Anak dan Hukum: Ketika Peradilan Berhadapan dengan Masa Depan

Menyelamatkan anak yang tersandung hukum bukan berarti membenarkan kesalahan, tetapi memastikan mereka tidak kehilangan masa depan.
ilustrasi sistem peradilan pidana anak. Foto kpai.go.id/freepik
ilustrasi sistem peradilan pidana anak. Foto kpai.go.id/freepik

Anak bukanlah orang dewasa dalam tubuh kecil. Mereka memiliki cara berpikir, merasakan, dan memahami dunia yang sangat berbeda. Namun ketika seorang anak terlibat dalam peristiwa hukum, sering kali masyarakat tidak memahami bagaimana sistem peradilan anak seharusnya bekerja. Padahal, anak yang berhadapan dengan hukum bukan hanya membutuhkan keadilan, tetapi juga perlindungan.

Sistem peradilan anak di Indonesia telah memiliki dasar hukum yang cukup jelas, salah satunya melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Di dalamnya, ditegaskan bahwa pendekatan yang digunakan adalah keadilan restoratif. Artinya, penyelesaian perkara anak dilakukan dengan melibatkan korban, pelaku, keluarga, dan masyarakat, agar semua pihak bisa mencapai pemulihan, bukan sekadar penghukuman.

Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif memiliki peran besar dalam memastikan bahwa setiap hakim yang menyidangkan perkara anak memahami pendekatan ini. Oleh karena itu, hakim anak harus memiliki sertifikasi khusus, agar mampu memutus perkara dengan lebih manusiawi dan berpihak pada kepentingan terbaik anak. Prinsip ini sejalan dengan Konvensi Hak Anak yang telah diratifikasi oleh Indonesia.

Namun dalam praktiknya, tidak jarang masih ada tekanan publik yang menginginkan hukuman berat, bahkan untuk anak. Media sosial juga kerap menjadi tempat penghakiman sebelum proses hukum berjalan. Di sinilah pentingnya edukasi publik bahwa peradilan anak bukanlah bentuk impunitas, melainkan bentuk perlindungan untuk masa depan bangsa.

Hakim sebagai ujung tombak keadilan dituntut untuk tetap netral namun juga empatik. Mahkamah Agung pun terus berinovasi melalui regulasi dan pembinaan kepada aparat peradilan, agar sistem peradilan anak berjalan sesuai dengan prinsip perlindungan anak. Solusi ke depan adalah peningkatan sosialisasi kepada masyarakat, integrasi antara lembaga hukum dan lembaga perlindungan anak, serta penguatan peran pendamping anak dalam setiap proses hukum.

Menyelamatkan anak yang tersandung hukum bukan berarti membenarkan kesalahan, tetapi memastikan mereka tidak kehilangan masa depan.

Penulis: Nur Amalia Abbas
Editor: Tim MariNews