Ancaman Budaya Feodalisme, Apakah Hanya Sejarah Masa Lalu?

Sistem feodalisme dan nilai-nilai yang dianutnya sangat berbahaya bagi lembaga peradilan karena merusak prinsip-prinsip fundamental seperti independensi, imparsialitas, kesetaraan di depan hukum, dan integritas.
Ilustrasi mahkota raja sebagai simbol feodal. Foto freepik
Ilustrasi mahkota raja sebagai simbol feodal. Foto freepik

Budaya feodalisme yang berkembang di tengah masyarakat memiliki potensi besar untuk mengikis integritas dan memicu praktik koruptif. Berikut beberapa alasannya:

1. Patronase dan Nepotisme:

Sistem feodal sangat mengandalkan hubungan pribadi antara penguasa dan bawahannya. Hal ini sering kali memprioritaskan loyalitas dan koneksi keluarga di atas merit dan kompetensi.

Akibatnya, posisi-posisi penting dapat diisi oleh orang-orang yang tidak cakap namun memiliki kedekatan dengan figur nomor 1: seperti dalam Klitgaard's theoretical framework on corruption (Corruption = Monopoly + Discretion of official - Accountability) atau dengan kata lain, korupsi terjadi karena adanya kelompok tunggal dalam kekuasaan yang antikritik + kesempatan untuk mengatur dan menekan - serta kurangnya Integritas dan keterbukaan pengawasan. Feodalisme dapat memperlancar suatu manipulasi dan menyudutkan kesetaraan. 

2. Kekuasaan yang Terpusat dan Kurangnya Akuntabilitas:

Dalam sistem feodal, kekuasaan cenderung terpusat pada segelintir elite. Kurangnya mekanisme check and balance serta akuntabilitas yang lemah membuka peluang bagi penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi. Keputusan sering kali dibuat secara sepihak tanpa pengawasan yang memadai dan dipaksakan kepada stakeholder.. 

3. Mentalitas Hierarkis dan Kesenjangan:

Budaya feodal menanamkan mentalitas hierarkis yang kuat, di mana status dan kedudukan sangat diagungkan. Hal ini dapat menciptakan kesenjangan yang besar. Penguasa merasa memiliki hak istimewa dan dapat bertindak semaunya, termasuk dalam hal keuangan dan sumber daya, seperti misalnya menempatkan stakeholder dalam pilihan yang sudah diatur oleh si pemberi tanpa sistem yang benar dan merit, sehingga dapat berdasarkan kesukaan atau ketidaksukaan.

Penguasa pun dapat merasa berhak atas sumber daya serta merasa berkuasa untuk menentukan sesuatu terhadap stakeholder meskipun dalam aturannya tidak demikian. 

4. Monopoli, Manipulasi dan Ketidaksesuaian:

Budaya feodal memberikan ruang yang sangat terbuka untuk terbentuk nya suatu monopoli dimana kebijakan dapat ditentukan sesuai kehendak si pemberi  tanpa adanya peran dari stakeholder serta aturan dan tolak ukur yang jelas.

Selain itu si pemberi dapat dengan mudah untuk melakukan manipulasi dan menetapkan aturan dengan standar ganda, seperti apabila merugikan si penguasa aturan tersebut tidak berlaku, tapi jika menguntungkan aturan tersebut diterapkan, atau jika si penguasa melakukan suatu perbuatan yang merugikan stakeholder maka harus dimaklumi. Sedangkan jika stakeholder melakukan perbuatan yang sama maka harus dihukum dan dibahas sesering mungkin, si penguasa dapat membeberkan orang yang ditarget sedangkan stakeholder diancam dan ditekan sedemikian rupa untuk hanya diam dan menerima.

Meskipun si penguasa salah, maka stakeholder yang harus disalahkan, misalnya melalui serangkaian cara maupun di cari-cari kesalahan. Hal menimbulkan ketidak sesuaian dengan norma dan aturan yang berlaku dalam alam kehidupan. 

5. Tradisi Hadiah dan Upeti:

Dalam sistem feodal, pemberian hadiah dan upeti kepada penguasa adalah hal yang umum. Tradisi ini, jika tidak dikelola dengan baik, dapat dengan mudah berubah menjadi praktik suap dan pemerasan.

Bawahan atau stakeholder mungkin merasa perlu memberikan "sesuatu" kepada atasan atau si pemberi kebijakan untuk mendapatkan perlakuan istimewa atau promosi. Atau dapat saja si pemberi kebijakan atau atasan merasa berhak untuk diperlakukan secara khusus dan istimewa dan stakeholder berkewajiban untuk melakukannya, di luar daripada yang semestinya. 

6. Kepentingan Pribadi di Atas Kepentingan Publik:

Budaya feodal sering kali menempatkan kepentingan pribadi atau kelompok di atas kepentingan publik. Para penguasa dan elite mungkin lebih fokus untuk memperkaya diri sendiri dan kroni-kroninya daripada melayani rakyat atau stakeholdernya.

Sejarah mencatat banyak contoh bagaimana praktik korupsi tumbuh subur dalam masyarakat feodal. Warisan-warisan dari budaya feodal, seperti patronase dan mentalitas hierarkis, sayangnya masih dapat kita temui dalam berbagai bentuk di masyarakat modern dan terus menjadi tantangan bagi upaya pemberantasan korupsi dan penegakan integritas.

Sistem feodalisme membawa bahaya yang signifikan juga bagi lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya, mengancam independensi, imparsialitas, dan keadilan.

Berikut adalah beberapa bahaya utama sistem feodalisme dalam konteks peradilan dan penegak hukum:

1.  Intervensi Kekuasaan:

Dalam sistem feodal, penguasa atau si elite memiliki pengaruh besar, bahkan dominan, dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk peradilan, baik dari dalam lembaga peradilan itu sendiri maupun dari luar termasuk aparat penegak hukum.

Mereka dapat dengan mudah mengintervensi proses hukum, memengaruhi hakim, jaksa, atau bahkan saksi demi kepentingan, keluarga, atau kelompok mereka. Hal ini merusak independensi lembaga peradilan dan menghasilkan putusan yang tidak adil.

2. Ketidaksetaraan di Depan Hukum:

Sistem feodal baik di dalam maupun di luar lembaga peradilan sangat menekankan pada status dan hierarki sosial. Hukum cenderung diterapkan secara berbeda tergantung pada kedudukan seseorang.

Kaum elite atau mereka yang memiliki koneksi dengan penguasa dapat dengan mudah menghindari hukuman atau mendapatkan perlakuan istimewa, diberikan tempat dan posisi sementara orang biasa baik di luar maupun di dalam lembaga peradilan dapat menghadapi perlakuan yang lebih keras.

Prinsip kesetaraan di depan aturan dan hukum menjadi ilusi belaka. Jauh dari landasan merit dan kewajaran apa yang seharusnya diberikan. Misalnya meskipun sudah diatur bahwa si A berhak untuk mendapatkan haknya yang layak, seperti hak mendapatkan kehidupan yang layak dan telah diatur secara jelas namun karena feodalisme aturan hanyalah tinggal aturan, ketika A menuntut akan haknya yang sewajarnya maka bisa jadi si A yang sedemikian rupa dipersalahkan. 

3. Patronase dan Nepotisme dalam Penunjukan Aparat Peradilan:

Penunjukan hakim, jaksa, dan panitera dalam sistem feodal seringkali didasarkan pada hubungan patronase dan nepotisme, bukan pada merit dan kompetensi. Orang-orang yang loyal kepada penguasa atau berasal dari keluarga berpengaruh lebih mungkin mendapatkan posisi penting, meskipun tidak memiliki kualifikasi yang memadai. Hal ini menurunkan kualitas dan integritas aparat peradilan.

4. Korupsi dan Suap:

Kekuasaan yang terpusat dan kurangnya akuntabilitas dalam sistem feodal menciptakan lingkungan yang subur bagi korupsi. Pihak-pihak yang berperkara mungkin terpaksa memberikan suap kepada aparat peradilan untuk memenangkan kasus atau mendapatkan keringanan hukuman.

Tradisi pemberian hadiah atau upeti kepada penguasa dapat dengan mudah meracuni sistem peradilan, meskipun si A berhak akan sesuatu namun jika tidak menguntungkan maka tidak akan diprioritaskan. 

5. Ketidakpercayaan Publik:

Ketika lembaga peradilan tercemar oleh intervensi kekuasaan, ketidaksetaraan, dan korupsi, kepercayaan publik terhadap sistem hukum akan runtuh. Masyarakat akan merasa bahwa hukum tidak lagi menjadi pelindung keadilan, melainkan alat kekuasaan. Hal ini dapat menimbulkan ketidakstabilan sosial dan hilangnya legitimasi negara.

6. Sulitnya Penegakan Hukum Terhadap Elite:

Dalam sistem feodal, menuntut atau menghukum elite yang melakukan pelanggaran hukum menjadi sangat sulit, bahkan mustahil. Kekuasaan dan pengaruh mereka melindungi mereka dari jangkauan hukum. Impunitas ini semakin memperburuk ketidakadilan dan merusak wibawa lembaga peradilan.

Singkatnya, sistem feodalisme dan nilai-nilai yang dianutnya sangat berbahaya bagi lembaga peradilan karena merusak prinsip-prinsip fundamental seperti independensi, imparsialitas, kesetaraan di depan hukum, dan integritas. Akibatnya, keadilan sulit ditegakkan, dan kepercayaan publik terhadap hukum terkikis.

Budaya ini sering terjadi dan berlaku di Abad Pertengahan. Modernisasi dan Revolusi Prancis terlebih dalam suatu sistem negara republik seharusnya telah menghilangkan budaya tersebut, namun benarkah demikian?