Sejarah Hukum Penerbitan Kartu Tanda Penduduk: Dari Era Kolonial Sampai Revolusi Industri 4.0

Pada awal kemerdekaan periode 1945 sampai dengan 1977, KTP disebut dengan Surat Tanda Kewarganegaraan.
KTP zaman Hindia Belanda. Dokumentasi dindukcapil.jogjakota.go.id
KTP zaman Hindia Belanda. Dokumentasi dindukcapil.jogjakota.go.id

Seluruh aktivitas warga negara Indonesia, tidak dapat terlepas dari Kartu Tanda Penduduk (KTP). Layanan publik dan privat, sebagian besar merujuk data kependudukan perseorangan, yang tercatat dalam KTP, seperti nama lengkap, NIK, jenis kelamin, tempat/tanggal lahir, agama/kepercayaan, pekerjaan dan status perkawinan. Hal ini, sebagaimana diatur ketentuan Pasal 58 Ayat 2 dan 4 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk).

Selain layanan publik, proses penegakan hukum, pencegahan kriminalitas dan pembangunan demokrasi, juga menggunakan data kependudukan, yang salah satunya diperoleh melalui KTP. Adapun sejak tahun 2011, KTP dibuat secara elektronik oleh Kementerian Dalam Negeri dan mulai berlaku secara nasional sejak 2012.

Kewajiban memiliki KTP elektronik, diperuntukan bagi seluruh warga negara Indonesia, yang telah berusia 17 tahun, atau telah/pernah kawin dan memiliki kartu keluarga, sebagaimana ketentuan Pasal 63 Ayat 1 UU Adminduk juncto Pasal 15 Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil.

Pada awal kemerdekaan periode 1945 sampai dengan 1977, KTP disebut dengan Surat Tanda Kewarganegaraan. Tidak seperti sekarang yang data penduduk pemegang KTP terekam secara elektronik, dahulu dibuat gabungan tulisan yang diketik dan ditulis tangan.

Pada zaman pemerintahan Orde Baru, bagi para eks-tahanan politik (tapol), khususnya yang terlibat G30S/PKI, KTP mantan napi politik tersebut, akan terdapat kode ET (eks tapol).

Penerbitan KTP sebenarnya telah berlaku, sebelum Indonesia memperoleh kemerdekaan. Zaman kolonial Hindia Belanda, KTP sudah diberlakukan dan disebut dengan nama Verklaring van Ingezetenschap, voor personen in Nederlandsch Indie geboren atau sertifikat tempat tinggal.

Awalnya, KTP era Hindia Belanda diberlakukan pada wilayah Batavia (saat ini Jakarta). Bagi warga negara Hindia Belanda, yang akan membuat KTP harus menghadap kontrolir (controller) lokal dan mengeluarkan biaya sejumlah 1,5 gulden. Selanjutnya diterbitkan melalui kertas zegel jenis emboss, berukuran 15x10cm dan ditandatangani pejabat daerah (Hoofd van plaatselijk) tersebut. 

Penerbitan KTP, termasuk dalam kewenangan burgerlijke stand atau lembaga pencatatan sipil, yang memiliki tugas merekam seluruh kejadian penting warga negara seperti kelahiran, kematian, perkawinan, pengakuan anak, dan peristiwa lainnya. Pengaturan catatan sipil, guna merekam peristiwa penting, yang menjadi tugas burgerlijke stand, awalnya diperuntukan warga negara golongan Eropa, sebagaimana tercatat dalam Staatblad 1849 No.25.

Ketika penjajahan Belanda, beralih kepada Jepang, kebijakan penerbitan KTP juga berubah. Era penjajahan Jepang yang singkat, diterbitkan KTP bagi warga negara nusantara, dimana bagian belakangnya terdapat kalimat sumpah setia kepada pemerintahan Nippon. Sehingga KTP era Jepang, disebut dengan KTP Propaganda.

Demikianlah artikel yang membahas sejarah hukum penerbitan KTP sejak zaman kolonial Hindia Belanda, sampai dengan saat ini. Semoga menambah khazanah bagi para pembacanya.

Penulis: Adji Prakoso
Editor: Tim MariNews