Yurisprudensi Perikatan: Sahkah Suatu Perjanjian Apabila Salah Satu Pihak dalam Status Penahanan?

Meskipun dalam status penahanan, dinyatakan cakap menurut hukum untuk membuat perjanjian, karena tidak termasuk sebagai orang yang tidak cakap sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1330 KUHPerdata.
Ilustrasi putusan hakim. Foto: istockphoto.com
Ilustrasi putusan hakim. Foto: istockphoto.com

Yurisprudensi berasal dari bahasa Latin “iuris prudential” yang berarti ilmu hukum. Sedangkan dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah “jurisprudentie” yang berarti hukum peradilan atau peradilan tetap. Yurisprudensi diartikan sebagai berupa putusan-putusan hakim terdahulu yang telah berkekuatan hukum tetap dan diikuti oleh para hakim atau badan peradilan lain dalam memutus perkara atau kasus yang sama. 

Hal tersebut sebagaimana dikutip dari buku yang berjudul Kedudukan dan Relevansi Yurisprudensi untuk Mengurangi Disparitas Putusan Pengadilan yang diterbitkan pada 2010 oleh Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung (MA).

Enam tahun sebelumnya, MA juga telah menerbitkan buku dengan judul “Yurisprudensi MA Tahun 2003”. Kepala Direktorat Hukum dan Peradilan, H. Suparno, S.H. dalam kata pengantar buku tersebut mengungkapkan, buku Yurisprudensi MA merupakan bahan bacaan yang penting dalam menopang tugas hakim sehari-hari, dengan harapan buku tersebut dapat menunjang tugas hakim di kemudian hari.

Salah satu Yurisprudensi yang termuat dalam buku tersebut adalah Yurisprudensi mengenai perikatan, yaitu Putusan Nomor 792 K/Pdt/2002 tanggal 3 Januari 2002. Kaidah hukum dalam putusan tersebut yaitu, perjanjian perdamaian yang disepakati oleh kedua belah pihak, tanpa ada paksaan dan para pihak cakap untuk membuat perjanjian, meski salah satu pihak dalam status penahanan, perjanjian tersebut adalah sah. 

Hal yang menjadi sengketa antara penggugat dan para tergugat dalam perkara tersebut adalah, Akta Perdamaian tertanggal 7 Agustus 1999 Nomor 18 yang menurut penggugat telah dibuat tidak memenuhi proses dan persyaratan hukum. Adapun duduk perkara tersebut yaitu sebagai berikut:

1. Sesuai risalah rapat PT. Bintang Laju Sentosa tanggal 1 September 1995 Akte Nomor 3 ditentukan penggugat sebagai direktur utama, tergugat sebagai direktur persero, Wahyu Iskandar sebagai presiden komisaris.

2. Atas pengaduan tergugat I ke kapolres dengan tuduhan melakukan penipuan dan penggelapan, penggugat ditahan di Rutan Kelas I Kebonwaru sejak tanggal 10 Juni 1999 sampai dengan 18 Agustus 1999.

3. Dalam status penahanan, penggugat menandatangani akte perdamaian di Kantor Notaris tanpa ada waktu berpikir, penggugat terpaksa menandatangani dan penggugat merasa dirugikan, karena itu penggugat menuntut perjanjian perdamaian dibatalkan karena bertentangan dengan hukum.

Pertimbangan Majelis Hakim PN Bale Bandung

Pengadilan Negeri (PN) Bale Bandung melalui Putusan Nomor 47/Pdt.G/1997/PN BB menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya dalam pokok perkara sedangkan dalam rekonvensi, Majelis Hakim PN Bale Bandung mengabulkan gugatan penggugat rekonvensi/tergugat dalam konvensi untuk sebagian dan menyatakan tergugat dalam rekonvensi telah ingkar janji dan melawan hukum.

“Menyatakan tergugat dalam rekonvensi/penggugat dalam konvensi telah berhutang pada perseroan dan membayar kepada penggugat I rekonvensi tergugat dalam konvensi sisa hutang sebesar Rp100 juta dari hutang sebesar Rp165.420.429,” bunyi salah satu amar putusan yang diputus pada 5 September 2000 tersebut.

Majelis Hakim tingkat pertama turut menyatakan batal atau tidak berkekuatan hukum dan tidak berharga penetapan Pengadilan Negeri Bale Bandung tertanggal 26 Juli 2000 Nomor 47/Pdt.G/2000/PN BB dan Berita Acara Sita Jaminan tertanggal 29 Juli 2000 serta memerintahkan juru sita pada Pengadilan Negeri Bale Bandung untuk mengangkat/mencabut sita jaminan dalam perkara Nomor 47/Pdt.G/2000/PN BB. Dalam konvensi dan rekonvensi putusan tersebut, penggugat konvensi/tergugat dalam rekonvensi dihukum untuk membayar biaya perkara.

Majelis Hakim mempertimbangkan bukti-bukti surat yang diajukan oleh para pihak dan selain dari surat-surat tersebut, Majelis Hakim turut mempertimbangkan dua saksi yang diajukan oleh tergugat di muka persidangan, sebelum memberikan keterangan terlebih dahulu disumpah.

Saksi-saksi menerangkan yang saling berhubungan satu sama lain. Di mana, saat penandatanganan Akta Perdamaian ada di Kantor Notaris Kikit Wirianti Sugata, SH. dan tidak seorangpun dari pihak-pihak yang berkeberatan saat Akta Perdamaian itu dibacakan dan masing-masing pihak setuju atas bunyi Akta Perdamaian dan saksi Jo Sauw Hong ikut menandatangani akta tersebut.

Selanjutnya dalam pertimbangan putusan tersebut, diuraikan mengenai sahnya suatu perdamaian/perjanjian sebagaimana dimaksud Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) adanya empat syarat, (1) kesepakatan mereka yang mengikat dirinya, (2) kecakapan untuk membuat perikatan, (3) sesuatu hal tertentu, (4) suatu sebab yang batal. Syarat keempat dalam Pasal 1320 KUHPerdata tentunya dimaksud dengan tidak adanya kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan atau bertentangan dengan undang-undang.

Majelis Hakim berpendapat bahwa Akta Perdamaian tertanggal 7 Agustus 1999 Nomor 18 Vide P4 dan T1.11 TT3 telah memenuhi persyaratan sahnya suatu perjanjian sebagaimana dimaksud Pasal 1320 KUHPerdata, karena tidak seorang saksipun atau alat bukti yang membuktikan dalam pembuatan Akta Nomor 18 tersebut adanya kekhilafan baik orang maupun isi perjanjian perdamaian, paksaan atau tipuan.

Dengan demikian, penggugat tidak dapat membuktikan dalil-dalil gugatannya dan gugatan penggugat ditolak untuk seluruhnya.

PT Bandung Membatalkan Putusan Tingkat Pertama

Berbeda halnya dengan PN Bale Bandung, pada 28 Februari 2001 Pengadilan Tinggi (PT) Bandung membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama dengan mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya, dan membatalkan Akta Perjanjian Perdamaian Nomor 18 tanggal Agustus 1999 dalam konvensi sedangkan dalam rekonvensi menolak gugatan penggugat seluruhnya.

Majelis judex facti (pengadilan tinggi) menilai, bahwa dari isi Akte Perdamaian Nomor 18 tanggal 7 Agustus 1999 (bukti P.4, TI-II, TT.3) tersebut dari semula terdapat suatu ketidakseimbangan yang luar biasa yang telah disalahgunakan oleh tergugat I dalam konvensi/pembanding-terbanding, untuk memenuhi isi perjanjian tersebut sehingga merugikan penggugat dalam konvensi terbanding-pembanding.

Adanya ketidakseimbangan itu, menurut Majelis Hakim tingkat banding, yaitu berupa:

1. Dengan diizinkannya penggugat dalam konvensi/terbanding-pembanding oleh Ketua Majelis Hakim Bale Bandung (sebagaimana Surat Nomor 292/Pid.B/1999/PN BB tertanggal 7 Agustus 1999) keluar tahanan dari Rutan untuk menandatangani Akta Perdamaian No. 18 tanggal 7 Agustus 1999 tersebut.

2. Dalam keadaan terpaksa dan tidak adanya kesempatan berpikir untuk menandatangani akta tersebut di depan Notaris Kikit Wirianti Sugata, S.H./turut tergugat dalam konvensi,

3. Bahwa isi perdamaian tersebut sangat merugikan penggugat dalam konvensi/terbanding-pembanding oleh karena itu oleh tergugat I dalam konvensi/pembanding-terbanding, tanpa persetujuan penggugat dalam konvensi/terbanding-pembanding,

Judex facti merujuk pada pendapat Prof. Z. Asikin Kusumah Atmadja, S.H., yang mengkategorikan suatu penyalahgunaan keadaan (Misbruik van omstandigheden) adalah penyalahgunaan keadaan dianggap sebagai faktor dalam membatasi atau mengganggu adanya kehendak yang bebas untuk menentukan perjanjian antara kedua belah pihak maka perjanjian itu adalah batal demi hukum.

Selanjutnya, dengan adanya keadaan terpaksa dan tidak adanya kesempatan berpikir bagi penggugat dalam konvensi/terbanding-pembanding untuk menandatangani Akta Perdamaian Nomor 18 tanggal 7 Agustus 1999 (bukti P.4, T.I-II, TT.3) tersebut, merupakan penyalahgunaan keadaan (Misbruik van omstandigheden), sehingga merugikan penggugat dalam konvensi/terbanding-pembanding, maka Akta Perdamaian yang dimaksud haruslah batal demi hukum.

Majelis Hakim melalui Putusan Nomor 69/Pdt/2001/PT Bdg berpendapat bahwa isi akta perdamaian tersebut adalah sangat merugikan penggugat dalam konvensi/terbanding-pembanding. Hal ini disebabkan dalam pembuatan akta tersebut penggugat dalam konvensi/terbanding-pembanding dalam keadaan terpaksa dan tidak ada kesempatan berpikir baginya ketika menandatangani akta tersebut.

Judex Juris Mengadili Sendiri

Atas putusan banding tersebut, Majelis Hakim tingkat kasasi berpendapat bahwa judex facti (pengadilan tinggi) telah salah menerapkan hukum. Oleh karena itu, judex juris mengadili sendiri perkara tersebut dengan mengambil alih alasan dan pertimbangan putusan PN Bale Bandung tanggal 5 September 2000 Nomor 47/Pdt.G/2000/PN Bdg.

Majelis Hakim tingkat kasasi melalui Putusan Nomor 792 K/Pdt/2002 mendasarkan pada alasan-alasan sebagai berikut:

1. Berdasarkan keterangan saksi di bawah sumpah yang diajukan oleh pemohon kasasi dan termohon kasasi terbukti terjadi perdamaian, karena ada kesepakatan antara pemohon kasasi dengan termohon kasasi tanpa ada paksaan dalam artı yang ditentukan dalam Pasal 1324 juncto Pasal 1859 KUHPerdata,

2. Termohon kasasi pada waktu penandatangan meskipun dalam status penahanan, adalah cakap menurut hukum untuk membuat perjanjian, karena ia tidak termasuk sebagai orang yang tidak cakap sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1330 KUHPerdata.

3. Karena termohon kasasi dalam keadaan bebas tanpa paksaan dan cakap menurut hukum untuk membuat perjanjian, maka menurut hukum Mahkamah Agung dalam pembuatan perjanjian tersebut tidak ada penyalahgunaan keadaan karenanya termohon kasasi masih dapat memilih untuk tidak membuat perjanjian tersebut.

Putusan Nomor 792 K/Pdt/2002 tersebut diputus pada 3 Januari 2003 dengan Hakim Ketua yaitu H. Toton Suprapto, S.H., dan H. Parman Soeparman, S.H., serta H. Sunardi Padang, S.H. sebagai para Hakim Anggota, Panitera Pengganti oleh Adam Hidayat A., S.H.

Penulis: Nadia Yurisa Adila
Editor: Tim MariNews