Dalam praktik hukum dan peradilan di Indonesia khususnya dalam praktik peradilan perdata, dikenal suatu tindakan hukum oleh pihak ketiga yang merasa haknya terganggu atas suatu gugatan yang dikenal dengan istilah Intervensi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), intervensi adalah campur tangan dalam perselisihan antara dua pihak (orang, golongan, negara, dan sebagainya).
Intervensi tidak diatur dalam HIR (Herzien Inlandsch Reglement/hukum acara perdata yang berlaku di wilayah Jawa dan Madura), RBg (Rechtreglement voor de Buitengewesten/hukum acara perdata yang berlaku di luar wilayah Jawa dan Madura), ataupun undang-undang khusus. Sehingga, berdasarkan Pasal 1 aturan peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, untuk mengisi kekosongan hukum terhadap perkara Intervensi, digunakanlah beberapa aturan di antaranya Pasal 70 RV dan 279 RV sebagai dasar hukum acara intervensi di pengadilan Indonesia sampai saat sekarang ini.
Pasal 70 RV menyatakan sebagai berikut “Jika seorang tergugat berpendapat ada alasan untuk memanggil seseorang untuk menanggungnya dan pemanggilan tidak dilakukan sebelum hari sidang pemeriksaan perkaranya, maka ia pada hari yang ditentukan untuk mengadakan bantahan harus mengajukan kesimpulan disertai alasan-alasan untuk itu sebelum bantahan dilakukan.
Di dalam kesimpulan itu, boleh dimasukkan tangkisan tentang ketidakwewenangan hakim, menyimpang dari apa yang ditentukan dalam Pasal 114 dan bila ini tidak terjadi dianggap tidak diajukan, kecuali bila hakim tidak berwenang berdasarkan pokok perselisihan.
Bila penggugat berpendapat ada alasan-alasan untuk memanggil seseorang untuk menanggungnya, maka ia harus mengajukan permohonan untuk itu dengan kesimpulan yang disertai alasan-alasan pada hari ia harus mengajukan jawaban balik (replik).
Jika permohonan dikabulkan, maka hakim akan memberikan waktu yang cukup berdasarkan jarak ke tempat tinggal si penanggung dan menentukan hari untuk memeriksa perkara pokoknya maupun perkara penanggungan. (Rv. 99.)
Putusan yang mengabulkan permohonan penanggungan tidak perlu diberitahukan kepada penanggung. Hal itu dimasukkan dalam gugatan dan diserahkan tindasan-tindasannya yang harus disampaikan kepada 18 penggugat dalam penanggungan. (Rv. 68, 106.)
Bila permohonan ditolak, pada putusan itu hakim menentukan hari pada waktu mana diadakan panggilan setelah perkara itu dimasukkan kembali dalam daftar giliran sidang.”
Sedangkan Pasal 279 RV menyatakan, “barangsiapa mempunyai kepentingan dalam suatu perkara perdata yang sedang berjalan antara pihak-pihak lain dapat menuntut untuk menggabungkan diri atau campur tangan.”
Setelah melihat beberapa dasar hukum terkait intervensi tersebut, maka jelaslah terlihat bahwa di antara perselisihan dua pihak, ada pihak ketiga yang memiliki hak atau punya peran yang seharusnya hadir di dalam perkara tersebut akan tetapi belum diikutsertakan. Pada praktiknya, intervensi dibagi atas tiga jenis atau bentuk intervensi yakni:
1. Voeging adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk bergabung kepada salah satu pihak;
Salah satu mantan Hakim Agung A. Mukti Arto memberikan pendapat terhadap pihak dalam voeging memiliki syarat-syarat yang diperlukan agar dapat ditetapkan sebagai pihak antara lain:
- Permintaan masuk sebagai pihak berisi tuntutan hak tertentu;
- Adanya kepentingan hukum langsung dari pihak ketiga yang ingin dilindungi dengan mendukung salah satu pihak berperkara; dan
- Kepentingan tersebut harus memiliki keterkaitan dengan pokok perkara yang sedang diperiksa.
2. Tussenkomst adalah ikut sertanya pihak ketiga untuk ikut dalam proses perkara pokok atas dasar inisiatif sendiri karena ada kepentingannya yang terganggu. Intervensi jenis ini diajukan oleh karena pihak ketiga merasa bahwa miliknya disengketakan/diperebutkan oleh penggugat dan tergugat;
3. Vrijwaring adalah penarikan pihak ketiga untuk bertanggung jawab (untuk membebaskan tergugat dari tanggung jawab kepada penggugat), karakteristik vrijwaring sebagai berikut:
- Esensinya merupakan penggabungan tuntutan;
- Salah satu pihak yang bersengketa, dalam hal ini tergugat menarik pihak ketiga ke dalam sengketa yang dihadapi;
- Keikutsertaan pihak ketiga timbul karena paksaan, bukan karena inisiatif sendiri.
Prosedur Intervensi dan Berbagai Permasalahan Intervensi dalam Praktik Peradilan
Praktik peradilan di Indonesia terkait dengan intervensi, dapat dilihat berdasarkan kepada Pasal 279 RV sampai dengan 282 RV. Secara singkat prosedur intervensi dilaksanakan dengan bermula pihak yang menjadi penggugat intervensi, mengajukan permohonan kepada Majelis Hakim yang memeriksa perkara pokok antara dua pihak lain sebelum atau pada kesimpulan para pihak.
Selanjutnya, terhadap permohonan tersebut diberitahukan kepada para pihak dan diperiksa permohonan tersebut apakah penggugat intervensi dapat diterima atau tidak dengan suatu putusan sela dari Majelis Hakim.
Seiring perkembangan teknologi informasi, prosedur beracara intervensi inipun berubah, dengan adanya e-Court, maka prosedur intervensipun berubah. Sebagaimana kita ketahui dalam SK KMA 363/KMA/SK/XJJ/2022 tentang Petunjuk Teknis Administrasi dan Persidangan Perkara Perdata, Perdata Agama, dan Tata Usaha Negara di Pengadilan Secara Elektronik, pada huruf C nomor 6 terkait gugatan intervensi huruf a sampai dengan k, memuat dengan jelas prosedur gugatan intervensi. Yang mana, pihak ketiga gugatan intervensi wajib memenuhi persyaratan sebagai pengguna terdaftar dan/atau pengguna lain dan segala sesuatu yang berkaitan dengan intervensi semuanya melalui e-Court. Mulai dari pendaftaran, pemberitahuan kepada pihak, sampai dengan ditutupnya akses pihak intervensi dalam e-Court apabila ditolak oleh Majelis Hakim.
Namun, dalam praktik persidangan muncul permasalahan berkaitan dengan intervensi. Apakah semua hakim punya kesamaan presepsi dalam mengambil keputusan? Sebagai contoh, apabila dalam satu perkara pihak penggugat intervensi telah diterima dan agenda sidang telah melewati jawab-jinawab, akan tetapi pihak Penggugat dalam perkara pokok mencabut gugatan dan tergugat menyetujui pencabutan tersebut, apakah pihak intervenien perlu dimintakan persetujuan atau tidak?
Setelah penulis melakukan diskusi dan tanya jawab kepada beberapa hakim pada pengadilan berbeda, ditemukan pula dua pendapat berbeda dalam mengambil tindakan pada kasus tersebut.
Pandangan pertama berpendapat, pihak penggugat Intervensi tidak perlu dimintakan persetujuan oleh karena beberapa hal yakni:
Pandangan pertama pada prinsipnya perkara intervensi tidak dapat berdiri sendiri sehingga apabila pokok perkara dicabut maka intervensi secara otomatis juga hilang;
Pandangan kedua berpendapat, pihak penggugat intervensi tetap perlu dimintakan persetujuan oleh karena telah diakui sebagai pihak dalam perkara tersebut melalui pemeriksaan yang telah ditetapkan oleh Majelis Hakim, sehingga pencabutan tetap meminta persetujuan pihak intervensi.
Apabila terdapat perdamaian antara penggugat dan tergugat dalam perkara pokok, bagaimana dengan perkara intervensinya?
Apabila suatu perkara terjadi seperti pertanyaan di atas, maka langkah apa yang sebaiknya diambil oleh Majelis Hakim? Apakah Majelis Hakim dapat menganggap hal tersebut sebagai kabul sebagian sehingga dibuatkan acta van dading atau Majelis Hakim dapat memberikan nasihat sebagaimana Pasal 132 HIR/156 RBg kepada para pihak, agar perkara tersebut dicabut sehingga apabila nantinya penggugat intervensi tetap merasa haknya dilanggar, dapat mengajukan gugatan sendiri. Dengan begitu, asas sederhana, cepat, dan biaya ringan tetap berjalan.
Namun, juga menjadi permasalahan apabila pihak penggugat dan tergugat tetap berkeinginan mendapatkan suatu acta van dading, sehingga menjadi sebuah kerancuan terhadap posisi pihak intervenient sendiri dalam perkara tersebut. Apakah dianggap secara otomatis hilang atau dapat mengambil langkah progresif dengan membuat acta van dading yang isinya juga memuat terkait pencabutan perkara intervensi itu sendiri?
Penulis sendiri berpendapat, untuk permasalahan nomor 1 setuju dengan pendapat pertama, oleh karena pada prinsip dasarnya intervensi tidak dapat berdiri sendiri, maka pihak intervenient tidak perlu dimintai persetujuan saat pencabutan gugatan apabila intervenient sudah diterima sebagai pihak.
Selain itu, terhadap permasalahan nomor 1 dan 2, juga demi terciptanya asas sederhana, cepat, dan biaya ringan juga terkait dengan upaya hukum yang harus dilakukan oleh pihak intervenient. Ini karena nantinya apabila intervensi dilanjutkan, tidak akan dapat dilakukan upaya hukum banding. Penyebabnya, perkara pokok telah selesai dengan adanya perdamaian. Sehingga, lebih tepat apabila perkara tersebut dicabut dan diberikan nasihat kepada pihak untuk mencabut apabila penggugat dan tergugat sudah berdamai.
Dari beberapa permasalahan di atas, masih terdapat perbedaan pendapat di antara beberapa hakim yang seharusnya hal ini dapat dijadikan satu pendapat yang sama. Sehingga, tidak adanya perbedaan dalam mengambil keputusan dalam kasus posisi yang benar-benar sama.
SK KMA 363/KMA/SK/XJJ/2022 hanya menyamakan presepsi terkait prosedural yang sudah tidak relevan lagi apabila melihat RV, akan tetapi tidak mengakomodir permasalahan yang dijabarkan di atas. Sehingga, penulis berpendapat solusi yang baik adalah dengan membentuk Peraturan MA atau SEMA dalam rapat pleno kamar terkait intervensi atau bahkan dimasukkan dalam pembaharuan buku II.
Dengan begitu, dapat menjadi pedoman bagi hakim tingkat pertama khususnya dan pengadilan di bawah Mahkamah Agung untuk dapat memiliki satu presepsi tanpa adanya perbedaan pendapat yang menyebabkan adanya disparitas penanganan masalah terkait intervensi.
Kesimpulan/Penutup
Permasalahan-permasalahan tersebut di atas menjadi catatan yang penulis rangkum pada saat melakukan ulasan dan mempelajari tentang “intervensi”, dalam rangka pengembangan diri dan peningkatan kualitas serta kapasitas penulis sebagai hakim dalam lingkungan peradilan umum. Dengan harapan dapat bermanfaat untuk kita semua.