Memahat Kedalaman Tri Dimensi Hakim: Perjalanan Totalitas Menuju Marwah Keadilan Sejati Dan Penghayatan Inner Structure Prinsip Etika (Bagian III)

Marwah kehakiman tidak pernah tegak, hanya dengan simbol-simbol formal atau kecerdasan rasional semata, melainkan wajib ditopang kekuatan jiwa yang berintegritas, jujur, adil, arif bijaksana, mandiri, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, rendah hati, dan profesional.
Ilustrasi hakim. Foto freepik.com
Ilustrasi hakim. Foto freepik.com

Melanjutkan bagian artikel sebelumnya yang membahas dan menguraikan prinsip kode etik dan pedoman perilaku hakim, berdasarkan sudut pandang inner structure. Maka, bagian ini para penulis akan kembali menguraikan kode etik hakim dalam perspektif inner structure, yang dimulai dari prinsip bertanggung jawab dan dilanjutkan prinsip lainnya.

Prinsip Kode Etik dalam Lensa Inner Structure

Prinsip bertanggung jawab dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, menyiratkan kesadaran dan kesediaan mendalam untuk laksanakan segala wewenang dan tugas dengan sebaik-baiknya, serta keberanian menanggung segala akibat yang timbul dari pelaksanaan wewenang dan tugas tersebut. Hal Ini, bukanlah sekadar akuntabilitas formal atau administratif, melainkan sebuah pertanggungjawaban moral dan spiritual berakar kuat dalam inner structure hakim.

Tanggung jawab memiliki dimensi ganda yakni pertanggungjawaban horizontal kepada masyarakat, para pencari keadilan, dan institusi peradilan itu sendiri, serta pertanggungjawaban vertikal di hadapan Tuhan Yang Maha Esa, sebagaimana tersirat dalam irah-irah setiap putusan.

Berdasarkan perspektif inner structure, sikap bertanggung jawab hakim adalah manifestasi dari kesadaran akan amanah agung yang diembannya. Dirinya memahami bahwa jabatan hakim, bukanlah sebuah privilege untuk dinikmati, melainkan sebuah beban suci yang harus ditunaikan dengan penuh kehati-hatian dan kesungguhan. Inner structure yang bertanggung jawab, akan lahirkan rasa memiliki (sense of ownership), terhadap setiap keputusan yang diambil dan setiap tindakan yang dilakukan. 

Hakim tidak akan mudah melempar kesalahan kepada pihak lain atau mencari kambing hitam, jika terjadi kekeliruan, melainkan lakukan introspeksi dan bersedia menanggung konsekuensinya dengan ksatria. Kesadaran setiap putusan akan berdampak pada kehidupan manusia dan kebebasan, harta benda, kehormatan, bahkan nyawa, akan menumbuhkan rasa tanggung jawab yang luar biasa dalam inner structure sang pengadil.

Perjuangan memelihara sikap bertanggung jawab dalam inner structure menuntut adanya kejujuran pada diri sendiri dan keberanian mengakui keterbatasan. Godaan bertindak gegabah, mengambil jalan pintas, atau mengabaikan detail-detail penting dalam pemeriksaan perkara, dapat mengikis rasa tanggung jawab ini.

Oleh karena itu, inner structure yang bertanggung jawab mendorong hakim senantiasa bersikap teliti, cermat, dan tidak meremehkan aspek sekecil apapun dalam penanganan perkara. Hakim, akan memastikan setiap langkah yang diambil telah melalui pertimbangan matang dan didasarkan pemahaman yang benar atas fakta dan hukum. 

Sikap bertanggung jawab, telah terinternalisasi dalam inner structure, secara nyata membentuk kualitas sub struktur profesional seorang hakim. Tanggung jawab, mendorong hakim untuk meningkatkan kompetensinya, memastikan setiap analisis hukum yang dilakukannya akurat, dan setiap argumentasi yang dibangunnya kokoh. Hakim yang bertanggung jawab, tidak akan mengungkapkan atau menggunakan informasi yang bersifat rahasia, yang didapat dalam kedudukan sebagai hakim, untuk tujuan yang tidak ada hubungan dengan tugas peradilan. Hakim, akan menjaga kerahasiaan musyawarah majelis dan tidak membocorkan informasi perkara yang dapat merugikan proses peradilan atau pihak-pihak tertentu. 

Substruktur bertanggung jawab, juga tercermin dalam kemampuan hakim  menyelesaikan perkara tepat waktu, tanpa penundaan tidak perlu, sebagai wujud dari tanggung jawabnya terhadap efisiensi dan efektivitas sistem peradilan.

Secara struktural, tanggung jawab hakim termanifestasi dalam kesediaannya tunduk pada mekanisme pengawasan dan akuntabilitas yang ada, baik pengawasan internal Mahkamah Agung maupun pengawasan eksternal Komisi Yudisial. Hakim akan kooperatif dalam proses pemeriksaan, jika ada dugaan pelanggaran, dan bersedia menerima sanksi yang dijatuhkan, bilamana terbukti bersalah, sebagai bagian dari pertanggungjawaban atas tindakannya. 

Keterbukaan dan transparansi dalam proses peradilan, sejauh tidak mengorbankan kerahasiaan yang dilindungi undang-undang, juga merupakan wujud dari tanggung jawab struktural hakim kepada publik. Dengan demikian, sikap bertanggung jawab yang lahir dari inner structure akan memancar keluar, melalui substruktur profesionalisme dan struktur kelembagaan yang akuntabel, membangun kepercayaan publik bahwa hakim, pelayan keadilan yang dapat diandalkan dan dipertanggungjawabkan setiap tindakannya.

Prinsip menjunjung tinggi harga diri, dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim adalah sebuah panggilan menjaga kehormatan dan martabat, yang melekat pada diri setiap manusia, khususnya bagi seorang hakim yang mengemban tugas mulia. Harga diri dalam konteks ini, bukanlah kesombongan atau keangkuhan, melainkan tentang kesadaran nilai intrinsik kemanusiaan dan keluhuran profesi yang harus dipertahankan dan dijunjung tinggi. 

Menjunjung tinggi harga diri, ketika dihayati dari kedalaman inner structure, akan membentuk pribadi hakim yang kuat dan tangguh, senantiasa menjaga kehormatan dan martabatnya sebagai aparatur peradilan, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Dari perspektif inner structure, menjunjung tinggi harga diri berarti memiliki standar moral pribadi yang tinggi dan tidak kompromi terhadap hal-hal merendahkan nilai diri dan profesi hakim. Hal dimaksud, tentang memiliki rasa malu (haya) untuk melakukan perbuatan tercela, dan memiliki kepekaan untuk merasakan apa yang pantas dan tidak pantas, dilakukan hakim.

Inner structure, memiliki harga diri yang sehat, mendorong hakim menjaga kewibawaan serta martabat lembaga peradilan dan profesi. Hakim, tidak akan membiarkan dirinya terlibat dalam situasi atau pergaulan yang dapat menimbulkan citra negatif atau keraguan terhadap integritasnya. Kesadaran setiap perilakunya, cerminan dari lembaga peradilan secara keseluruhan, di mana membuatnya berhati-hati dalam melangkah.

Perjuangan menjunjung tinggi harga diri dalam inner structure, seringkali berkaitan dengan kemampuan mengendalikan diri dari berbagai godaan yang dapat menjatuhkan martabat. Godaan terlibat dalam transaksi keuangan dan usaha yang berpotensi memanfaatkan posisi sebagai hakim, merupakan salah satu ujian berat.

Hakim yang miliki inner structure kuat, akan menolak godaan tersebut, bukan hanya karena larangan formal, tetapi karena menyadari hal tersebut mencederai harga dirinya sebagai penegak keadilan. Hakim, juga akan menganjurkan agar anggota keluarganya tidak ikut dalam kegiatan yang dapat mengeksploitasi jabatan hakim tersebut, sebagai wujud tanggung jawabnya menjaga lingkungan terdekatnya, tidak menjadi sumber pelemahan harga diri profesinya.

Harga diri kokoh dalam inner structure, termanifestasi dalam substruktur profesional melalui penolakan terhadap segala bentuk intervensi atau upaya untuk mempengaruhi independensinya dalam mengambil keputusan. Hakim yang menjunjung tinggi harga dirinya, tidak membiarkan putusannya didikte pihak manapun, karena sadar akan merendahkan kemandirian intelektual dan profesionalismenya.

Ia juga akan menghindari pekerjaan-pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan atau mengurangi fokusnya pada tugas utama sebagai hakim. Bahkan setelah pensiun, dianjurkan tidak langsung berpraktik sebagai advokat di lingkungan peradilan, sebagai bentuk penghormatan terakhir terhadap harga diri jabatan yang pernah disandangnya.

Secara struktural, menjunjung tinggi harga diri terlihat dari sikap hakim yang menjaga kehormatan korps, menghindari perdebatan publik yang tidak perlu mengenai perkara yang ditanganinya, dan senantiasa menampilkan perilaku keluhuran budi pekerti. Hakim, akan menghormati sesama penegak hukum dan para pihak berperkara, namun tetap menjaga batas-batas tegas untuk pertahankan independensi dan imparsialitasnya.

Dengan demikian, harga diri terpelihara dalam inner structure akan memancarkan aura kewibawaan, yang otentik pada substruktur profesional dan struktur formal jabatannya, menjadikan hakim sebagai sosok yang tidak hanya berkuasa, tetapi juga berharga dan dihormati, karena keluhuran pribadinya.

Prinsip berdisiplin tinggi, dalam khazanah etika kehakiman, bukanlah sekadar kepatuhan mekanis terhadap aturan-aturan formal atau jam kerja kedinasan. Disiplin sejati, sebagaimana diamanatkan oleh Kode Etik adalah ketaatan pada norma-norma atau kaidah-kaidah yang diyakini sebagai panggilan luhur untuk mengemban amanah, serta kepercayaan masyarakat pencari keadilan. Hal Ini menyiratkan, disiplin hakim berhulu dari inner structure yang terpatri dalam keluhuran tugas dan sakralnya kepercayaan yang diembankan kepadanya. Disiplin tinggi lahir dari kedalaman nurani, mendorong terbentuknya pribadi yang tertib dalam melaksanakan tugas, ikhlas dalam pengabdian, dan senantiasa berusaha menjadi teladan di lingkungannya, serta tidak menyalahgunakan amanah yang dipercayakan.

Berdasarkan perspektif inner structure, berdisiplin tinggi wujud komitmen spiritual dan moral hakim terhadap sumpahnya. Inner structure disiplin, menumbuhkan rasa hormat terhadap hukum, bukan hanya sebagai alat mengatur masyarakat, tetapi juga cerminan nilai-nilai keadilan universal. Ketaatan pada norma, bukan lahir dari rasa takut sanksi, melainkan keyakinan mengikuti norma tersebut.

Perjuangan memelihara disiplin tinggi dalam inner structure, sebuah latihan spiritual yang menuntut konsistensi dan pengendalian diri. Godaan bersikap permisif terhadap diri sendiri, menunda-nunda pekerjaan, atau mencari celah untuk menghindari tanggung jawab, adalah musuh utama dari disiplin batin. Maka, inner structure disiplin mendorong hakim membangun rutinitas kerja yang produktif, menjaga fokus, dan tidak mudah terdistraksi hal-hal yang dapat mengurangi kualitas pengabdiannya.

Hakim, berkewajiban mengetahui dan mendalami serta melaksanakan tugas pokok sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya hukum acara, agar dapat menerapkan hukum secara benar dan dapat memenuhi rasa keadilan setiap pencari keadilan, bukan sebagai beban, tetapi sebagai kebutuhan jiwa untuk senantiasa meningkatkan kualitas diri dalam melayani.

Disiplin tinggi yang mengakar dalam inner structure, membentuk sub struktur profesional mumpuni dan efisien. Hakim disiplin, akan cermat mempelajari berkas perkara, teliti menerapkan hukum acara, dan tepat waktu menyelesaikan setiap tahapan pemeriksaan, hingga pembuatan putusan. Hakim, akan hormati hak-hak para pihak dalam proses peradilan dan berusaha mewujudkan pemeriksaan perkara secara sederhana, cepat dan biaya ringan. 

Kemampuan bekerja secara sistematis, terorganisir, dan dengan standar kualitas tinggi, adalah buah dari sub struktur yang ditempa disiplin internal. Ketua pengadilan atau hakim yang ditunjuk pun, dengan landasan disiplin, akan mendistribusikan perkara kepada Majelis Hakim secara adil dan merata, serta menghindari pendistribusian perkara kepada Hakim yang memiliki konflik kepentingan.

Secara struktural, disiplin tinggi seorang hakim terlihat dari ketaatannya pada jam kerja, ketertiban dalam administrasi perkara, dan perilakunya senantiasa menjaga kehormatan lembaga peradilan. Kepatuhan terhadap prosedur dan tata kelola organisasi peradilan, wujud nyata dari disiplin struktural yang berakar dari inner structure yang menghargai keteraturan dan norma. Dengan demikian, disiplin tinggi berkontribusi besar dalam membangun citra peradilan yang profesional, akuntabel, dan dapat diandalkan pencari keadilan.

Prinsip berperilaku rendah hati, sebuah permata etika yang seringkali terlupakan di tengah gemerlap kekuasaan dan kewenangan. Dalam konteks profesi hakim, rendah hati, sebagaimana diuraikan Kode Etik, adalah kesadaran akan keterbatasan kemampuan diri, jauh dari kesempurnaan dan terhindar dari setiap bentuk keangkuhan. Hal tersebut, bukanlah sikap minder atau kurang percaya diri, melainkan sebuah kebijaksanaan batin yang lahir dari inner structure matang dan tercerahkan.

Rendah hati akan mendorong terbentuknya sikap realistis, mau membuka diri untuk terus belajar, menghargai pendapat orang lain, menumbuhkembangkan sikap tenggang rasa, serta mewujudkan kesederhanaan, penuh rasa syukur dan ikhlas mengemban tugas. Rendah hati bukan kelemahan, tetapi kekuatan jiwa yang telah menang melawan egonya sendiri.

Sesuai inner structure, kerendahan hati seorang hakim buah dari kesadaran spiritual, akan posisinya sebagai hamba di hadapan Sang Maha Pencipta, dan pelayan masyarakat dalam urusan keadilan. Hakim dimaksud, menyadari ilmu yang dimilikinya, betapapun luasnya, hanyalah setitik air di samudera pengetahuan Ilahi. Kewenangan yang dipegangnya, betapapun besarnya, adalah amanah yang setiap saat bisa dicabut. Kesadaran, akan kefanaan diri dan kebesaran Tuhan yang lahirkan sikap tawadhu, tidak sombong atau merasa paling benar. 

Inner structure rendah hati akan membuat hakim, melaksanakan pekerjaan sebagai sebuah pengabdian yang tulus, bukan hanya mata pencaharian semata, melainkan amanat yang dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan Tuhan Yang Maha Esa.

Perjuangan memelihara kerendahan hati dalam inner structure adalah sebuah pergulatan melawan ego dan nafsu untuk diakui atau dipuji. Godaan merasa superior karena jabatan, meremehkan pendapat pihak lain, atau mencari popularitas dan sanjungan, adalah penyakit hati yang dapat mengikis kerendahan hati. Maka, inner structure rendah hati, mendorong hakim untuk tidak bertingkah laku mencari popularitas, pujian, penghargaan dan sanjungan dari siapapun juga. Dirinya fokus pada kualitas pengabdian dan pencarian kebenaran, daripada pengakuan atau sanjungan dunia luar. Kerendahan hati, juga memampukannya menerima kritik secara lapang dada, sebagai sarana introspeksi dan perbaikan diri.

Kerendahan hati bersemayam dalam inner structure, membentuk sub struktur profesional terbuka dan kolaboratif. Hakim rendah hati mau mendengarkan dengan saksama argumen dari semua pihak, termasuk yang berbeda pandangan dengannya. Sosoknya, juga hargai kontribusi pemikiran dari hakim-hakim lain, ketika musyawarah majelis, dan tidak akan memaksakan pendapatnya sendiri secara arogan. Kemauan terus belajar dari siapapun, termasuk setiap pengalaman. Dirinya menyadari kebenaran dapat datang dari mana saja, dan kebijaksanaan seringkali lahir dari dialektika pemikiran beragam.

Secara struktural, kerendahan hati hakim, termanifestasi dalam perilakunya yang sederhana, tidak pamer kekuasaan atau kemewahan. Hakim, akan memperlakukan semua orang dengan hormat, tanpa memandang status sosial atau latar belakangnya. Sikap sabar, santun, dan penuh tenggang rasa dalam memimpin persidangan adalah cerminan dari kerendahan hati struktural yang berakar dari inner structure damai dan penuh syukur. Dengan demikian, hakim rendah hati tidak akan kehilangan sentuhan kemanusiaannya, meskipun duduk di singgasana keadilan. Bahkan kerendahan hatinyalah, membuat sosoknya dihormati dan dicintai masyarakat.

Prinsip bersikap profesional adalah kulminasi berbagai kebajikan dan kompetensi yang harus dimiliki hakim. Profesionalisme, dalam konteks Kode Etik, didefinisikan sebagai suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, didukung keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas. Sikap professional, mendorong terbentuknya pribadi yang senantiasa menjaga dan mempertahankan mutu pekerjaan, serta berusaha meningkatkan pengetahuan dan kinerja, sehingga tercapai setinggi-tingginya mutu hasil pekerjaan, efektif dan efisien.

Berdasarkan perspektif inner structure, sikap profesional hakim adalah cerminan dedikasi jiwanya terhadap pencarian kebenaran dan penegakan keadilan. Dirinya memandang tugas, bukan sebagai rutinitas belaka, melainkan sebagai panggilan suci yang menuntut pengorbanan dan kesungguhan luar biasa. Inner structure profesional akan melahirkan etos kerja tinggi, rasa tanggung jawab yang mendalam terhadap setiap detail pekerjaan, dan keengganan untuk menghasilkan karya (putusan) dibawah standar.

Ada sebuah kebanggaan batin dalam menghasilkan putusan adil, argumentatif, dan berkualitas, bukan mencari pujian, melainkan persembahan terbaik dari kapasitas diri kepada Tuhan dan masyarakat. Kesungguhan ini, lahir dari kesadaran setiap kelalaian atau ketidakcermatan dapat berakibat fatal bagi nasib para pencari keadilan.

Perjuangan memelihara profesionalisme inner structure adalah tentang menjaga api semangat pengabdian agar tetap menyala, meskipun dihadapkan pada berbagai tantangan seperti beban kerja yang berat, sarana prasarana terbatas, atau lingkungan kurang kondusif. Inner structure professional, mendorong hakim mengambil langkah memelihara dan meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kualitas pribadi dalam rangka melaksanakan tugas peradilan secara baik. Terdapat dorongan internal untuk terus belajar, beradaptasi dengan perkembangan hukum, dan tidak pernah merasa cukup dengan ilmu yang dimiliki. 

Sikap mengutamakan tugas yudisialnya di atas kegiatan lain, secara professional, merupakan refleksi dari inner structure yang telah menempatkan pengabdian pada keadilan sebagai prioritas tertinggi dalam hidupnya.

Profesionalisme yang terpatri inner structure, membentuk substruktur keilmuan dan keterampilan yang terus berkembang. Hakim profesional, akan tekun mempelajari setiap aspek perkara, melakukan riset hukum mendalam, jika diperlukan, dan berusaha memahami konteks sosial dari setiap kasus yang ditanganinya. Hakim tersebut, secara tekun melaksanakan tanggung jawab administratif dan bekerja sama dengan para hakim, serta pejabat pengadilan lain dalam menjalankan administrasi peradilan, karena dirinya menyadari kualitas putusan juga ditopang oleh sistem pendukung yang baik. 

Secara struktural, profesionalisme hakim termanifestasi dalam kinerjanya yang efektif, efisien, dan akuntabel. Dirinya menyelesaikan perkara sesuai dengan target waktu yang ditetapkan, menghasilkan putusan-putusan yang jelas dan mudah dipahami.

Setelah membedah sepuluh prinsip kode etik melalui lensa tiga dimensi, kini saatnya merenungkan secara mendalam, kedudukan hakim sebagai hamba Sang Pencipta.

Kesadaran dimaksud, bukanlah sekadar tempelan spiritual, melainkan inti dari inner structure yang memberikan landasan transendental bagi seluruh pengabdiannya. Ketika seorang hakim menghayati perannya sebagai hamba, ia menyadari, kekuasaan mengadili yang dipegangnya adalah pinjaman, amanah dari sang pemilik keadilan mutlak. Irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, menjadi pengingat abadi akan dimensi kehambaan ini.

Dalam inner structure, seorang hakim yang menghayati dirinya sebagai hamba, akan tumbuh subur sifat-sifat seperti kerendahan hati di hadapan keagungan Ilahi, kehati-hatian yang luar biasa dalam menimbang perkara, karena sadar akan pertanggungjawaban akhirat, dan kejujuran mutlak, karena merasa senantiasa diawasi oleh Yang Maha Mengetahui. 
Godaan duniawi, sebesar apapun, terasa kecil dibandingkan harapan keridhaan Tuhan.

Tekanan dari pihak manapun, dihadapi dengan keteguhan yang bersumber dari keyakinan, hanya kepada Tuhanlah seharusnya bersandar. Sikap mandiri hakim, yang bebas pengaruh dan intervensi, sesungguhnya buah kemerdekaan jiwa seorang hamba, yang hanya tunduk pada perintah Sang Khaliq.

Kesadaran sebagai hamba, memurnikan niat inner structure dalam menjalankan tugas. Tujuan utama mengadili, bukanlah mencari popularitas, pujian manusia, atau keuntungan materi, melainkan semata-mata meraih predikat, sebagai hamba adil dan amanah di sisi Tuhan. 

Hakim sebagai Pemegang Amanah, Menjaga Kepercayaan Publik dan Menegakkan Keadilan Universal

Selain sebagai hamba, hakim adalah pemegang amanah (trustee) dari rakyat melalui negara, dan amanah dari Tuhan, untuk menegakkan nilai-nilai keadilan universal. Kesadaran sebagai pemegang amanah, menuntut tingkat tanggung jawab yang tinggi, baik dalam inner structure, substruktur, maupun struktur. Amanah ini adalah kepercayaan yang diberikan, dan kepercayaan hanya bisa dijaga dengan integritas, profesionalisme, dan pengabdian yang tulus. Kehilangan kepercayaan public, bencana bagi lembaga peradilan, dan itu dimulai dari lunturnya kesadaran, akan amanah dalam diri setiap hakim.

Dalam inner structure, kesadaran sebagai pemegang amanah melahirkan rasa tanggung jawab mendalam, untuk tidak mengkhianati kepercayaan yang telah diberikan. Setiap perkara dianggap sebagai ujian terhadap integritas dan kemampuannya menjaga amanah tersebut.

Hakim berusaha sekuat tenaga. memberikan yang terbaik, memastikan setiap keputusan yang diambil telah melalui proses yang jujur, adil, dan transparan. Dirinya bertanggung jawab, bukan hanya pada aspek prosedural, tetapi juga substansi keadilan yang dihasilkannya. Inner structure yang sadar amanah, senantiasa gelisah bilamana belum mampu memberikan keadilan yang sesungguhnya bagi para pencari keadilan.

Kesadaran amanah, akan mendorong optimalisasi substruktur. Hakim akan terus belajar dan meningkatkan kompetensinya, agar mampu menjawab tantangan zaman, serta kompleksitas perkara. Sosoknya tidak segan mengakui keterbatasannya dan meminta pertimbangan dari rekan sejawat jika diperlukan, demi menjaga agar amanah memberikan putusan yang berkualitas tidak tercederai. Setiap pertimbangan hukum yang disusunnya, wujud pertanggungjawaban intelektualnya terhadap amanah tersebut. Substruktur kokoh dan terus berkembang adalah bukti keseriusan hakim menjaga kepercayaan.

Secara struktural, kesadaran sebagai pemegang amanah, termanifestasi dalam perilaku hakim yang senantiasa menjaga kehormatan dan kewibawaan lembaga peradilan. Hakim, menghindari segala perbuatan yang dapat merusak citra peradilan di mata publik.

Keterbukaannya terhadap pengawasan, kesediaannya untuk dievaluasi, dan komitmennya untuk terus melakukan perbaikan, bagian dari upaya menjaga amanah tersebut. Pada akhirnya, hakim yang menghayati dirinya sebagai pemegang amanah, menjadi penjaga marwah peradilan sejati, dimana setiap tindakannya dilandasi niat untuk melayani kepentingan publik dan menegakkan supremasi hukum berkeadilan.

Komitmen Abadi pada Sang Cahaya Keadilan

Perjalanan membedah tri dimensi hakim yang terdiri struktur, sub struktur, dan inner structure, serta menghayati sepuluh prinsip luhur Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, membawa kesimpulan fundamental yakni menjadi hakim merupakan panggilan untuk mencapai kesempurnaan insani dalam konteks pengabdian pada keadilan. Sebuah proses tanpa henti, menyelaraskan wujud lahiriah dengan kapasitas intelektual, dan menyinari keduanya dengan cahaya nurani, moralitas, dan spiritualitas yang bersemayam dalam inner structure. 

Marwah kehakiman tidak pernah tegak, hanya dengan simbol-simbol formal atau kecerdasan rasional semata, melainkan wajib ditopang kekuatan jiwa yang berintegritas, jujur, adil, arif bijaksana, mandiri, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, rendah hati, dan profesional. Saat, ketiga dimensi ini terintegrasi dan dihidupi secara mendalam, hakim dapat menjelma sebagai penjaga keadilan sejati, bukan hanya di hadapan hukum, tapi juga di hadapan Tuhan dan kemanusiaan.

Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim, kompas abadi yang harus senantiasa kita genggam erat. Wujudnya bukan sekadar aturan, melainkan cerminan dari aspirasi terdalam untuk menjadi insan peradilan yang benar-benar layak menyandang predikat Yang Mulia. 

Tantangan akan selalu ada, godaan senantiasa mengintai, namun dengan inner structure kokoh berlandaskan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan komitmen pada nilai-nilai luhur, mampu melaluinya. Mari, jadikan setiap hari dalam pengabdian sebagai kesempatan untuk terus memurnikan niat, mempertajam akal budi, dan memuliakan perilaku, demi terwujudnya pengadilan yang menjadi harapan terakhir dan terbaik para pencari keadilan. 

Semoga setiap ketukan palu, senantiasa menggemakan simfoni keadilan yang menenangkan jiwa dan mencerahkan peradaban.

 

Tim penulis: Dr. Bony Daniel, S.H., M.H. (Hakim PN Serang) Muhammad Irfansyah, S.H. (Calon Hakim di PN Serang), Maghfiraa Larasati Erlanggaputri, S.H. (Calon Hakim di PN Serang)., dan Catur Noviantoris Yusuf Putra, S.H. (Calon Hakim di PN Serang)

Penulis: Bony Daniel
Editor: Tim MariNews
Copy