Fenomena ketenagakerjaan di Indonesia saat ini menciptakan sebuah paradoks yang menarik dan membingungkan. Di satu sisi, kita dihadapkan pada realitas tingginya angka pengangguran dan sulitnya masyarakat mencari pekerjaan yang layak.
Persaingan yang ketat, lapangan kerja yang terasa sempit, serta kualifikasi yang semakin tinggi seringkali menjadi batu sandungan bagi para pencari kerja. Berdasarkan situs bps.go.id Badan Pusat Statistik angka pengangguran di Indonesia mencapai 4.76%.
Namun, di sisi lain, banyak perusahaan dan pemberi kerja justru menghadapi kesulitan yang tak kalah rumit, mencari pekerja yang berkomitmen, penuh tanggung jawab, jujur, dan dapat dipercaya. Lowongan pekerjaan tersedia, gaji dan tunjangan ditawarkan, tetapi menemukan individu yang benar-benar cocok dan berdedikasi adalah tantangan besar. Sering kali, ada kesenjangan antara harapan dan realitas. Banyak yang menginginkan gaji tinggi dan posisi nyaman tanpa diimbangi dengan etos kerja yang kuat.
Hal ini menjadi ironis ketika kita melihat banyak orang cenderung menginginkan hidup enak, gaji tinggi, dan kekuasaan layaknya "raja," tetapi lupa akan esensi dari tanggung jawab yang melekat pada posisi tersebut. Padahal, semakin tinggi posisi dan gaji, semakin besar pula tanggung jawabnya. Ambil contoh seorang pemimpin atau pejabat negara yang hidupnya bahkan dihadapkan pada ancaman dan peperangan. Setiap kebijakannya akan dinilai oleh rakyat, dan dampaknya bisa memengaruhi ribuan hingga jutaan nyawa.
Ketika Kejujuran, Tanggung Jawab dan Etika Menjadi Mata Uang
Mungkin, permasalahan utama bukanlah semata-mata pada ketersediaan lapangan kerja atau peluangnya yang kurang, melainkan pada kejujuran, etika, tanggung jawab dan komitmen yang kian langka. Seakan-akan, nilai-nilai ini menjadi mata uang yang sangat berharga dalam dunia kerja, tetapi tidak banyak yang memilikinya.
Ketika seseorang melamar pekerjaan, ia menawarkan lebih dari sekadar keahlian di atas kertas. Ia juga menawarkan integritas, dedikasi, dan kemampuan untuk memegang janji. Kontrak kerja seharusnya menjadi perjanjian suci yang mengikat kedua belah pihak secara etis. Namun, sering kali, etika ini tidak berjalan seiring, menciptakan ketidakstabilan dan ketidakpercayaan dalam hubungan kerja.
Begitupun mereka yang telah memegang posisi penting dalam suatu bidang organisasi maupun perusahaan, akan menjadi sangat berbahaya jika yang dituju adalah mempertahankan posisinya dengan berbagai cara, dan justru merusak sistem dan kepercayaan dari dalam. Atau suatu unit usaha yang hanya mengejar profit dengan tidak perduli cara yang ditempuh apakah etis atau tidak dan bertentangan dengan hukum atau tidak.
Di lingkungan kerja, sering kali orang yang berdedikasi dan bertanggung jawab penuh menjadi sasaran empuk untuk dimanfaatkan oleh mereka yang kurang berkomitmen. Individu yang jujur dan pekerja keras ini tanpa sadar memikul beban tambahan, menutupi kesalahan, dan menyelesaikan pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh rekan kerja yang tidak bertanggung jawab.
Ironisnya, alih-alih dihargai, mereka justru terkuras tenaganya, baik secara fisik maupun mental. Situasi ini pada akhirnya mengikis motivasi dan etos kerja mereka sendiri, karena mereka merasa kompetensi dan tanggung jawabnya tidak dihargai, melainkan hanya dieksploitasi. Lingkungan seperti ini akan menciptakan budaya kerja yang tidak sehat, di mana integritas dan komitmen dianggap sebagai kelemahan, bukan kekuatan.
Semakin sulit nya orang dengan tanggung jawab dan komitmen yang tinggi, akan membuat semakin enggan kontrak bisnis dan lapangan kerja yang dibuat, membuat ekonomi dan produktivitas menjadi lesu, sehingga lapangan kerja semakin tidak tersedia dan orang yang memiliki kompetensi dan kualitas juga menjadi sulit mendapatkan kerja.
Terkadang, dedikasi tinggi, tanggung jawab, dan kualitas seseorang menjadi tidak berarti ketika dihadapkan pada pengaruh kedekatan dan koneksi. Sering kali, individu yang paling kompeten tersingkirkan oleh mereka yang mendapatkan posisi hanya karena kedekatan, jaringan, atau ikatan kekerabatan.
Sistem yang seharusnya mengedepankan meritokrasi, di mana yang terbaik yang terpilih, menjadi tumpul. Akibatnya, kondisi kerja yang ideal semakin sulit diwujudkan. Lingkungan ini tidak hanya merugikan organisasi karena tidak mendapatkan talenta terbaik, tetapi juga menciptakan pesimisme, di mana mencari orang yang benar-benar berkomitmen dan bertanggung jawab menjadi semakin sulit.
Hukum dan peraturan sebaik apa pun tidak akan pernah bisa berjalan efektif jika individu-individu yang melaksanakannya tidak memiliki komitmen dan integritas. Begitu pula dalam dunia kerja, sebanyak apa pun lapangan pekerjaan yang dibuka, selama kejujuran dan komitmen tidak menjadi prioritas utama, masalah ketenagakerjaan akan terus menjadi lingkaran buruk yang sulit diputus. Pertanyaannya kemudian, seberapa banyak orang yang benar-benar dapat diandalkan dan dipercaya? Jawaban atas pertanyaan ini mungkin lebih penting daripada seberapa banyak lowongan kerja yang tersedia.
Menanggapi masalah yang kompleks ini, tidak ada solusi tunggal yang instan. Namun, ada beberapa langkah strategis yang bisa diambil oleh berbagai pihak untuk menciptakan ekosistem kerja yang lebih sehat dan seimbang:
1. Bagi Perusahaan dan Pemberi Kerja
- Terapkan Sistem Meritokrasi yang Kuat:
Perusahaan harus berkomitmen penuh untuk merekrut dan mempromosikan karyawan berdasarkan kualifikasi, kinerja, dan integritas, bukan kedekatan atau koneksi. Proses rekrutmen harus transparan, terstruktur, dan melibatkan berbagai pihak untuk mengurangi potensi bias.
- Ciptakan Budaya Kerja yang Adil dan Transparan:
Bangun lingkungan di mana setiap kontribusi dihargai dan setiap kesalahan ditangani secara adil. Pemberi kerja harus secara konsisten memberikan pengakuan kepada karyawan yang berdedikasi tinggi dan tidak membiarkan mereka dimanfaatkan oleh rekan yang kurang bertanggung jawab. Hal ini bisa dilakukan melalui sistem evaluasi kinerja yang objektif dan terbuka.
- Investasi pada Pengembangan Karyawan:
Berikan pelatihan dan kesempatan pengembangan diri kepada karyawan. Karyawan yang merasa dihargai dan memiliki jalur karier yang jelas cenderung akan lebih berkomitmen dan bertanggung jawab.
2. Bagi Para Pencari Kerja dan Pekerja
- Fokus pada Integritas dan Etos Kerja:
Para pencari kerja perlu menyadari bahwa kompetensi teknis saja tidak cukup. Integritas, kejujuran, dan komitmen adalah modal penting yang sering kali menjadi pembeda. Saat melamar pekerjaan, tunjukkan bukan hanya apa yang bisa Anda lakukan, tetapi juga siapa Anda sebagai individu yang dapat dipercaya.
- Tingkatkan Keterampilan dan Kompetensi:
Teruslah belajar dan beradaptasi dengan perubahan zaman. Jangan menunggu kesempatan datang, tetapi ciptakan diri Anda sebagai individu yang berharga dan relevan. Peluang akan lebih terbuka bagi mereka yang proaktif meningkatkan kualitas diri.
- Berani Menyuarakan Keadilan:
Jika Anda berada dalam lingkungan kerja yang tidak sehat, di mana kontribusi Anda dimanfaatkan, penting untuk belajar berkomunikasi secara asertif. Sampaikan keluhan atau kekhawatiran Anda kepada atasan atau pihak SDM dengan data dan fakta yang jelas, bukan sekadar emosi.
3. Bagi Pemerintah dan Regulator
- Perkuat Penegakan Hukum Ketenagakerjaan:
Pemerintah harus memastikan bahwa undang-undang ketenagakerjaan ditegakkan secara adil, melindungi hak-hak pekerja yang berdedikasi, dan memberikan sanksi tegas kepada perusahaan yang melakukan praktik diskriminatif atau eksploitatif.
- Dorong Sektor Swasta untuk Berinovasi:
Ciptakan kebijakan yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan pembukaan lapangan kerja baru yang berkualitas. Selain itu, berikan insentif bagi perusahaan yang menerapkan praktik ketenagakerjaan yang etis dan berkelanjutan.
- Promosikan Pendidikan Karakter:
Kurikulum pendidikan harus tidak hanya berfokus pada kecerdasan akademis, tetapi juga pada pembentukan karakter, etika, dan integritas. Pendidikan sejak dini dapat menanamkan nilai-nilai yang krusial untuk masa depan dunia kerja.
Solusi dari permasalahan ini terletak pada sinergi antara semua pihak. Perusahaan harus menyediakan lapangan kerja yang adil, dan para pekerja harus hadir dengan integritas dan komitmen penuh. Tanpa perubahan dari kedua sisi, paradoks ini akan terus berlanjut.