Kaidah Hukum Yurisprudensi MA RI, Hukum Tegas Oknum TNI Pelaku LGBT

Penjatuhan pidana tambahan pemecatan kepada Terdakwa Prada AANF sesuai dengan ketentuan Pasal 26 KUHPMiliter.
Ilustrasi hakim militer. Foto istockphoto.com
Ilustrasi hakim militer. Foto istockphoto.com

Keberadaan LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender) menjadi suatu fenomena yang dihadapi masyarakat Indonesia pada saat ini.

Pelaku disorientasi seksual tersebut, memiliki jumlah signifikan di Indonesia, khususnya di beberapa wilayah di Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI, Jawa Barat memiliki jumlah terbanyak LGBT se-Indonesia yakni, 302 ribu orang. Kemudian diikuti Jawa Timur sebanyak 300 ribu orang, Jawa Tengah sekitar 218 ribu warganya mengasosiasikan diri sebagai LGBT, dan DKI Jakarta memiliki populasi LGBT sejumlah 43 ribu orang.

Bahkan kelompok LGBT semakin berani tampil di ruang publik. Indikasinya terlihat dari beberapa kali terdapat unjuk rasa sekelompok masyarakat di Jakarta, dengan membawa bendera pelangi yang merupakan simbol dan atribut kelompok tersebut. 

Tingginya angka LGBT di Indonesia adalah paradoks di negara yang menjunjung nilai religius. Bahkan pelaku LGBT masuk ke lembaga strategis pemerintah yang membidangi pertahanan dan keamanan, seperti TNI.

Biasanya disorientasi seksual yang dilakukan oknum anggota TNI, dapat terlihat saat melakukan perbuatan pidana kesusilaan yang melanggar ketentuan UU Pornografi (Undang-Undang RI Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi) atau UU ITE (Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik).

Atas perbuatan oknum anggota TNI yang melakukan tindakan dimaksud, dihadapkan ke persidangan di Pengadilan Militer. Pada tingkat pemeriksaan perkara di Mahkamah Agung, terdapat Yurisprudensi Mahkamah Agung RI yang mengadili perkara pidana militer terhadap oknum anggota TNI yang terbukti sebagai LGBT.

Selanjutnya, penulis akan menguraikan lebih lanjut mengenai kaidah hukum Yurisprudensi Mahkamah Agung RI tersebut, di bawah ini

Kedudukan TNI dalam Peraturan Perundang-Undangan

Konstitusi Indonesia telah mengatur kedudukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang memiliki tugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan serta kedaulatan negara, sebagaimana Pasal 30 Ayat 3 UUD NRI 1945.

Adapun panglima tertinggi dari setiap matra angkatan (angkatan darat, laut dan udara) yang berada dalam lingkup TNI berada di bawah kekuasaan presiden dan itu sesuai Pasal 10 UUD NRI 1945. Kedudukan peran, fungsi dan tugas Tentara Nasional Indonesia diatur secara terperinci dalam Undang-Undang RI Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, khususnya Pasal 5 sampai 7.

Setiap prajurit dan perwira TNI terikat sumpah prajurit untuk setia kepada NKRI, Pancasila dan UUD NRI 1945, serta tunduk pada hukum dan memegang teguh disiplin keprajuritan sesuai ketentuan Pasal 35 dan 36 Undang RI Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.

Bagi anggota TNI yang diduga melakukan tindak pidana akan dihadapkan dalam persidangan peradilan militer sesuai Pasal 9 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. 

Adapun yang memeriksa, mengadili, dan memutus anggota TNI di peradilan militer adalah hakim yang berstatus juga anggota TNI sebagaimana ketentuan Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Oknum anggota TNI yang menjadi Terdakwa dengan pangkat kapten ke bawah akan diadili pada tingkat pertama oleh Pengadilan Militer sesuai Pasal 40 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dan bagi yang berpangkat mayor ke atas, pada persidangan tingkat pertama akan diadili oleh Pengadilan Militer Tinggi sesuai Pasal 41 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Demikian juga, untuk kekuasaan pemerintah yang melakukan penyidikan dan penuntutan di lingkungan TNI dilakukan oleh oditur yang merupakan perwira TNI dengan kualifikasi berpangkat kapten dan berijazah sarjana hukum sesuai Pasal 47 Ayat 1 jo Pasal 52 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. 

Kaidah Hukum Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 43 K/Mil/2020

Oknum anggota TNI pada 2019, Prada AANF (inisial) dihadapkan ke persidangan Pengadilan Militer III-16 Makassar, karena melakukan perbuatan video call seksual dengan Kopda S (inisial) dari satu kamar mandi asrama kesatuan TNI di Makassar.

Majelis Hakim Pengadilan Militer Makassar dalam pertimbangan putusannya telah menyatakan, Terdakwa Prada AANF terbukti mengedarkan dan mempertontonkan pornograsi sebagaimana melanggar ketentuan Pasal 32 Undang-Undang RI Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi juncto Pasal 26 KUHPMiliter. Atas perbuatan Terdakwa, Prada AANF dihukum pidana penjara selama enam bulan dan pidana tambahan pemecatan. Terhadap putusan Majelis Hakim Militer Pengadilan Militer III-16 Makassar, telah dikuatkan oleh Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya.

Adapun Majelis Hakim Tingkat Kasasi Perkara Nomor 43 K/Mil/2020 yang diketuai oleh Hakim Agung Dr. Burhan Dahlan, S.H., M.H. dengan didampingi Para Hakim Agung Prof. Dr. Drs. H. Dudu Duswara M., S.H., M.Hum dan Hidayat Manao, S.H., M.H., dalam pertimbangan hukum putusan pada pokoknya menerangkan alasan judex factie selain menghukum pidana penjarma, enjatuhkan pidana tambahan berupa pemecatan sudah tepat dan benar, karena telah cermat mempertimbangkan fakta-fakta hukum dalam persidangan.

Perbuatan Terdakwa Prada AANF yang gemar melakukan hubungan seksual dengan sesama jenis, merupakan perbuatan yang tidak layak dan pantas dilakukan oleh prajurit TNI. Dengan demikian, penjatuhan pidana tambahan pemecatan kepada Terdakwa Prada AANF sesuai dengan ketentuan Pasal 26 KUHPMiliter dan oleh karenanya permohonan Kasasi Terdakwa Prada AANF harus dinyatakan tidak beralasan secara hukum.

Demikianlah kaidah hukum, yang dapat dipelajari dari Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 43 K/Mil/2020 tersebut, penjatuhan pidana tambahan berupa pemecatan terhadap pelaku hubungan seksual sesama jenis telah sesuai dengan Pasal 26 KUHPMiliter.

Pemecatan adalah tindakan tegas yang ditakuti oleh oknum anggota TNI yang terbukti melakukan tindak pidana.  
 

Penulis: Adji Prakoso
Editor: Tim MariNews