Teori Hukum Feminis: Meneropong Ketimpangan dalam Struktur Hukum

Hukum berpihak kepada korban, yang memahami konteks, dan yang tidak buta terhadap struktur sosial adalah hukum yang layak disebut adil. Ketika hukum mampu berdiri di sisi mereka yang tertindas, saat itulah hukum benar-benar menjalankan misinya sebagai penjaga kemanusiaan.
Ilustrasi perlindungan perempuan dan anak. Foto istimewa
Ilustrasi perlindungan perempuan dan anak. Foto istimewa

Hukum sering dipuja sebagai penjaga keadilan, namun kenyataannya tidak semua suara mendapatkan tempat dalam ruang keadilan. Dalam senyap, struktur hukum telah membentuk bias yang menyingkirkan pengalaman, kebutuhan, dan realitas kaum perempuan. Filsafat hukum feminis hadir bukan menggantikan hukum yang ada, melainkan membongkar ketimpangan tersembunyi, dalam wajah hukum yang tampaknya netral.

Pandangan feminis dalam hukum bertolak dari keyakinan, sistem hukum tidak pernah benar-benar bebas dari budaya patriarki. Hukum lahir dalam sejarah dominasi laki-laki dan di banyak kasus, menyerap nilai yang lebih berpihak kelompok dominan tersebut. Ketika, perempuan diposisikan sebagai objek hukum, maka keadilan menjadi semu.

Berdasarkan filsafat hukum feminis, hukum tidak hanya dilihat sebagai norma, tetapi cermin kekuasaan. Ia bertanya, siapakah membuat hukum? Siapa diuntungkan dan  dikorbankan? Dengan pendekatan ini, hukum tidak lagi tampak netral, tetapi penuh warna sosial yang harus dibaca secara kritis.    

Contoh nyata ketimpangan, terlihat dalam kasus-kasus kekerasan berbasis gender. Kerap kali sistem hukum selain gagal berikan perlindungan maksimal bagi korban, juga gagal memberikan pemulihan. Dikarenakan hukum lebih sibuk menagih bukti-bukti formal, daripada menyelami penderitaan nyata yang dialami.

Padahal, korban tidak akan menjadi korban bilamana tidak ada pelaku. Selain itu, korban berhak mendapat pemulihan. Di sinilah letak pentingnya, pendekatan empatik dalam pembentukan dan pelaksanaan hukum, dari pada sekedar aspek-aspek prosedural.

Filsafat hukum feminis menolak standar keadilan yang hanya berpijak rasionalitas dingin dan prosedur formal. Keadilan harus menyentuh kenyataan yang dialami, mendengar luka yang dirasakan, dan bertindak dengan hati terbuka. Empati bukan kelemahan hukum, melainkan kekuatannya yang sesungguhnya.

Perempuan acapkali tidak hanya mengalami diskriminasi sebagai individu, tetapi juga sebagai bagian dari struktur sosial yang melanggengkan ketimpangan. Hukum harus mampu membaca struktur tersebut, bukan hanya menilai peristiwa secara terpisah. Tanpa pemahaman struktural, hukum hanya mengobati gejala dan bukan akar masalah.

Dalam sistem hukum, ketimpangan juga dapat terjadi pada akses keadilan. Perempuan yang tinggal di daerah terpencil, kurang berpendidikan, atau tergantung secara ekonomi, memiliki hambatan berlapis guna mengakses proses hukum. Maka, keadilan bukan hanya tentang isi hukum tetapi tentang siapa yang dapat menjangkaunya.

Filsafat hukum feminis, tidak berarti menolak peran laki-laki. Wujudnya, justru mengajak bersama-sama menciptakan tatanan hukum, yang inklusif, adil, dan manusiawi. Pendekatan ini, menolak dominasi dalam segala bentuknya dan menyerukan kemitraan setara, antarsemua warga hukum.

Dalam kerangka religius, prinsip keadilan tidak pernah eksklusif. Keadilan adalah cahaya yang harus menyinari setiap jiwa, tanpa membedakan jenis kelamin, status sosial, atau latar belakang budaya. Setiap manusia diciptakan dengan harkat dan martabat yang sama dan hukum seharusnya mencerminkan prinsip agung ini.

Filsafat hukum feminis tidak hanya relevan bagi perempuan, tetapi bagi siapa saja yang percaya bahwa hukum harus menjadi pelindung, bukan pelaku ketidakadilan. Ketika hukum dipahami melalui lensa pengalaman yang terpinggirkan, maka hukum akan jadi lebih kaya, manusiawi, dan membumi.

Banyak capaian hukum modern lahir dari perjuangan perspektif feminis. Mulai dari pengakuan atas hak-hak perempuan, hingga pembaruan sistem perlindungan terhadap korban kekerasan. Namun perjuangan belum selesai, ketimpangan masih mengakar, dan hukum membutuhkan pembaruan terus-menerus.

Pendekatan feminis mengajarkan keadilan, bukan hanya soal benar atau salah dalam logika legal, tetapi tentang mendengar, memahami, dan merangkul pengalaman yang berbeda. Keadilan yang hidup adalah keadilan menyentuh hati, mengangkat pihak terpinggirkan, dan menghapus luka ketidakadilan yang diwariskan.

Hukum berpihak kepada korban yang memahami konteks, dan yang tidak buta terhadap struktur sosial adalah hukum yang layak disebut adil. Ketika hukum mampu berdiri di sisi mereka yang tertindas, saat itulah hukum benar-benar menjalankan misinya sebagai penjaga kemanusiaan.

Filsafat hukum feminis memberikan harapan bahwa hukum dapat berubah. Dengan membongkar bias yang selama ini tersembunyi, dan menggantinya dengan pendekatan lebih etis dan empatik, hukum dapat jadi lebih bermakna bagi semua. Keadilan, bukan milik satu suara, tetapi semua hati yang mencari kebenaran.

Dengan demikian, hukum bukan sekadar teks di atas kertas, melainkan pancaran nilai-nilai ilahi, yang membimbing umat manusia menuju kehidupan lebih adil. Dalam cahaya kesetaraan dan kasih, hukum menemukan wajahnya sejati, yaitu pelindung bagi yang lemah, penopang bagi yang tertindas, dan pembawa berkah bagi semua.

Penulis: M. Khusnul Khuluq
Editor: Tim MariNews