Peran Pengadilan Negeri dalam Konflik Tambang Nikel Pulau Gag

Peran pengadilan tidak hanya terbatas pada penyelesaian sengketa administratif atau perizinan, tetapi juga mengawal prinsip keadilan ekologis, termasuk penegakan aturan terhadap pelanggaran lingkungan oleh korporasi tambang..
Pertambangan di Pulau Gag, Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya. Foto Greenpeace Indonesia
Pertambangan di Pulau Gag, Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya. Foto Greenpeace Indonesia

Aktivitas pertambangan nikel di Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya, tengah menjadi sorotan publik. Wilayah yang dikenal sebagai “surga terakhir” ini kini terancam keasriannya akibat maraknya aktivitas penambangan.

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup, luas daratan Pulau Gag hanya sekitar 6.030 hektare. Di pulau kecil ini, lima perusahaan tambang diketahui pernah mengantongi izin resmi untuk beroperasi. Dua di antaranya memperoleh izin dari pemerintah pusat, yaitu:

- PT Gag Nikel (izin produksi sejak 2017)

- PT Anugerah Surya Pratama (ASP) (izin operasi produksi sejak 2013)

Sementara tiga perusahaan lainnya mendapatkan izin dari pemerintah daerah, yakni:

- PT Mulia Raymond Perkasa (MRP)-IUP sejak 2013

- PT Kawei Sejahtera Mining (KSM)-IUP sejak 2013

- PT Nurham-IUP baru terbit pada 2025

Namun pada 10 Juni 2025, pemerintah secara resmi mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari empat perusahaan: PT ASP, PT MRP, PT KSM, dan PT Nurham. Pencabutan ini dilakukan dengan pertimbangan menyeluruh, termasuk adanya pelanggaran terhadap regulasi lingkungan hidup yang berlaku.

Saat ini, hanya PT Gag Nikel yang masih diizinkan beroperasi di Pulau Gag karena dinilai telah memenuhi seluruh persyaratan perizinan. Namun demikian, keberlanjutan operasional PT Gag Nikel tetap menuai kontroversi. Sejumlah organisasi lingkungan menilai, kegiatan tambang tersebut berpotensi merusak ekosistem dan mengganggu keseimbangan alam di kawasan Raja Ampat. Kondisi ini memunculkan pro dan kontra di tengah masyarakat, antara dorongan pembangunan ekonomi dan pentingnya pelestarian lingkungan.

Isu ini pun memunculkan pertanyaan penting: Bagaimana peran Pengadilan Negeri dalam menangani potensi konflik pertambangan di Pulau Gag, khususnya dari perspektif hukum lingkungan? Dalam kerangka peradilan umum, peran pengadilan tidak hanya terbatas pada penyelesaian sengketa administratif atau perizinan, tetapi juga mengawal prinsip keadilan ekologis, termasuk penegakan aturan terhadap pelanggaran lingkungan oleh korporasi tambang.

Konflik atau sengketa yang muncul akibat aktivitas pertambangan, seperti di Pulau Gag, Raja Ampat, termasuk dalam kategori perkara lingkungan hidup. Perkara lingkungan hidup memiliki tiga dimensi hukum, yaitu administratif (tata usaha negara), perdata, dan pidana.

Dari sisi kewenangan mengadili, Pengadilan Negeri berwenang menangani perkara pidana dan perdata di tingkat pertama, sebagaimana diatur dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Artinya, Pengadilan Negeri hanya memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara lingkungan hidup yang mengandung aspek perdata atau pidana.

Lingkungan hidup dipandang sebagai semisubjek hukum, yang berarti memiliki hak untuk dilindungi demi keberlanjutan ekosistem. Oleh karena itu, pemerintah dan DPR telah menetapkan regulasi khusus melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Mahkamah Agung juga telah menerbitkan pedoman yudisial melalui:

- PERMA Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action)

- PERMA Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup

Sementara, berdasarkan UUPPLH dan peraturan Mahkamah Agung, berikut adalah pihak-pihak yang memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan lingkungan hidup di Pengadilan Negeri:

1. Pemerintah pusat atau daerah

- Berdasarkan Pasal 90 UUPPLH jo. Pasal 31 PERMA 1/2023

2. Perwakilan kelompok (class action)

- Syaratnya: adanya kesamaan peristiwa, dasar hukum, dan jenis tuntutan antara penggugat dan kelompoknya

- Diatur dalam Pasal 91 UUPPLH jo. PERMA 1/2002

3. Organisasi lingkungan hidup

- Harus berbentuk badan hukum

- Tujuannya adalah pelestarian fungsi lingkungan

- Sudah aktif minimal dua tahun

- Tuntutan terbatas pada tindakan korektif, tidak termasuk ganti rugi (kecuali biaya nyata)

- Berdasarkan Pasal 92 UUPPLH jo. Pasal 34 PERMA 1/2023

4. Warga negara (citizen lawsuit)

- Penggugat adalah WNI, bukan badan hukum

- Tergugat bisa pemerintah, lembaga negara, atau pihak swasta yang menyelenggarakan pelayanan publik

- Gugatan harus untuk kepentingan umum

- Wajib menyampaikan notifikasi 60 hari sebelum menggugat

- Diatur dalam Pasal 35–37 PERMA 1/2023

Dalam ranah pidana, masyarakat yang merasa dirugikan akibat aktivitas pertambangan dapat melaporkan dugaan tindak pidana lingkungan hidup kepada:

1. Penyidik kepolisian (Polri)

2. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di instansi lingkungan hidup

- Berdasarkan Pasal 92 UUPPLH

Jika penyidikan oleh aparat dinyatakan lengkap (P21) oleh penuntut umum, maka perkara dapat dilimpahkan ke Pengadilan Negeri untuk disidangkan.

Konflik lingkungan hidup akibat aktivitas pertambangan di Pulau Gag, Raja Ampat, menghadirkan tantangan kompleks dalam ranah hukum, baik secara perdata maupun pidana. Salah satu aspek penting adalah potensi terjadinya Perbuatan Melawan Hukum (PMH) oleh pelaku usaha tambang, dalam hal ini PT Gag Nikel, satu-satunya perusahaan yang masih mengantongi izin resmi dari pemerintah pusat.

Dalam konteks hukum perdata, perusahaan tambang dapat digugat ke Pengadilan Negeri atas dugaan melakukan PMH jika kegiatan tambangnya berpotensi atau terbukti menyebabkan kerusakan lingkungan, khususnya di Pulau Gag yang luasnya di bawah 2.000 km². Gugatan dapat diajukan oleh pemerintah, organisasi lingkungan, perwakilan kelompok, maupun warga negara.

Namun, penting dicatat bahwa hakim perdata tidak memiliki kewenangan membatalkan izin yang dikeluarkan oleh pejabat tata usaha negara. Jika izin tersebut terbukti bertentangan dengan undang-undang, hakim hanya dapat menyatakan bahwa izin tersebut tidak memiliki kekuatan hukum (merujuk pada Rumusan Kamar Perdata MA 2020 dalam SEMA No. 10 Tahun 2020), karena statusnya dianggap sebagai beschikking atau keputusan administratif.

Dalam konteks hukum pidana, pelanggaran lingkungan hidup tergolong dalam hukum pidana administratif, yaitu tindak pidana yang berkaitan dengan pelanggaran atas regulasi administrasi negara. Selain UUPPLH, salah satu payung hukum penting adalah Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UUPWP3K).

Pasal 35 UUPWP3K secara tegas melarang berbagai tindakan yang merusak ekosistem pesisir, termasuk:

a. menambang terumbu karang yang menimbulkan kerusakan Ekosistem terumbu karang;
mengambil terumbu karang di Kawasan konservasi;

b. menggunakan bahan peledak, bahan beracun, dan/atau bahan lain yang merusak ekosistem terumbu karang;

c. menggunakan peralatan, cara, dan metode lain yang merusak ekosistem terumbu karang;

d. menggunakan cara dan metode yang merusak ekosistem mangrove yang tidak sesuai dengan karakteristik wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;

e. melakukan konversi ekosistem mangrove di kawasan atau zona budidaya yang tidak memperhitungkan keberlanjutan fungsi ekologis pesisir dan pulau-pulau kecil;

f. menebang mangrove di kawasan konservasi untuk kegiatan industri, pemukiman, dan/atau kegiatan lain;

g. menggunakan cara dan metode yang merusak padang lamun;

h. melakukan penambangan pasir pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya;

i. melakukan penambangan minyak dan gas pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya;

j. melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya; serta

k. melakukan pembangunan fisik yang menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya.

Dari beberapa larangan di atas, bagi yang melanggarnya akan dikenakan pidana penjara paling singkat dua tahun dan paling lama sepuluh tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) (vide Pasal 73 UUPWP3K).

Berdasarkan penjelasan di atas, maka Pengadilan Negeri dapat berwenang memeriksa dan mengadili perkara perdata dan perkara pidana terhadap penanganan konflik pertambangan di Pulau Gag, Raja Ampat baik melalui mekanisme gugatan perdata maupun melalui mekanisme penuntutan pidana. 

Dalam perkembangan hukum lingkungan di Indonesia, salah satu terobosan penting yang berpihak pada kepentingan pelestarian alam adalah adanya jaminan perlindungan hukum bagi individu maupun aktivis lingkungan yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH).

Pasal tersebut menegaskan, siapa pun yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata. Perlindungan ini semakin diperkuat melalui Pasal 51 Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2023, yang menyatakan, dalam hal penggugat adalah warga negara atau organisasi lingkungan hidup yang memperjuangkan lingkungan yang sehat, maka ia tidak dapat dikenai tuntutan pidana atau gugatan perdata.

Perlindungan ini menjadi sangat penting, mengingat masih banyak kasus di lapangan di mana aktivis lingkungan yang melaporkan dugaan pencemaran atau kerusakan lingkungan justru menghadapi gugatan balik dari perusahaan-sering kali dengan tuduhan pencemaran nama baik atau penyebaran informasi palsu.

Dalam konteks perkara perdata, jika tergugat dalam eksepsi atau jawabannya dapat membuktikan bahwa dirinya adalah pihak yang sah memperjuangkan hak atas lingkungan hidup, dan penggugat terbukti melanggar ketentuan Pasal 66 UUPPLH, maka hakim dapat menjatuhkan putusan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) atau putusan menolak gugatan, sebagaimana diatur dalam Pasal 50 PERMA 1 Tahun 2023.

Dalam perkara pidana, terdakwa yang dapat membuktikan dirinya adalah pejuang hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, sebagaimana diatur dalam Pasal 66 UUPPLH, berhak memperoleh perlindungan hukum. Meskipun perbuatannya secara formil terbukti melanggar hukum, pembelaan sebagai pejuang lingkungan dapat menjadi alasan penghapus pidana, sehingga hakim pidana dapat memutuskan terdakwa lepas dari segala tuntutan hukum. Ketentuan ini ditegaskan dalam Pasal 77 dan 78 PERMA Nomor 1 Tahun 2023.

Perlindungan semacam ini sejalan dengan prinsip anti-SLAPP (Strategic Lawsuit Against Public Participation) yang dikenal dalam sistem hukum Amerika Serikat dan Filipina. Gugatan SLAPP merupakan strategi hukum yang kerap digunakan oleh pihak-pihak tertentu, seperti perusahaan tambang atau korporasi besar, untuk membungkam aktivis atau pelapor lingkungan melalui tuntutan hukum. Tujuannya bukan untuk menegakkan keadilan, melainkan menciptakan efek jera, tekanan psikologis, dan kerugian finansial, agar pihak yang bersuara tidak lagi melanjutkan kritik atau pengawasan.

Sayangnya, praktik SLAPP ini dapat menjadi ancaman serius bagi partisipasi publik dalam pengawasan dan pelaporan dugaan perusakan lingkungan, yang sejatinya merupakan bagian penting dalam pengelolaan lingkungan hidup berkelanjutan.

Dalam konteks ini, Pengadilan Negeri memiliki peran strategis sebagai penjaga keadilan ekologis, karena berwenang mengadili perkara lingkungan hidup, baik dalam bentuk sengketa perdata maupun tindak pidana. Selain itu, komitmen Mahkamah Agung melalui penerbitan PERMA No. 1 Tahun 2023 menjadi langkah nyata dalam memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat dan aktivis yang aktif menyuarakan isu pencemaran dan kerusakan lingkungan-khususnya yang terjadi di wilayah sensitif seperti Pulau Gag, Raja Ampat.