Beberapa waktu lalu, Kementerian Kesehatan RI menyampaikan himbauan kepada masyarakat Indonesia tentang kewaspadaan penyebaran virus corona atau covid. Himbauan tersebut, merujuk kondisi negara tetangga, seperti Singapura, Thailand dan Malaysia yang kembali menghadapi tantangan kesehatan dari virus covid.
Berdasarkan pemberitaan media massa, penduduk Singapura yang terpapar virus mematikan tersebut, berjumlah 14.200, per 3 Mei 2025 dan meningkat tajam dibandingkan minggu sebelumnya, di mana menyentuh angka 11.000 kasus. Sedangkan di negara gajah putih, Thailand, tercatat 53.563 jiwa mengidap virus covid, per 24 Mei 2025 dan lima orang dinyatakan meninggal dunia.
Sesuai rilis Kementerian Kesehatan, varian covid yang menyebar di Asia Tenggara saat ini, tergolong jenis omicron dan bentuk mutasi dari virus sebelumnya. Sebagai salah satu bentuk antisipasi, Kementerian Kesehatan menerbitkan surat edaran kepada seluruh institusi yang bertanggung jawab atas kesehatan masyarakat di daerah, menyampaikan bilamana terjadi penyebaran covid di wilayahnya.
Demikian juga, Indonesia telah memiliki seperangkat aturan yang mengatur tindakan preventif untuk cegah penyebaran wabah atau virus, termasuk memberikan hukuman pidana kepada individu atau badan hukum yang aktivitasnya memiliki potensi menyebarkan wabah atau virus di masyarakat.
Perangkat aturan hukum tersebut, antara lain diatur Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan, dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular.
Ambil contoh dalam UU Kesehatan, penanganan penderita wabah atau penyakit menular, yang ditandai dengan meningkatnya jumlah kematian akibat penyakit tersebut, serta menyebar dalam skala luas. Maka, penanganan penderita wabah, dengan cara isolasi, karantina dan/atau pengobatan perawatan, sebagaimana ketentuan Pasal 375 Ayat 2 UU Kesehatan.
Bagi individu atau korporasi yang tidak mematuhi penanggulangan kejadian luar biasa kesehatan dan wabah dan/atau secara sengaja menghalang-halangi upaya penanggulangannya, maka dapat dipidana denda paling banyak Rp500 juta. Selain pidana denda, korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan, berupa pembayaran ganti rugi, pencabutan izin tertentu dan/atau penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha korporasi, sesuai Pasal 448 UU Kesehatan.
Selain pidana denda, bagi perbuatan tidak mematuhi atau sengaja halangi penanggulangan kejadian luar biasa kesehatan dan wabah, dimana individu yang seharusnya melakukan karantina kesehatan, tetapi tidak melakukannya, sehingga akibatkan situasi darurat kesehatan masyarakat dapat dipidana penjara paling lama satu tahun dan/atau denda paling banyak Rp100 juta, sesuai Pasal 93 UU Karantina Kesehatan.
Terdapat contoh kasus, Rachel Vennya, selebgram nasional yang diadili dan dinyatakan melakukan tindak pidana pelanggaran karantina kesehatan ketika virus covid-19, sedang merebak dan meningkat tajam. Pengadilan Negeri Tangerang, melalui Putusan Nomor 21/Pid.S/2021/PN Tng yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 10 Desember 2021, dalam amar putusannya, Rachel Vennya dihukum pidana penjara selama empat bulan dan denda Rp50 juta subsider satu bulan kurungan, dengan masa percobaan pidana selama delapan bulan.
Pidana terhadap pelanggaran karantina kesehatan atau penanggulangan penyebaran kejadian luar biasa kesehatan dan wabah, juga telah terjadi era kolonial Belanda. Bagaimana ketentuan hukum pidananya, ketika masih berstatus Hindia Belanda? Akan penulis uraikan, dalam uraian artikel di bawah ini.
Hukuman Pidana Atas Pelanggaran Karantina Kesehatan dan Penyebaran Wabah Penyakit, Era Kolonial Belanda
Ratusan tahun Belanda melakukan kolonialisme di Nusantara, tidak sedikit seperangkat aturan disusun untuk menyelenggarakan ketertiban umum di kalangan rakyat. Salah satunya, aturan karantina kesehatan dan upaya mencegah penyebaran wabah di wilayah Hindia Belanda. Apalagi beberapa wabah menular, seperti penyakit pes atau plague, pernah mengakibatkan hilangnya nyawa secara masif, merusak sendi sosial masyarakat, dan membuat ambruk tatanan perekonomian.
Virus pes disebabkan gigitan kutu, yang terinfeksi pada tikus atau hewan pengerat lain, ketika mengigit manusia atau melalui kontak cairan pada tubuh hewan yang terinfeksi, dimana jadi momok rakyat bumiputera, periode 1900-an. Sebagai upaya penanggulangan wabah pes, pemerintah Kolonial mengeluarkan ketentuan hukum dan termuat dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie No 277 Tahun 1911.
Ketentuan dimaksud, memberikan otoritas kepada pejabat kolonial untuk mengkarantina wilayah yang terdampak wabah pes. Dengan demikian, adanya pembatasan ruang gerak individu untuk masuk dan keluar daerah yang terkontaminasi wabah pes. Selain itu, terdapat ancaman pidana bagi para pihak yang melanggarnya.
Berdasarkan catatan historis yang dihimpun media De Sumatera Post, pelaksanaan karantina kesehatan dilakukan secara gratis oleh pemerintah kolonial. Namun bagi pihak yang melanggar kewajiban karantina, dikenakan denda sejumlah 2.000 gulden atau pidana penjara selama dua tahun bagi golongan Eropa dan dua tahun kerja paksa bagi bumiputera.
Di ujung fase penanggulangan wabah pes, ketentuan hukum yang memberikan pidana kepada pelanggar penggulangan kesehatan, pemerintah melakukan perubahan. Bahwa rakyat diwajibkan untuk hidup bersih dan teratur, termasuk menata area rumahnya, sehingga tidak menjadi sarang tikus yang dapat sebarkan pes. Bagi subjek hukum, yang tidak indahkan ketentuan tersebut, dipidana denda sejumlah 100 gulden atau hukuman penjara maksimal enam hari, baik kalangan Eropa atau rakyat bumiputera, sesuai aturan hukum yang tercatat di Staatsblad No 484 Tahun 1916.
Wabah pes berhenti, digantikan penyebaran virus influenza pada zaman kolonial Belanda. Pemerintah memberlakukan kembali karantina kesehatan, yang dituliskan dalam Staatsblad No 723 Tahun 1920. Bagi individu keluar dari daerah terjangkit virus tersebut, dikenakan pidana denda, termasuk yang menolak proses karantina kesehatan.
Demikianlah, artikel tentang hukuman pidana pelanggaran karantina kesehatan dan penanggulangan wabah penyakit menular, semoga dapat menambah referensi bagi para pembacanya. Semoga tidak ada lagi penyebaran wabah di Indonesia, sehingga tidak diperlukan penerapan pidana bagi para pelanggar karantina kesehatan dan penanggulangan wabah penyakit menular.