“Keterangan ahli memang bukan segala-galanya, tetapi seringkali menjadi penentu terang atau gelapnya sebuah perkara”.
Pengantar
Bayangkan keterangan ahli seperti air yang dituangkan ke tanah: membasahi permukaan, meresap ke dalam, menghindari bebatuan, dan berusaha mencapai lapisan terdalam. Begitulah peran seorang ahli di persidangan: menjelaskan suatu bidang ilmu dari dasar hingga detail, tanpa keluar dari batas keahliannya.
Dalam konteks hukum, seorang ahli memiliki tanggung jawab besar. Ia harus mampu menjelaskan bidang ilmunya secara umum, mulai dari asas, prinsip, hingga pedoman dengan cara yang mudah dimengerti oleh orang lain. Di tahap ini, biasanya pendapatnya masih bisa diikuti dan diulang oleh pihak lain.
Namun, tak cukup sampai di situ. Seorang ahli juga wajib memahami detail teknis dalam bidangnya secara lebih spesifik, mengacu pada peraturan perundang-undangan, studi banding, dan berbagai referensi. Tetapi, dia juga harus tahu batas, jangan sampai membahas hal-hal yang di luar kompetensinya. Seperti air yang tak bisa menembus batu, ahli harus tahu mana wilayah yang bukan ranahnya.
Lebih dalam lagi, keahlian seorang ahli harus mencakup pengalaman langsung di lapangan. Keterangan ahli dalam hukum acara pidana yakni pendapat dari seseorang yang memiliki keahlian khusus untuk membantu menjelaskan suatu perkara pidana (Pasal 1 angka 28 KUHAP).
Keterangan Ahli: Lisan, Tertulis, dan Kedudukannya dalam Hukum
Menurut ketentuan Pasal 186 KUHAP, keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Namun dalam perkembanganya, keterangan ahli juga dapat yang disampaikan dalam persidangan secara elektronik sebagaimana pengaturan pada sejumlah kebijakan Mahkamah Agung.
Lain halnya dengan keterangan yang dituangkan secara tertulis, seperti visum et repertum dari dokter yang termasuk sebagai bukti surat, bukan lagi alat bukti berupa keterangan ahli. Ini memunculkan pertanyaan menarik: kalau dokter memberikan visum dan juga hadir sebagai ahli, apakah itu berarti ada dua alat bukti? Tentu kalau berdasarkan jenis alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP, hal tersebut merupakan dua alat bukti.
Keberadaan dua alat bukti memang menjadi syarat minimum untuk menjatuhkan pidana (Pasal 183 KUHAP). Tetapi, jika dua alat bukti tersebut berasal dari sumber yang sama, nilainya bisa dianggap belum cukup kuat. Alasannya, pembuktian tidak hanya melihat jumlah, tetapi juga mempertimbangkan keragaman dan kualitas sumber bukti. Bukti yang saling menguatkan dari sumber berbeda dianggap lebih objektif dan meyakinkan.
Di bidang hukum lingkungan, aturannya agak berbeda. Seorang ahli bisa memberikan keterangan baik secara lisan maupun tertulis, selama pendapat tersebut disampaikan di bawah sumpah dan berdasarkan keahlian serta pengetahuan terbaik yang dimilikinya. Jadi, meskipun keterangannya dibacakan, selama dia juga hadir di pengadilan, statusnya tetap sebagai ahli.
Keahlian Tak Hanya Soal Gelar
Keahlian seorang ahli bisa berasal dari banyak sumber: pendidikan formal, pelatihan, sertifikasi, atau bahkan pengalaman praktis. Tetapi yang tak kalah penting, dia juga sebaiknya mewakili institusi atau organisasi yang kredibel. Ini akan memperkuat legitimasi keterangannya di hadapan hukum.
Contohnya dalam perkara pers. Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2008 tentang Meminta Keterangan Saksi Ahli, menyarankan agar hakim memanggil ahli dari Dewan Pers. Alasannya jelas karena Dewan Pers paling memahami persoalan dunia jurnalistik, baik teori maupun praktik.
Dari sini, kita belajar tiga hal penting: 1). Ahli harus dipilih berdasarkan keahlian khusus. Kalau hanya butuh informasi umum, tak perlu ahli, 2). Ahli sebaiknya berasal dari lembaga resmi dan kredibel dan 3). Kehadiran ahli sebaiknya dilengkapi dengan surat tugas atau surat resmi dari instansinya.
Penanganan Perkara Lingkungan Hidup: Standar Lebih Tinggi
Dalam perkara lingkungan hidup, ketentuan lebih rinci lagi. Berdasarkan Perma Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup, hakim dapat menilai keahlian seorang ahli dengan melihat: 1). Latar belakang pendidikan formal (minimal S2), sertifikasi, dan pengalaman praktis. 2). Karya ilmiah atau hasil penelitian yang relevan dan 3). Keikutsertaan dalam seminar atau lokakarya yang dicantumkan dalam CV.
Standar ini wajar, mengingat perkara lingkungan hidup sangat bergantung pada bukti ilmiah dari penelitian dan pengamatan langsung di lapangan.
Jadi, pendapat ahli harus benar-benar berdasar dan relevan. Berdasarkan hal-hal tersebut maka, setidaknya ada lima alasan utama keterangan ahli dibutuhkan di persidangan:
1. Karena jenis dan sifat perkara yang membutuhkan analisis ilmiah dari ahli.
2. Adanya istilah teknis dalam undang-undang yang butuh penjelasan dari ahli.
3. Untuk mengurai unsur-unsur pidana yang hanya bisa dipahami lewat pendapat ahli.
4. Ketika dugaan tindak pidana memerlukan interpretasi khusus dalam pembuktiannya.
5. Jika hakim ragu dalam memutus benar atau tidaknya perbuatan terdakwa.
Kekuatan Pembuktian: Tidak Mengikat Hakim
Yang perlu dicatat, pendapat ahli sifatnya bebas. Artinya, hakim tidak wajib mengikutinya. Kalau hakim merasa pendapat ahli selaras dengan bukti lain dan meyakinkan, maka pendapat itu bisa jadi bahan pertimbangan dalam putusan. Tetapi kalau tidak relevan atau tidak meyakinkan, hakim bisa mengesampingkannya. Hal ini karena sistem pembuktian yang berlaku di Indonesia menganut prinsip conviction intime atau keyakinan bebas hakim berdasarkan alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 213 K/Sip/1955 tanggal 10 April 1957 juga menegaskan “bahwa penglihatan hakim dalam persidangan atas alat bukti-bukti tersebut adalah merupakan pengetahuan hakim sendiri yang merupakan usaha pembuktian”.
Dalam beberapa kasus, pengadilan sangat mempertimbangkan keterangan ahli dalam memutus perkara. Misalnya, dalam kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin yang menarik perhatian publik, banyak ahli dihadirkan untuk memberikan pendapat mereka. Keterangan para ahli tersebut menjadi salah satu dasar bagi hakim dalam mengambil simpulan.
Sebaliknya, ada pula kasus di mana pengadilan menolak pendapat ahli. Misalnya, dalam perkara penggelapan pajak dengan terdakwa Suwir Laut. Majelis Hakim menolak ahli yang diajukan oleh penuntut umum karena menganggap ahli tersebut berasal dari penyidik pada Direktorat Jenderal Pajak, sehingga dikhawatirkan tidak objektif. Namun Majelis Hakim meminta penuntut umum untuk mengajukan ahli dari lembaga independen seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) (tempo.com).
Penutup
Keterangan ahli memang bukan segala-galanya, tetapi seringkali menjadi penentu terang atau gelapnya sebuah perkara. Peran mereka tak sekadar hadir di ruang sidang, tetapi membawa terang dari sudut ilmu yang tak dimiliki hakim, jaksa, dan pengacara. Dan di situlah letak pentingnya: menjadi jembatan antara dunia ilmiah dan dunia hukum.