Para penikmat sepak bola di seluruh dunia, pastinya memperhatikan beberapa seruan universal, jadi pesan dalam pertandingan resmi sepak bola. Pesan universal tersebut, dapat berupa perang melawan tindakan rasisme, khususnya yang ditujukan kepada para pemain sepak bola, baik diutarakan pemain atau pendukung lawannya.
Serangan rasial, ada yang ditujukan kepada warna kulit atau latar belakang agamanya, sebagaimana Samuel Eto’o mantan pemain Inter Milan dan Barcelona, yang diejek pendukung Racing Santander, dengan menirukan suara monyet, saat Eto’o menggiring bola, dalam pertandingan Liga Spanyol, antara Racing Santander melawan Barcelona pada 2006 silam.
Demikian juga, tindakan rasis terhadap Mesut Ozil, ekspemain Real Madrid dan timnas Jerman, yang diserang keyakinan atas agamanya oleh David Villa, mantan striker Barcelona dan timnas Spanyol, dalam pertandingan Piala Super Spanyol pada 2011.
Ungkapan diskriminasi rasial Villa tersebut, mengakibatkan insiden baku hantam di lapangan hijau. Bahkan Ozil, dalam wawancara dengan media, setelah pertandingan, menyatakan tindakan dirinya, dilandaskan membela agamanya, karena Villa telah menghina agama yang dianutnya.
Agamanya dihina dalam pertandingan sepak bola, juga dialami Miralem Pjanic, mantan pemain bola Juventus FC dan pemilik 115 caps untuk Timnas Bosnia Herzegovina. Momen rasisme tersebut, setelah Pjanic mencetak gol kemenangan Juventus melawan Brescia, di mana pendukung Brescia mengejek agama Islam, yang dianut Pjanic.
Secara internasional larangan tindakan rasisme dan upaya penghapusannya telah digencarkan melalui Konvensi internasional tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial (International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination), yang disahkan dalam Majelis Umum PBB pada 21 Desember 1965. Konvensi tersebut, hingga 2015, telah diterima dan diadopsi oleh 177 negara.
Negara Indonesia, telah mengadopsi konvensi antidiskriminasi rasial tersebut, dengan mengesahkannya dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999. Selain itu, ditegaskan juga dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya, seperti Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
FIFA sebagai induk sepak bola dunia, telah menerbitkan kode disiplin baru, yang menambahkan ruang lingkup perbuatan diskriminasi rasial. Di mana aturan tersebut, berlaku untuk semua pertandingan resmi di bawah FIFA, termasuk ketika laga kualifikasi Piala Dunia.
Demikian juga, FIFA telah membentuk gugus tugas untuk melawan segala bentuk tindakan diskriminasi rasial, dalam suatu laga sepak bola. Bahkan panitia pertandingan sepak bola, dapat menyampaikan pengumuman kepada penonton yang melakukan perbuatan rasisme, guna hentikan tindakan yang melanggar hukum internasional, selanjutnya pertandingan dapat dihentikan.
PSSI dan Timnas Indonesia sendiri, pernah dihukum oleh FIFA, karena tindakan xenophobia 300 pendukung Timnas kepada para pemain Bahrain, pada laga Indonesia vs Bahrain, dalam lanjutan Kualifikasi Piala Dunia 2026, di Stadion Gelora Bung Karno pada 25 Maret 2025.
Indonesia dinilai, telah melanggar Pasal 15 Kode Disiplin FIFA, yang melarang tindakan diskriminatif dan PSSI harus menerima hukuman membayar denda Rp400 juta, serta mengosongkan 15 persen stadion dalam laga resmi, setelah pertandingan Indonesia vs Bahrain.
Tampaknya, perang melawan rasialisme yang menyerang warna kulit, agama, latar belakang sosial, kebangsaan dan tindakan lain, wajib diresapi dan menjadi sikap bagi para penikmat olahraga kulit bundar tersebut. Apalagi bagi para pecinta sepak bola di tanah air, jangan sampai kecintaan pada Klub atau Timnas, mengakibatkan perbuatan yang melanggar hukum dan nilai-nilai universal.