Staatsblad 1882 Nomor 152 dan 153, Tonggak Awal Munculnya Peradilan Agama di Indonesia

Baru di masa Orde Baru, lahirlah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang memberikan landasan untuk mewujudkan peradilan agama yang mandiri dan sederajat.
Sidang landraad di Jawa (1890). Foto istimewa
Sidang landraad di Jawa (1890). Foto istimewa

Bagi sebagian masyarakat Indonesia mungkin jarang yang mengetahui sejak kapan peradilan agama mulai eksis dan berdiri di Indonesia. Minimnya literatur dan jejak sejarah menjadi alasan sulitnya menelusuri jejak peradilan agama di bumi pertiwi.

Terlebih lagi, peradilan agama yang memiliki kecenderungan dalam penerapan hukum Islam secara totalitas seringkali memunculkan pro dan kontra di kalangan masyarakat kala itu.

Sebelum Islam masuk ke Indonesia, di Indonesia khususnya wilayah Jawa dikenal dua peradilan, yaitu Peradilan Padu (pidana) dengan menggunakan hukum hindu dan Peradilan Perdata dengan menggunakan hukum adat.

Sebelum Belanda melancarkan politik hukumnya di Indonesia, hukum Islam sebagai hukum yang berdiri sendiri telah mempunyai kedudukan yang kuat, baik di masyarakat maupun dalam peraturan perundang- undangan negara. Kerajaan-kerajaan Islam yang pernah berdiri di Indonesia melaksanakan hukum Islam dalam wilayah kekuasaannya masing-masing.

Kerajaan Islam Samudra Pasai yang berdiri di Aceh Utara pada akhir abad ke-13 M, merupakan kerajaan Islam pertama yang kemudian diikuti dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam lainnya, misalnya: Demak, Jepara, Tuban, Gresik, Ngampel dan Banten.

Di bagian Timur Indonesia berdiri pula kerajaan Islam, seperti: Tidore dan Makasar. Pada pertengahan abad ke 16, suatu dinasti baru, yaitu kerajaan Mataram memerintah Jawa Tengah, dan akhirnya berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil di pesisir utara, sangat besar perannya dalam penyebaran Islam di Nusantara.

Dengan masuknya penguasa kerajaan Mataram ke dalam agama Islam, maka pada permulaan abad ke 17 M penyebaran agama Islam hampir meliputi sebagian besar wilayah Indonesia.

Agama Islam masuk Indonesia melalui jaIan perdagangan di kota-kota pesisir secara damai tanpa melaIui gejolak. Sehingga, norma-norma sosial Islam dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat Indonesia bersamaan dengan penyebaran dan penganutan agama Islam oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Dengan timbulnya komunitas-komunitas masyarakat Islam, maka kebutuhan akan lembaga peradilan yang memutus perkara berdasarkan hukum Islam semakin diperlukan.

Pada Masa Kolonial Belanda

Sejak 1800, pemerintah Hindia Belanda telah secara tegas mengakui bahwa Undang Undang Islam (hukum Islam) berlaku bagi orang Indonesia yang bergama Islam.

Pengakuan ini, tertuang dalam peraturan perundang-undangan tertulis pada 78 reglement op de beliedder regeerings van nederlandsch indie disingkat dengan regreeings reglement (RR) staatsblad 1854 No.129 dan staatsblad 1855 No. 2. Peraturan ini mengakui bahwa telah diberlakukan Undang-Undang Agama (godsdienstige wetten) dan kebiasaan penduduk Indonesia.

Pasal 78 RR 1854 berbunyi: “dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Indonesia asli atau dengan orang yang dipersamakan dengan mereka, maka mereka tunduk pada putusan hakim agama atau kepada masyarakat mereka menurut UU agama atau ketentuan-ketentuan lama mereka.”

Dalam Staatsblad 1835 Nomor 58 ditegaskan tentang wewenang peradilan agama di Jawa dan Madura, yang isinya perselisihan di kalangan orang Jawa dan Madura tentang perkara perkawinan atau pembagian harta benda dan sebagainya yang harus diputuskan menurut syariat Islam oleh ahli hukum Islam.

Akan tetapi, segala persengketaan dari pembagian harta benda atau pembayaran yang terjadi putusan itu harus dibawa ke pengadilan biasa (sekarang peradilan umum). Pengadilan itulah yang akan menyelesaikan dengan mengingat putusan ahli agama dan supaya putusan itu dijalankan. Waktu itu peradilan agama belum berbentuk institusi tetapi masih bersifat perorangan, ketika itu para hakim dipegang oleh para penghulu (ahli agama).

Secara yuridis formal, peradilan agama menjadi suatu institusi atau sebagai suatu badan peradilan yang terkait dalam sistem kenegaraan untuk pertama kali lahir di Indonesia (Jawa-Madura) pada 1 Agustus 1882. Kelahiran ini berdasarkan suatu keputusan Raja Belanda (Koninklijk Besluit), yakni Raja Willem III tanggal 19 Januari 1882 nomor 24 yang dimuat dalam Staatsblad 1882 nomor 152, di mana ditetapkan suatu peraturan tentang peradilan agama dengan nama “Piesterraden” untuk Jawa dan Madura.

Dalam bahasa Belanda disebut “Bepaling Betreffende de Priesterraden op Java en Madoera” atau disingkat dengan nama Priesterraad (Raad Agama). Keputusan Raja belanda ini dinyatakan berlaku mulai 1 Agustus 1882 termuat dalam Staatsblad 1882 nomor 153, sehingga dengan demikian dapat dikatakan kelahiran Pengadilan Agama jatuh pada tanggal 1 Agustus 1882. 

Selain itu, pada 1937 dengan No. 116 dan 610, pemerintah Belanda juga membentuk pengadilan di Kalimantan Selatan dan Timur, dengan sebutan Mahkamah Syari’ah, yang berwenang mengadili perkara perkawinan dan kewarisan.

Pada Zaman Jepang

Posisi Pengadilan Agama tetap tidak berubah kecuali terdapat perubahan nama menjadi Sooryo Hooin. Pemberian nama baru itu didasarkan pada aturan peralihan pasal 3 Osanu Seizu tanggal 7 Maret 1942 No. 1. Pada 29 April 1942, pemerintah bala tentara Dai Nippon mengeluarkan UU No.14 Tahun 1942 yang berisi pembentukan Gunsei Hoiin (Pengadilan Pemerintah Bala tentara) di tanah Jawa dan Madura.

Zaman Awal Kemerdekaan RI 

Pada 3 Januari 1946 dengan Keputusan Pemerintah Nomor 1/S.D. dibentuk Kementerian Agama, kemudian dengan Penetapan Pemerintah tanggal 25 Maret 1946 Nomor 5/S.D. semua urusan mengenai Mahkamah Islam Tinggi dipindahkan dari Kementerian Kehakiman ke dalam Kementerian Agama.

Langkah ini, memungkinkan konsolidasi bagi seluruh administrasi lembaga-lembaga Islam dalam sebuah wadah atau badan yang bersifat nasional. Berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 menunjukkan dengan jelas maksud-maksud untuk mempersatukan administrasi nikah, talak dan rujuk di seluruh wilayah Indonesia di bawah pengawasan Kementerian Agama.

Kemudian, melalui Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman RI,  No.14/1970, memberikan kedudukan Peradilan Agama sejajar dengan Pengadilan yang lain sebagai lembaga kekuasaan Negara yang menyelenggarakan peradilan.

“Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggarnya Negara Hukum Republik Indonesia” (UU Kekuasaan Kehakiman No. 14/1970 ps.1)

“Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan: a. Peradilan Umum, b. Peradilan Agama, c. Peradilan Militer, dan d. Peradilan Tata Usaha Negara”. (UU Kekuasaan Kehakiman No. 14/1970 ps. 10)

Masa Orde Baru

Baru di masa Orde Baru, lahirlah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang memberikan landasan untuk mewujudkan peradilan agama yang mandiri, sederajat, dan memantapkan, serta mensejajarkan kedudukan peradilan agama dengan lingkungan peradilan lainnya.

Di awal berdirinya peradilan agama, kala itu masih belum satu atap di bawah lingkungan Mahkamah Agung. Pada 2004 sejak munculnya Undang Undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 Tahun 2024, secara sempurna peradilan agama menyatu dengan Mahkamah Agung bersama peradilan umum, peradilan TUN, dan peradilan militer.

Penulis: Adeng Septi Irawan
Editor: Tim MariNews
Copy