“Kegelapan akan selalu menyelimuti peradilan, jikalau tidak ada lilin – lilin kecil yang menerangi jalan sang Pencari Keadilan, teguhkah kamu menerangi jalan itu?”
Berdasarkan data dokumen yang dirilis Mahkamah Agung pada 27 Desember 2024, jumlah dan jenis sanksi penegakan disiplin yang dikenakan kepada hakim dan aparatur peradilan selama 2024, sebanyak 206 sanksi disiplin. Terdiri dari 79 sanksi berat, 31 sanksi sedang, dan 96 sanksi ringan.
Laporan hukuman disiplin, setidaknya menunjukkan masih terdapat ketidakpatuhan etika, terutama permasalahan integritas di kalangan hakim dan aparatur di Mahkamah Agung selama menjalankan tugasnya. Sepatutnya, pelanggaran tidaklah boleh terjadi, mengingat hakim adalah sosok yang selalu dituntut menjadi teladan integritas dalam setiap aspek perilaku dan keputusannya.
Lebih lanjut, fenomena sosial di masyarakat mendukung data tersebut. Pemberitaan media massa saat ini, mengungkapkan masih maraknya terjadi pelanggaran integritas di kalangan penegak hukum Indonesia. Adapun beberapa isu pemberitaan terkait integritas tersebut dapat dilihat dari pemberitaan media tentang:
1. Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Hakim Pengadilan Negeri Surabaya yang diduga menerima suap dalam penanganan perkara Ronald Tanur.
2. Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Jaksa di Kejaksaan Negeri Bondowoso yang terlibat dalam dugaan korupsi pengurusan perkara.
3. Polisi yang diduga melakukan pemerasan terhadap penonton berkewarganegaraan Malaysia di Djakarta Warehouse Project (DWP).
Hasil penelitian tersebut, menimbulkan keprihatinan mendalam di kalangan pejuang integritas. Namun, fakta tersebut tidaklah boleh diabaikan dan harus diterima, sebagai masalah serius yang perlu dibenahi oleh lembaga penegakkan hukum, khususnya Mahkamah Agung RI.
Upaya tersebut, dapat diwujudkan melalui pembentukan sistem, yang menekankan peningkatan integritas di kalangan hakim, aparatur peradilan, serta lembaga Mahkamah Agung itu sendiri.
Pembenahan sistem integritas, mulai tergambarkan ketika Mahkamah Agung mengeluarkan aturan Keputusan Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 15/BP/SK/PW1.1.1/II/2024 tentang Pedoman Penerapan Sistem Manajemen Anti Penyuapan (SMAP) di Pengadilan. Melalui aturan tersebut, Mahkamah Agung mulai menerapkan sebuah sistem baru dalam penegakkan integritas hakim dan aparatur peradilan.
Adapun SMAP merupakan suatu sistem manajemen yang merinci persyaratan dan menyediakan panduan untuk menetapkan, menerapkan, memelihara, meninjau, dan meningkatkan sistem manajemen antipenyuapan. Sistem ini dapat berdiri sendiri atau dapat diintegrasikan dengan keseluruhan manajemen.
Hal yang menarik dari SMAP, adanya manajemen risiko terhadap gratifikasi dan penyuapan di lingkungan Mahkamah Agung, serta badan peradilan di bawahnya. Manajemen risiko, dilakukan dengan menerapkan beberapa prosedur atau metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, menilai, memantau, dan mengendalikan segala kemungkinan risiko, yang akan dialami hakim atau aparatur peradilan.
Dalam hemat penulis, bilamana dilihat mendalam, sistem ini belum menjangkau keterlibatan sistem psikologis subjek SMAP, ketika sedang atau telah menghadapi suatu situasi penyuapan. Padahal, kondisi dan pengalaman saat menghadapi situasi penyuapan, salah satu faktor yang menentukan kualitas integritas hakim atau aparatur peradilan.
Kualitas tersebut, hanya dapat tergambarkan, bilamana terdapat wadah khusus yang mampu menilai sikap batin, psikologi, dan perilaku subjek SMAP tersebut. Melalui wadah khusus tersebut, diharapkan subjek SMAP dapat mengutarakan pengalamannya, terkait situasi penyuapan yang sedang dan telah dialaminya.
Selain itu, adanya pendekatan psikologis tersebut, pemangku jabatan dapat mengetahui informasi kondisi subjek SMAP, apakah ia menerima suap, menolaknya, atau mengalami guncangan traumatik atas perbuatan korupsi tersebut?
Kontemplasi, tidak terlepas dari pemikiran yang diutarakan oleh Gunardi Endro, yang menjelaskan integritas seorang individu, akan menjadi kenyataan, ketika ia selalu mengidentifikasi jati diri dengan komunitas-komunitas ideal, baginya dalam rangka mewujudkan dirinya. Gunardi Endro juga, meyakini seseorang yang berintegritas akan selalu melihat integritas itu sebagai:
1. Pertama, daya hidup partikularisme individu, wajib dilihat sebagai urgensi yang perlu dipertahankan.
2. Kedua, kualitas partikularisme yang dimiliki individu tersebut, wajib terus menerus ditingkatkan.
3. Ketiga, individu yang memiliki partikular integritas, harus dijaga dari sikap yang merendahkan integritas tersebut atas dasar kebaikan bersama.
Pendapat Gunardi Endro, menyadarkan penulis bahwa seseorang yang berintegritas ternyata memiliki tanggung jawab besar terhadap diri, prinsip, dan lingkungannya.
Sebagaimana, tanggung jawab tidak terbatas upaya mempertahankan integritas dalam jati dirinya, tetapi harus selalu mengevaluasi integritas secara terus menerus, agar nilainya semakin meningkat. Peningkatan integritas, sering kali berhadapan dengan sikap eksternal yang berusaha meremehkan kualitas integritas, dengan alasan demi kebaikan bersama.
Pemikiran ini, dapat dibenarkan dan sering kali menjadi rahasia umum dalam suatu instansi, sehingga tidak jarang individu membuat keputusan sulit dalam dirinya, yaitu merendahkan integritas demi kepentingan diri dan kelompoknya, atau tetap mempertahankan integritas, walaupun akan diabaikan lingkungannya. Akibat keputusan sulit dimaksud, tidak jarang berdampak pada karakteristik dan psikologis subjek integritas.
Akibat yang dapat terjadi, bagi para pejuang integritas adalah suatu pengucilan sosial. Sebagaimana, menurut Tonglin Jiang, dkk, dalam penelitiannya yang berjudul Ostracism Disrupsts Self-Continuity menjelaskan, pengucilan memengaruhi aspek diri, termasuk harga diri, dan ketidakpastian diri, yang memengaruhi kontinuitas diri (motivasi untuk melihat masa depan), sehingga afirmasi adalah cara yang dilakukan seseorang, untuk membantunya mengurangi dampak negatif pengucilan sosial.
Hemat penulis, hasil penelitian di atas dapat dibenarkan, karena setiap orang yang memperjuangkan integritas, selalu dihadapkan dengan pilihan dilematis antara memilih utopia duniawi, dengan merendahkan integritas dirinya atau pengucilan sosial, demi mempertahankan integritas keimanannya.
Kondisi psikologis tersebut, dapat terjadi karena dua faktor utama yaitu, lingkungan yang tidak mendukung untuk terbentuknya integritas atau terbentuknya block thinking (terjebak pada pola pikir terbatas/kaku) untuk memilih sebagai penyendiri dalam upaya pelindungan integritas dirinya.
Kriteria risiko tersebut, adalah hal-hal yang harusnya tidak dibiarkan dan perlu diatasi dengan tegas, namun humanis. Institusi seyogianya, memberikan ruang serta dukungan kepada Para Pejuang Integritas, untuk membentuk lingkungannya yang kondusif. Salah satu cara yang dapat dilakukan melalui pendekatan psikologis, yakni memberikan dukungan moral, berupa pemberian afirmasi positif.
Afirmasi positif, tidak hanya meningkatkan semangat juang Pejuang Integritas, tetapi juga, dukungan menumbuhkan keyakinan bahwa ia tidak sendiri dalam mempertahankan prinsip-prinsip integritas tersebut.
Kesendirian dimaksud, bukan sekedar hidup tanpa teman atau komunitas, melainkan kondisi batin seorang pejuang, yang tanpa disadari telah bermetamorfosis menjadi seorang pengembara, di jalan sunyi yang tidak terjamah. Keadaan tersebut, tidak sepenuhnya dapat dijangkau lingkup pertemanan dewasa, yang sarat kompleksitas habitus kerja dan sosial.
Dengan demikian, pendekatan psikologis, dari seorang profesional menjadi solusi yang perlu ditawarkan. Pendekatan dimaksud, diharapkan mampu menyentuh batin pejuang integritas, sehingga dirinya dapat mengungkapkan segala lika-liku yang dialaminya.
Perasaan terisolasi, memperjuangkan integritas acap kali menjadi tantangan terbesar dalam pendekatan psikologis. Kondisi demikian, dapat menyebabkan depresi berkepanjangan, hingga akhirnya menimbulkan pemikiran sempit nan dilematis pejuang integritas, untuk akhiri semangat dan idealisme yang telah dipupuknya selama ini. Maka, pendekatan psikologis tidak hanya sebagai upaya formalistik semata, namun tindakan terukur.
Terukur adalah urgensi sikap stakeholder, agar pejuang integritas tidak hanya merasa didukung secara verbal, tetapi memiliki kemudahan, fasilitas, dan dukungan yang tepat dalam menghadapi tekanan-tekanan. Pertanyaannya, sejauh mana kesiapan institusi berperan dalam menjawab tantangan tersebut dan strategi apa yang paling tepat untuk diterapkan?
Gagasan penulis, mencoba menjawab pertanyaan, dengan cara mulai membangun kerja sama sinergis, antara Mahkamah Agung dengan organisasi profesi, yakni Ikatan Psikolog Klinis Indonesia. Kerja sama tersebut dapat diformalkan dalam suatu Memorandum of Understanding, antara penyedia asuransi yang ada di Mahkamah Agung, dengan Ikatan Psikolog Klinis Indonesia. Melalui kolaborasi, diharapkan tersedia layanan konseling psikologis yang terintegrasi, dengan sistem perlindungan kesehatan hakim dan aparatur peradilan.
Selain itu, pendekatan psikologis diharapkan memperkokoh mentalitas dan integritas Sang Pejuang Integritas, sebab setiap pemikiran, prinsip, dan pergulatan batin yang dialaminya, berpengaruh dalam setiap keputusan yang diambilnya.
Pemberian dukungan psikologis, secara terus menerus, membangun afirmasi positif dan keseimbangan mental, bagi hakim dan aparatur peradilan. Sehingga, mereka dapat menjalankan tugasnya dengan penuh objektivitas, tanpa terpengaruh oleh beban psikologis yang berlebihan. Pendekatan psikologis, dapat dilakukan dalam bentuk assessment yang idealnya, dilaksanakan setidaknya sekali dalam setahun. Pelaksanaan assessment, dapat diupayakan dalam empat pendekatan tujuan, yaitu:
a. Sebagai landasan dalam menentukan kondisi psikologi dan permasalahan hidup yang dihadapi oleh hakim dan aparatur;
b. Sebagai penilai kualitas integritas hakim, berdasarkan keilmuan psikologi yang berbasis teknologi informasi.
c. Sebagai rekomendasi proporsional dalam menentukan lintasan kerja hakim dan aparatur. Dan;
d. Sebagai black box system penegakkan integritas hakim dan aparatur peradilan.
Selanjutnya, pendekatan tersebut, akan dijelaskan lebih lanjut dari perspektif penulis.
Pertama, sebagai landasan dalam menentukan kondisi psikologi dan permasalahan hidup yang dihadapi oleh hakim dan aparatur. Pendekatan ini didasarkan pada metode keilmuan psikologi klinis.
Seorang ahli, melakukan pengujian terhadap keadaan psikologi hakim dan aparatur peradilan, kemudian ia akan menentukan status, tingkatan, atau klasifikasi dari keadaan psikologi yang bersangkutan tersebut. Hasil pengujian, mengidentifikasi permasalahan psikologi yang dihadapi subjek selama kurun waktu satu tahun. Hasil dimakasud, menentukan faktor-faktor penyebab, evaluasi, dan upaya pemulihan terhadap kondisi psikis hakim atau aparatur yang bersangkutan.
Selanjutnya, bilamana ditemukan suatu keadaan yang mengguncang jiwa atau integritas seorang subjek, maka hal yang perlu dilakukan selanjutnya adalah pemantauan berkala terhadap subjek.
Pemantauan berkala, dilakukan untuk mengetahui sejauh mana keberlanjutan pemulihan dari psikologis subjek. Melalui pendekatan ini, diharapkan kondisi psikologis hakim atau aparatur peradilan yang mengalami keguncangan, membaik seperti sedia kala, tanpa mengurangi semangat integritas di dalam dirinya.
Kedua, sebagai penilai kualitas integritas hakim, berdasarkan keilmuan psikologi yang berbasis teknologi informasi. Pendekatan dimaksudkan, untuk menentukan apakah hakim atau aparatur peradilan bersangkutan bersikap jujur, terhadap nilai-nilai integritas yang melekat pada dirinya. Pendekatan, menekankan metode objektif dan inovatif, dalam menentukan kualitas integritas seseorang. Permulaan pendekatan, dimulai dari tindakan psikolog klinis yang melakukan serangkaian tes integritas, terhadap perilaku normatif subjek.
Selanjutnya hasil tes, akan disandingkan dengan kemutakhiran teknologi kekinian, yakni dengan penerapan lie detector (secara umum dikenal mesin kejujuran). Gagasan penulis terlihat sederhana, namun setidaknya dapat mengidentifikasi secara mendasar apakah hakim atau aparatur peradilan tersebut, pernah menerima suap atau gratifikasi, baik dari pihak internal maupun eksternal terhadap etika profesinya? Dengan demikian pendekatan dimaksud, dapat menjadi alat bantu institusi, dalam menilai standar integritas hakim dan aparatur peradilan secara berbasis data yang objektif.
Ketiga, sebagai rekomendasi proporsional dalam menentukan lintasan kerja hakim dan aparatur. Penilaian hasil tes psikologi dan integritas, pada pendekatan pertama dan kedua di atas, akan dijadikan dasar penilaian objektif pimpinan, dalam menentukan lintasan kerja hakim atau aparatur peradilan yang bersangkutan. Lingkup penentuan lintasan kerja tersebut, berorientasi pada penempatan, promosi, mutasi, maupun pembinaan terhadap hakim atau aparatur peradilan.
Hasil atau data yang diperoleh, terakumulasi secara digital dalam suatu basis data elektronik yang dikelola Mahkamah Agung. Di mana, data elektronik berisi riwayat psikologis dan rekam integritas masing-masing hakim dan aparatur peradilan. Dengan adanya basis data tersebut, berdampak pada transparansi dan objektivitas, dalam penentuan lintasan kerja hakim atau aparatur peradilan yang bersangkutan.
Keempat, sebagai black box system dalam penegakkan integritas hakim dan aparatur peradilan. Peristilahan black box system dalam tulisan ini dipinjam dari istilah yang lazim digunakan dalam dunia penerbangan.
Sebagaimana diketahui khalayak umum, black box dalam penerbangan pesawat bertujuan merekam seluruh data penerbangan, demikian juga pendekatan ini, bertujuan merekam seluruh penilaian integritas dan psikologis seorang hakim/aparatur peradilan, selama berdinamika di dunia kerjanya.
Dengan kata lain, black box system akan memberikan perlindungan diri bagi hakim/aparatur peradilan atas tuduhan suap/gratifikasi yang ditujukan pada dirinya. Setiap keraguan, setidaknya sudah dapat terjawab melalui black box system. Sistem ini, dapat menjadi sarana penenang hakim/aparatur peradilan dari setiap desas desus yang mengarah padanya.
Oleh karena itu, selain sebagai sarana layanan afirmasi psikologis, juga diperuntukkan untuk layanan uji kebenaran atas tindak tanduk hakim/aparatur peradilan dalam memperjuangkan nilai-nilai integritas, baik dalam diri maupun instansinya.
Opini penulis, sebagaimana diuraikan di atas, semoga dapat menjadi rujukan dalam ruang kontemplasi pembaca. Minimal setidaknya, opini penulis dapat memberikan cercah harapan, membangun suatu sistem integritas yang mumpuni bagi Para Pejuang Integritas di seluruh dimensi penegakkan hukum.
Daftar Pustaka
Jurnal:
- Endro, Gunardi. (Maret 2017) Menyelisik Makna Integritas dan Pertentangannya dengan Korupsi, Juenal Integritas Vol 3 Nomor 1.
- Jiang, Tonglin,et.al. (Desember 2020). Ostracism Disrupts Self - Continuity, Sage Journals (Personality and Social Psychology Bulletin Volume 47, Issue 9.
- Nurhalimah, Siti. (Februari 2017). Integritas Hakim Indonesia. Jurnal Adalah Buletin Hukum & Keadilan, Volume I Nomor 8.
- Suparman, Eman. (Maret 2017). Menolak Mafia Peradilan: Menjaga Integritas Hakim Menyelaraskan Perbuatan Dan Nuraninya. Jurnal Hukum & Pembangunan Ke - 47 No. 1.
Peraturan Perundang – Undangan:
Pedoman Keputusan Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 15/BP/SK/PW1.1.1/II/2024 Tentang Pedoman Penerapan Sistem Manajemen Anti Penyuapan (SMAP) di Pengadilan.
Media:
- Mahkamah Agung, “206 Sanksi Disiplin Dijatuhkan Kepada Aparatur Peradilan Selama 2024”, (Berita) Jumat, 27 Desember 2024.
- Komisi Yudisial, KY Dukung Langkah Tegas Kejaksaan Agung Lakukan Penegakkan Hukum OTT Hakim PN Surabaya¸ (Siaran Pers Nomor: 43/Siaran Pers/AL/LI.04.05/10/2024) Tanggal 23 Oktober 2024.
- Adhyasta Dirgantara dan Dani Prabowo, Jaksa Di Bondowoso Kena OTT KPK, Anggota DPR: Lembaga Mana Yang Paling Mulia?, Kompas.com, Kamis, 16 Noveember 2023.
- Alif Ilham Fajriadi, 9 Polisi Dihukum dalam Kasus Pemeraasan Penonton DWP 2024, Tempo, 7 Januari 2025.