Boven Digoel di Provinsi Papua Selatan, Kabupaten Boven Digoel. Foto budaya-data.kemdikbud.go.id

Membicarakan tentang Papua, yang terlintas di kepala adalah keindahan dan kekayaan alamnya.

Pesona Papua dapat dilihat adanya Puncak Carstensz Pyramid, di Pegunungan Jayawijaya sebagai puncak tertinggi Indonesia dan masuk dalam World Seven Summits, keindahan bawah laut Raja Ampat yang memperoleh penghargaan Internasional Blue Park Award pada Konferensi Kelautan PBB pada 2022 dan keindahan alam lainnya. Sedangkan untuk kekayaan alam Papua dapat dilihat dari berbagai jenis pertambangan yang dieksplorasi perusahaan nasional dan multinasional.

Selain keindahan dan kekayaan alam yang mendunia, tanah Papua menorehkan sejarah nasional dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Salah satu sejarah adanya penjara Boven Digoel, terletak di Sungai Digul, Provinsi Papua Selatan. Penjara Boven Digoel dibangun Pemerintah Kolonial Belanda, pada 18 November 1926. Pembangunannya saat kepemimpinan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Andries Cornelis Dirk de Graeff yang bersepakat dengan Dewan Hindia Belanda (Raad van Nederlandsch-Indie). 

Penjara atau saat ini bernama lembaga pemasyarakatan (Lapas), digunakan sebagai tempat melaksanakan pemidanaan bagi narapidana yang dihukum pidana penjara. Narapidana yang berada dalam penjara atau lapas dapat terdiri dari berbagai pelaku kejahatan.

Dalam sistem peradilan pidana modern, narapidana saat melaksanakan masa hukumannya di penjara atau LP tetap diperhatikan hak-haknya, seperti hak memperoleh remisi, mendapatkan pelatihan kerja dan berbagai hak warga binaan lainnya yang diatur peraturan perundang-undangan. Sedangkan penjara Boven Digul peruntukannya spesial, di mana pemerintah kolonial Belanda membangunnya sebagai tempat pembuangan atau pengasingan tanpa melalui proses peradilan. Dalam Bahasa Belanda disebut internering in kampen. 

Penjara Boven Digul untuk membuang atau mengucilkan tokoh-tokoh nasional yang dituduh melakukan perbuatan subversif, seperti penghasutan, pemogokan atau pemberontakan terhadap Kolonialisme di Hindia Belanda. Pembuangan atau pengucilan tanpa melalui proses peradilan dan hanya didasarkan hak Istimewa yang dimiliki Gubernur Jenderal Hindia Belanda, untuk bungkam pergerakan nasional yang mengkritik atau melawan eksistensi kolonialisme Belanda. Hak istimewa tersebut bernama Exorbitante Rechten. 

Keganasan Penjara Boven Digoel

Penjara Boven Digoel terdiri dari dua kamp, yakni Tanah Merah dan Tanah Tinggi. Kamp Tanah Merah merupakan penjara utama, jaraknya sekitar 455 km dari hulu Sungai Digoel, yang merupakan jalan utama menuju kamp pengasingan. Sedangkan kamp Tanah Tinggi berjarak 55 km dari Tanah Merah atau membutuhkan waktu tiga hari bilamana ditempuh dari Hulu Sungai Digoel.

Adapun untuk penempatan para interniran diklasifikasi dari sikapnya terhadap penjajah setelah dibuang ke Boven Digoel, bagi yang kooperatif di tempatkan pada Tanah Merah. Sedangkan interniran yang menolak bekerjasama dengan Belanda ditempatkan di Tanah Tinggi, yang aksesnya lebih terpencil dan tantangan alamnya lebih sulit dibandingkan kamp Tanah Merah

Sebagai tempat pengasingan, Boven Digoel dikenal akan keganasannya. Bahkan tidak sedikit para kaum Digulis (tokoh pergerakan yang menjadi penghuni kamp Boven Digoel) meregang nyawa selama masa pengasingan tersebut, ada yang meninggal karena tidak sanggup menderita penyakit TBC dan Malaria yang disebabkan kerasnya kamp Boven Digoel.

Demikian juga bagi interniran, yang berusaha kabur dari Penjara Boven Digoel sebagian besar mengalami kegagalan karena sulitnya wilayah Boven Digoel dan ancaman hewan buas seperti buaya yang menghantui areal sekitar penjara tersebut. Tercatat dalam sejarah, seseorang Digulis bernama Mangoenatmodjo meregang nyawa akibat terkaman buaya saat beraktivitas di Sungai Digoel.

Beberapa tokoh nasional pernah merasakan ganasnya penjara Boven Digoel, antara lain Mohammad Hatta (kelak Proklamator dan Wapres RI Pertama), Sutan Sjahrir (kelak Perdana Menteri RI Pertama), Sayuti Melik (Kelak penulis naskah proklamasi RI dan Anggota DPR RI) dan beberapa tokoh perintis kemerdekaan lainnya. Bahkan tidak jauh dari komplek penjara, terdapat makam para perintis kemerdekaan yang dikebumikan di Boven Digoel. 

Eksistensi Boven Digoel sebagai penjara sekaligus tempat pembuangan, mendapatkan kritikan dan pertentangan dari berbagai pihak. Salah satunya, ketika Bung Hatta dan Sutan Sjahrir diasingkan ke Boven Digoel, di mana pemerintah Belanda mendapatkan pertentangan baik dari dalam negeri atau luar negeri, sehingga mengakibatkan pemerintah Kolonial memindahkan Bung Hatta dan Sutan Sjahrir ke Banda Neira, Maluku. Kritik atas penjara Boven Digoel, juga lahir dari Jef Last seorang penyair Belanda. Jef Last memprotes keberadaan Penjara Boven Digoel melalui sajak-sajaknya yang tajam.

Demikianlah kisah penjara Boven Digoel, yang merupakan tempat pengasingan dan pembuangan bagi para tokoh nasional serta perintis kemerdekaan Indonesia. Saat ini, penjara Boven Digoel telah ditetapkan menjadi cagar budaya nasional sejak 26 Maret 2007.

Semoga kisahnya memberikan pelajaran dalam rangka penegakan hukum nasional, yang tetap memperhatikan perlindungan harkat dan martabat manusia. Demikian juga untuk mengingat para perintis kemerdekaan, yang telah berjuang untuk Indonesia merdeka. 
 

Penulis: Adji Prakoso
Editor: Tim MariNews