Diversifikasi Saksi Narkotika: Kurangi Dominasi Saksi Penangkap, Dengar Suara Orang Terdekat Terdakwa

Praktik pembuktian dalam perkara penyalahgunaan narkotika yang hanya mengandalkan testimoni saksi penangkap, terbukti tidak efektif dalam mendukung tercapainya tujuan rehabilitatif, sebagaimana amanah UU Narkotika.
Majelis Hakim PN Pulau Punjung yang diketuai Dedy Agung Prasetyo, S.H., dengan anggota majelis Tedy Rinaldy Santoso, S.H. dan Iqbal Lazuardi, S.H, menjatuhkan vonis kepada dua terdakwa tindak pidana narkotika. Foto dokumentasi PN Pulau Punjung.
Majelis Hakim PN Pulau Punjung yang diketuai Dedy Agung Prasetyo, S.H., dengan anggota majelis Tedy Rinaldy Santoso, S.H. dan Iqbal Lazuardi, S.H, menjatuhkan vonis kepada dua terdakwa tindak pidana narkotika. Foto dokumentasi PN Pulau Punjung.

Pendahuluan

Sistem peradilan pidana Indonesia, dalam menangani perkara penyalahgunaan narkotika untuk diri sendiri, sebagaimana diatur Pasal 127 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, menghadapi paradoks fundamental.

Di satu sisi, undang-undang mengamanatkan pendekatan rehabilitatif, melalui ketentuan Pasal 54, yang mengatur pecandu narkotika menjalani rehabilitasi medis dan sosial. Di sisi lain, praktik pembuktian persidangan, masih terjebak paradigma punitif, yang mengandalkan testimoni saksi penangkap sebagai satu-satunya atau mendominasi alat bukti keterangan saksi.

Fenomena ini, mencerminkan ketidakselarasan antara semangat undang-undang yang progresif dengan implementasi praktik peradilan. Sudah menjadi hal lumrah, bahwa mayoritas kasus penyalahgunaan narkotika untuk diri sendiri, cenderung hanya menghadirkan saksi dari kalangan penegak hukum, khususnya polisi penangkap, tanpa mempertimbangkan potensi probatif dari testimoni orang-orang terdekat terdakwa.

Sebenarnya, praktik tersebut tidak hanya menunjukkan pemahaman sempit atas kompleksitas fenomena penyalahgunaan narkotika, tetapi juga berpotensi menghambat tercapainya tujuan pemidanaan.

Analisis Teoritis: Tujuan Pemidanaan Kontemporer dan Implikasinya

Teori pemidanaan kontemporer telah berkembang melampaui konsep retributif klasik, menuju pendekatan holistik dan restoratif. Eddy O.S. Hiariej, dalam karyanya Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, telah menjelaskan tujuan pemidanaan modern mencakup aspek pencegahan (deterrence), rehabilitasi, dan reintegrasi sosial (Eddy O.S. Hiariej, 2016).

Dalam konteks penyalahgunaan narkotika, pendekatan ini miliki relevansi yang sangat tinggi, mengingat karakteristik khusus dari perbuatan tersebut, lebih tepat dipahami sebagai manifestasi dari masalah kesehatan dan sosial, daripada semata-mata kejahatan konvensional.

Perspektif yang dimaksud, sejalan perkembangan kriminologi modern yang menekankan pentingnya memahami faktor yang melatarbelakangi terjadinya kejahatan. Teori differential association dari Edwin Sutherland  juga menegaskan perilaku kriminal dipelajari melalui interaksi dengan orang lain, khususnya kelompok yang intim (Edwin H. Sutherland, 1947).

Berdasarkan kerangka penyalahgunaan narkotika, orang-orang terdekat terdakwa memiliki informasi sangat berharga tentang pola perilaku, kondisi psikologis, dan faktor-faktor sosial, yang memengaruhi perbuatan terdakwa.

Kritik terhadap Praktik Pembuktian yang Dominan

Praktik pembuktian perkara penyalahgunaan narkotika, yang andalkan testimoni saksi penangkap, dalam pandangan penulis mengandung beberapa kelemahan fundamental. Pertama, saksi penangkap umumnya hanya memiliki informasi momen penangkapan dan barang bukti yang ditemukan, tanpa memahami konteks lebih luas tentang kondisi terdakwa. Informasi yang diberikan bersifat situasional dan tidak memberikan gambaran komprehensif pola perilaku terdakwa, yang dapat membantu hakim dalam menentukan kesesuaian sanksi.

Kedua, testimoni yang bersumber dari penegak hukum cenderung menekankan aspek punitif, dibandingkan rehabilitatif. Narasi yang dibangun dalam persidangan melalui keterangan saksi penangkap, seringkali menempatkan terdakwa pada posisi yang stigmatis, sebagai pelaku kejahatan yang harus dihukum, serta bukan sebagai individu yang memerlukan bantuan dan rehabilitasi. Hal ini bertentangan dengan semangat pembaharuan hukum pidana Indonesia, yang mengedepankan pendekatan rehabilitatif.

Ketiga, keterbatasan perspektif berpotensi menghambat proses individualisasi pidana, yang merupakan prinsip fundamental dalam sistem peradilan pidana modern. Hakim memerlukan informasi komprehensif mengenai latar belakang personal, sosial, dan psikologis terdakwa, guna menentukan sanksi proporsional dan efektif. 

Tanpa mendengar testimoni orang-orang terdekat terdakwa, hakim kehilangan kesempatan memperoleh gambaran holistik tentang kondisi terdakwa.

Pentingnya Testimoni Orang Terdekat Terdakwa Penyalahguna

Orang-orang terdekat terdakwa, dapat meliputi keluarga, teman dekat, atau rekan kerja, dimana memiliki akses informasi, yang tidak dimiliki saksi penangkap. Mereka dapat berikan keterangan perubahan perilaku terdakwa, faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan terdakwa gunakan narkotika, upaya-upaya yang telah dilakukan untuk membantu terdakwa, dan potensi dukungan sosial yang tersedia untuk proses rehabilitasi.

Testimoni orang terdekat, juga dapat berikan perspektif berbeda tentang karakter terdakwa yang tidak muncul dalam keterangan saksi penangkap. Informasi kontribusi positif terdakwa dalam masyarakat, tanggung jawab sosial yang diemban, atau dampak negatif yang telah dialami, akibat penyalahgunaan narkotika, dapat menjadi pertimbangan penting dalam proses penjatuhan sanksi.

Lebih jauh, kehadiran orang terdekat dalam persidangan, dapat menjadi bagian proses restoratif, yang melibatkan komunitas dalam penyelesaian masalah. Pendekatan ini sejalan dengan konsep restorative justice, yang menekankan pentingnya melibatkan semua pihak terdampak dalam proses peradilan, bukan hanya negara sebagai pihak yang dirugikan (John Braithwaite, 2002).

Berdasarkan sudut pandang hukum acara pidana, tidak ada larangan untuk menghadirkan saksi dari kalangan orang terdekat terdakwa, meskipun untuk kriteria khusus sebagaimana Pasal 168 KUHAP, dimana saksi keluarga terdekat masuk kategori saksi tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi.

Namun, Pasal 169 ayat (1) KUHAP mengecualikan hal tersebut dalam hal saksi menghendakinya dan penuntut umum serta terdakwa secara tegas menyetujuinya, saksi tersebut dapat memberi keterangan di bawah sumpah.

Keterlibatan orang terdekat dalam proses peradilan, memiliki implikasi yang signifikan terhadap pencapaian tujuan rehabilitatif. Pertama, informasi yang diperoleh dari testimoni orang terdekat, dapat membantu hakim dalam menentukan jenis sanksi yang paling efektif, apakah berupa rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial, atau kombinasi keduanya. Kedua, kehadiran orang terdekat dalam persidangan dapat mengidentifikasi sistem dukungan sosial yang tersedia, guna mendukung proses rehabilitasi terdakwa.

Ketiga, testimoni orang terdekat, mengungkap berbagai faktor risiko dan protektif yang mempengaruhi perilaku terdakwa, sehingga program rehabilitasi dapat dirancang secara lebih tepat sasaran. Keempat, keterlibatan orang terdekat dalam proses peradilan, memperkuat komitmen untuk mendukung proses rehabilitasi dan reintegrasi sosial terdakwa.

Implementasi diversifikasi saksi dalam perkara penyalahgunaan narkotika, menghadapi beberapa tantangan praktis. Pertama, kesulitan Jaksa Penuntut Umum untuk hadirkan saksi di luar penegak hukum, karena saksi terdekat terdakwa biasanya tidak bersedia memberikan kesaksian mengenai terdakwa, akibat adanya kekhawatiran dipermasalahkan. 

Solusinya peningkatan pemahaman, bahwa testimoni orang terdekat tidak bertujuan melemahkan dakwaan, tetapi bertujuan memberikan informasi lebih komprehensif, guna mendukung tercapainya tujuan pemidanaan.

Kedua, keterbatasan waktu dan sumber daya dalam proses penyidikan, serta penuntutan. Hal ini, diatasi melalui penyusunan pedoman yang jelas tentang kriteria dan prosedur mengidentifikasi, serta menghadirkan saksi dari kalangan orang terdekat terdakwa. Ketiga, potensi subjektivitas testimoni orang terdekat, mempengaruhi objektivitas proses peradilan. Tantangan ini diminimalkan, melalui teknik pemeriksaan silang dengan sumber informasi lain.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Praktik pembuktian dalam perkara penyalahgunaan narkotika yang hanya mengandalkan testimoni saksi penangkap, terbukti tidak efektif dalam mendukung tercapainya tujuan rehabilitatif, sebagaimana amanah UU Narkotika. Diversifikasi saksi dengan melibatkan orang-orang terdekat terdakwa, merupakan kebutuhan mendesak untuk wujudkan sistem peradilan pidana yang responsif terhadap kompleksitas fenomena penyalahgunaan narkotika.

Hakim, sebagai penentu akhir dalam proses peradilan, memiliki peran strategis untuk mendorong perubahan paradigma ini. Melalui penggunaan kewenangan yang dimilikinya , dapat menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan. 

Selain itu, hakim dapat minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan, sebagaimana diatur Pasal 180 ayat (1) KUHAP. Maka, hakim dapat memastikan proses pembuktian tidak hanya memenuhi standar yuridis, tetapi mendukung tercapainya tujuan pemidanaan sesungguhnya. 

Langkah ini, bukan hanya upaya untuk meningkatkan kualitas putusan, tetapi  wujud komitmen menciptakan sistem peradilan pidana yang lebih manusiawi dan efektif dalam menangani permasalahan penyalahgunaan narkotika.

Daftar Bacaan:

- Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Edisi Revisi, Yogyakarta:Cahaya Atma Pustaka, 2016

- Edwin H. Sutherland, Principles of Criminology, 4th ed., J.B. Lippincott Company, Chicago, 1947

- John Braithwaite, Restorative Justice and Responsive Regulation, Oxford University Press, New York, 2002, hlm. 45-50.