“To cease to have an idea of what is good for man is to cease to have an idea of what is good for man’s life.”
Alasdair MacIntyre (After Virtue).
Masyarakat internasional dapat dilihat sebagai kumpulan individu-individu yang diikat oleh benang tipis dalam ranah anomia (a nomos). Kerangka normatif yang berlaku bersifat internal, namun upaya ratifikasi menjadi persoalan politis eksternal. Dengan kata lain, dari kacamata hubungan internasional, tekanan interdomestik (intermestik) menjadi elemen signifkan yang membentuk gerak dan rampak hukum sebuah negara.
Masalahnya, dengan situasi acak (contingent) seperti ini, peradilan arbitrase yang bersifat ad hoc menjadi samar oleh kepentingan geopolitik negara tertentu. Dalam situasi ini, fondasi normologis dari tatanan hukum negara-negara berkembang bisa dicederai oleh kepentingan sesaat dari negara-negara maju atau adikuasa. Pemikiran Alasdair MacIntyre menjadi relevan untuk memeriksa ulang berbagai arus agenda sempalan tersebut.
Dalam bahasa MacIntyre, manusia tidak bebas jika kebebasannya dimaknai sebagai kemampuan untuk melakukan apapun. Dalam pemikiran MacIntyre, manusia menjadi bebas jika kebebasannya adalah peluang untuk menjalankan marwah eksistensinya secara penuh.
MacIntyre mengatakan, “Man is not only essentially rational but also essentially dependent rational animal whose flourishing requires the exercise of the virtues in the context of practices, traditions, and communities” (manusia tidak hanya rasional pada hakikatnya, tetapi makhluk rasional yang perkembangan sejarahnya adalah geliat nilai yang mengakar pada praktik, tradisi, dan masyarakat) (MacIntyre, 2007). Kebebasan manusia bukan sekadar kebebasan positif (“bebas untuk”), tetapi “bebas sebagaimana layaknya”. Dalam pemahaman MacIntyre, seseorang baru bebas jika ia bisa memaksimalkan talenta luhurnya.
MacIntyre pada dasarnya adalah seorang Aristotelian. Aristoteles memperkenalkan konsep eudamonia sebagai kebahagiaan tertinggi. Seseorang baru mencapai kebahagiaan bagi Aristoteles jika dalam upayanya ia mengerahkan segala kemampuan, tanpa merugikan orang lain.
Seorang pemain bola baru bisa meraih eudamonia, bila dalam kesehariannya ia berlatih semaksimal mungkin untuk menjadi pemain bola terbaik, dan ia pulang ke rumah dalam keadaan lelah setelah berusaha sebaik mungkin (ergon).
Lebih tepatnya Aristoteles mengatakan: “The good for man is an activity of the soul in accordance with excellence or virtue, in a complete life” (yang terbaik bagi seseorang adalah saat jiwanya sejalan dengan pencapaian nilai-nilai luhur dalam kehidupannya yang utuh) (Aristoteles, 2019:1098a16–18).
Negara dan Marwah Pencapaiannya
Membaca pemikiran MacIntyre dalam skala negara, sebuah negara baru bisa dikategorikan bebas jika bisa memaksimalkan potensi luhurnya (virtue). Jika kebijakan suatu negara terombang-ambing oleh gesekan dan konflik internasional, sejatinya ia hanya memanfaatkan kebebasan positif.
Untuk bisa mencapai eudamonia, sebuah negara perlu mengetahui secara saksama disposisi terbaiknya. Sebagai ilustrasi, negara seluas pulau yang berada di titik persimpangan jalur perdagangan memiliki “tugas” untuk menjadi sentra pelabuhan yang unggul.
Dalam perspektif eudamonik Aristotelian, tugas Indonesia sebagai negara maritim dengan sumber daya alam dan sumber daya manusianya mungkin dijabarkan menjadi negara maju yang kuat di industri kelautan dan hilirisasi ekonomi berteknologi tinggi. Hanya bila tujuan (telos) ini dicoba semaksimal mungkin, Indonesia bisa menjadi negara bebas.
Dengan tantangan dan potensi yang berbeda dari negara lain, salah satu kebijakan Indonesia adalah untuk menerapkan mekanisme pembayaran Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) yang tidak terikat pada mekanisme internasional.
Dengan mempergunakan QRIS, konsumen dilindungi oleh sebuah sistem ekonomi yang mandiri (Muchtar et al., 2024). Intervensi negara lain, sekalipun itu negara adikuasa, tidak sejalan dengan kebebasan yang diangkat oleh MacIntyre. Campur tangan eksternal yang mencoba mempertahankan dominasi atau hegemoni ekonomi tidaklah dapat diterima (Jakarta Post, 28 April 2025).
Dalam bahasa Neo-Aristotelian MacIntyre, tugas negara adalah untuk mewujudkan pengoptimalan potensinya dalam percaturan politik dunia-dalam hal ini untuk memaksimalkan mekanisme ekonominya.
Dependensi ekonomi-politik yang terjadi di Indonesia juga dapat ditemukan di Eropa. Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB) mengemukakan kekuatiran terhadap ketergantungan ekonomi Eropa pada mekanisme pembayaran Visa atau Mastercard, yang berbasis di Amerika Serikat. ECB berupaya untuk mencari jalan keluar dengan mengajukan euro digital untuk meningkatkan otonomi kekuatan ekonomi regional tersebut (Reuters, 20 Maret 2025).
Prinsip ini sejalan dengan pemikiran Luciano Floridi tentang kedaulatan digital. Floridi mengatakan, kedaulatan digital adalah pilar penopang nilai-nilai demokrasi. Perekonomian digital jelas membutuhkan kedaulatan digital (Floridi, 2014). Dalam garis pemikiran MacIntyre, euro bukan sekadar mata uang, tetapi sebuah instrumen penting untuk mengoptimalkan potensi negara-negara anggota Uni Eropa. Hal serupa juga dapat ditemukan di negara-negara seperti Kenya dan Bangladesh, yang dengan memperkuat keuangan digital mereka seperti QRIS Indonesia, membuat negara tersebut lebih otonom (Roser, Ritchie, dan Mathieu, 2023).
Tantangan untuk Sistem Hukum Eudamonik
Hakim Agung Antonin Scalia dalam kasus PGA Tour, Inc. v. Martin, 532 U.S. 661 (2001) memberikan dissenting opinion tentang sejauh mana kebebasan dan tujuan harus ditautkan.
Dalam putusan Majelis Hakim yang dipimpin oleh John Paul Stevens, pemain golf difabel diperbolehkan untuk mendapat perlakuan berbeda dalam mengikuti kejuaraan golf dengan tidak perlu berjalan dari lapangan ke lapangan. Dalam hal ini, keputusan Majelis Hakim sejalan dengan gagasan Aristotelian tentang ergon.
Sebaliknya, Scalia menolak campur tangan negara dengan mengatakan, persoalan aturan permainan bukanlah masalah etik yang mendasar. Scalia mengatakan, “The Court’s position assumes the existence of an ideal golf game, against which all deviations can be measured. The rules of golf are the rules of the PGA Tour” (Pengadilan mengacu pada permainan golf yang sifatnya ultim, yang menjadi tolak ukur dari aktivitas bermain. [Sejatinya] aturan permainan golf adalah persoalan organisasi [PGA Tour]) (Supreme Court Ruling 532 U.S. 661).
Pemikiran Hakim Agung Scalia juga bertolak belakang dengan model pemikiran Pragmatisme Richard Rorty yang menekankan kontingensi dalam tatanan sosial dan politik (Rorty, 1989), sekalipun Rorty berbeda pendapat dengan Aristoteles tentang nilai-nilai keutamaan (virtue).
Membaca disposisi sebuah negara melalui kerangka Rorty berarti, mengakui identitas dan posisi Indonesia di dunia internasional tidak didasarkan pada kodrat tetap atau prinsip universal, melainkan terbentuk melalui peristiwa-peristiwa historis yang kebetulan (contingent).
Model pembayaran asing yang mendominasi platform internasional memperlihatkan bagaimana struktur global dapat memperangkap negara-negara seperti Indonesia dalam posisi ketergantungan. Dalam pandangan Rorty, dunia internasional lebih menyerupai arena persaingan bebas, di mana tidak ada pijakan hukum universal yang absolut (anomia), melainkan hanya hasil kontestasi kepentingan.
Konsekuensinya, inisiatif eksternal dari negara-negara besar memiliki peluang lebih besar untuk memperkuat dominasi mereka, sementara negara-negara berkembang harus membangun kedaulatannya melalui kreasi strategi pragmatis tanpa mengandalkan legitimasi universal yang stabil.
Tantangan yang cukup signifikan datang dari pengaruh kuat kapitalisasi pasar raksasa teknologi di pasar dunia. Perusahaan seperti Apple, memiliki dukungan modal sebesar 46 ribu triliun rupiah lebih, diikuti oleh Microsoft (sekitar 43 ribu triliun rupiah), Alphabet (Google, dengan 27 ribu lebih trilyun rupiah), dan di urutan kelima NVIDIA dengan lebih dari 24 ribu triliun rupiah (Business Insider, 4 Januari 2024).
Untuk memberikan gambaran, kapitalisasi pasar Apple saja melampaui PDB negara-negara berkembang seperti Kenya yang pada 2023 memiliki Produk Domestik Bruto sekitar Rp1.705 triliun. Ini berarti, kapitalisasi modal perusahaan sekelas Apple hampir 27 kali lebih besar daripada kekuatan ekonomi Kenya.
Data tersebut memperlihatkan timpangnya skala ekonomi dan kuatnya pengaruh global perusahaan teknologi asal Amerika Serikat, khususnya dalam dominasi dan hegemoni teknologi digital dunia. Hanya negara maju seperti Tiongkok atau Uni Eropa yang sanggup untuk mengimbangi kekuatan raksasa digital setingkat ini.
Dengan demikian, mempertahankan kedaulatan ekonomi dan politik dalam dunia internasional yang anomik menuntut negara-negara untuk tidak sekadar bergantung pada kerangka normatif global yang rapuh, melainkan secara aktif membangun potensi internal mereka melalui penguatan praktik, tradisi, dan komunitas nasional.
Baik dalam kerangka Aristotelian tentang pencapaian eudamonia, maupun dalam kerangka pragmatism Rorty tentang kontingensi dan kreasi strategis, kebebasan sejati sebuah negara terletak pada kemampuannya untuk mendefinisikan jalannya sendiri tanpa tunduk pada dominasi hegemoni global.
Indonesia, sebagaimana Uni Eropa, Kenya, dan Bangladesh, menunjukkan bahwa upaya membangun infrastruktur ekonomi domestik seperti QRIS atau euro digital adalah bentuk nyata dari perjuangan untuk mempertahankan kebebasan substantif di tengah tarik-menarik kekuatan ekonomi digital dunia.
Dalam dunia yang ditandai oleh pergeseran kekuasaan yang terus berubah, hanya negara yang mampu mengoptimalkan disposisi uniknya yang benar-benar dapat disebut sebagai negara merdeka.