Tanam Paksa: Jejak Perbudakan dan Pejabat Korup, Dilegalisasi Staatsblad 1834 No. 22

Kerja paksa dalam pembangunan benteng pertahanan dan keamanan Belanda, di mana rakyat yang dipekerjakan untuk membangun benteng pertahanan tidak diberikan upah layak.
Periode tanam paksa, dinilai sebagai era terkelam dalam sejarah kolonial Belanda di nusantara. Foto dokumetasi perumperindo.co.id
Periode tanam paksa, dinilai sebagai era terkelam dalam sejarah kolonial Belanda di nusantara. Foto dokumetasi perumperindo.co.id

Perdana Menteri Belanda Mark Rutte pada 2022, secara terbuka menyampaikan permohonan maaf kepada pemerintah dan masyarakat Indonesia, atas kejahatan perang dan kekejaman era kolonialisme Belanda di Nusantara.

Bahkan Rutte secara gamblang, menyampaikan, perlakuan Belanda kepada rakyat Hindia Belanda (dahulu Indonesia), telah melanggar prinsip kemanusiaan dengan cara yang terorganisir dan sistematis. Sehingga, memberikan penderitaan luar biasa kepada bangsa Indonesia yang terjajah.

Salah satu sikap dan kebijakan kolonial yang dikritik Rutte adalah perbudakan yang difasilitasi dan distimulus pemerintah Belanda terhadap rakyat Hindia Belanda, serta mengambil keuntungan dari perbudakan tersebut. Beberapa kebijakan kolonial Belanda yang bernuansa perbudakan antara lain kerja rodi pembangunan jalan Anyer-Panarukan sejauh seribu kilometer yang membentang dari barat sampai timur pulau Jawa (saat ini jalan pantai utara), era kepemimpinan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Herman Willem Daendles. Pembangunan jalan Anyer-Panarukan yang dilakukan dalam jangka waktu 1 tahun (1808-1809) itu, dinilai sebagai bentuk genosida, karena memakan korban hingga 12 ribu orang. 

Kerja paksa dalam pembangunan benteng pertahanan dan keamanan Belanda, di mana rakyat yang dipekerjakan untuk membangun benteng pertahanan tidak diberikan upah layak. Salah satu contohnya adalah pembangunan benteng pertahanan untuk kepentingan angkatan bersenjata Belanda di Meester Cornelis (saat ini Jatinegara), Batavia di era kepemimpinan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, GW Baron Van Imhoff, pada 1743.

Bentuk perbudakan lainnya, kebijakan tanam paksa (cultuurstelsel) yang diwajibkan kepada seluruh desa dan petani bumiputera untuk menanam di tanahnya tanaman komoditas ekspor Belanda di benua Eropa. Tanam paksa merupakan kebijakan pertanian yang dilaksanakan sejak 1830 sampai 1870, diinisiasi Johannes Van Den Bosch, Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-43.

Riwayat Perbudakan dan Pejabat Lokal Korup Era Tanam Paksa

Periode tanam paksa, dinilai sebagai era terkelam dalam sejarah kolonial Belanda di nusantara. Berdasarkan riset yang dilakukan Historia.id dan De.Voklstrant, tanam paksa merupakan kebijakan paling tidak manusiawi di zaman kolonialisme. Gagasan tanam paksa dilakukan untuk atasi kekosongan kas pemerintah kolonial akibat konflik bersenjata dengan Napoleon Bonaparte (Prancis) pada 1810-1811 dan Pangeran Diponegoro (Jawa) pada 1825-1830. Sistem tanam paksa awalnya diterapkan di Pulau Jawa pada 1830, lalu seluruh wilayah Hindia Belanda (dahulu Indonesia) pada 1840.

Mekanisme tanam paksa yakni seluruh masyarakat yang memiliki lahan, wajib menyisihkan 20% dari total lahannya untuk ditanam tumbuhan yang diwajibkan Belanda dan merupakan komoditas ekspor unggulan di Eropa, seperti kopi, tebu, teh dan indigofera/tarum. Beban untuk memastikan tanaman tumbuh subur diserahkan kepada pemilik lahan dan bukan pemerintah kolonial sebagai inisiator tanam paksa.

Setelah tanaman panen, masyarakat melalui perangkat desa diwajibkan mengirimkannya ke gudang yang ditentukan pemerintah kolonial. Harga jual komoditas tumbuhan tanam paksa, ditentukan dan dimonopoli pemerintah Kolonial, sehingga petani tidak mendapatkan keuntungan dari sistem tanam paksa.

Setelah masa uji coba dan dinyatakan berhasil selama 4 tahun, Pemerintah Belanda melegalisasi perbudakan melalui sistem tanam paksa pada 1834, melalui Staatsblad 1834 No. 22.

Pemerintah kolonial di bawah kepemimpinan Johannes Van Den Bosch dengan kepiawaian mengadu domba kaum bumiputera, mempekerjakan para bupati untuk lakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tanam paksa, dengan memberikan imbalan berupa honorarium dan bonus.

Dengan demikian, Belanda dapat mengefisiensi pengeluaran untuk sistem tanam paksa, karena tidak libatkan banyak pegawai kolonial dalam memastikan sistem tanam paksa berjalan sesuai kehendak pemerintah Belanda.

Perilaku koruptif dan sewenang-wenang menghiasi sistem dimaksud. Kedudukan terhormat dan privilege yang didapatkan penguasa lokal dari pemerintah Belanda, diiringi honor besar dan bonus yang didasarkan seberapa besar komoditas tanam paksa dihasilkan wilayahnya masing-masing.

Menjadikan penguasa lokal gelap mata dan tanaman yang ditumbuhi komoditas tanam paksa melebihi dari 20%. Bahkan, terdapat penguasa lokal yang memeras keringat petani bumiputera dengan memaksakan, lahan pertanian digunakan 100% untuk tumbuhan tanam paksa. 

Maka, pekerjaan yang dilakukan para petani bumiputera seperti kerja rodi dan menanggung penderitaan. Akibat berfokus memastikan tumbuhan tanam paksa menuai panen maksimal, berakibat gagal panennya tanaman pangan seperti padi dan tumbuhan lainnya. Akhirnya kelaparan dan penyakit menggerogoti masyarakat, khususnya keluarga kaum tani.

Eksploitasi petani bumiputera, akibat perselingkuhan pemerintah kolonial dan penguasa lokal yang korup dikisahkan melalui karya sastra Max Havellar yang ditulis Eduard Douwes Dekker, dengan nama pena Multatuli. Pendekatan feodalisme digunakan untuk menekan petani bumiputera, agar patuh terhadap penguasa lokal yang berpihak pada sistem tanam paksa yang disusun pemerintah kolonial.

Kelompok politik liberal Belanda mengkiritisi sistem tanam paksa, sehingga pemerintah kolonial menghentikannya, meskipun membawa banyak keuntungan bagi Belanda. Sekitar 4 dekade tanam paksa, negeri jajahan Hindia Belanda telah mengirimkan uang sejumlah 832 juta gulden ke negeri kincir angin.

Bahkan, utang kongsi dagang Belanda (VOC) dapat dilunasi, dari keuntungan yang dihasilkan sistem tanam paksa. Pada akhirnya, sistem tanam paksa dihentikan pada 1870 setelah menuai banyak protes dan diganti dengan kebijakan agraria kolonial dengan membentuk UU Agraria Tahun 1870 (Agrarische Wet 1870).

Penulis: Adji Prakoso
Editor: Tim MariNews