Menelusuri Putusan Aktivis Haris Azhar: Perlindungan Kebebasan Berpendapat dan HAM

Penuntut umum mendakwa Haris Azhar dengan surat dakwaan yang disusun kombinasi yakni, gabungan alternatif dan subsidaritas.
Ilustrasi jalannya persidangan. Foto: istockphoto.com
Ilustrasi jalannya persidangan. Foto: istockphoto.com

Belum lama ini, publik Indonesia dihebohkan dengan persidangan aktivis prodemokrasi serta Hak Asasi Manusia, Haris Azhar.

Adapun Haris Azhar harus menghadapi proses hukum dan dihadapkan ke persidangan karena melakukan perbincangan bersama Fatia Maulidiyanti dalam podcast yang disiarkan kanal YouTube Haris Azhar dengan judul “Ada lord Luhut di balik relasi ekonomi-ops militer Intan Jaya!! Jenderal BIN juga ada!! NgeHAMtam”.

Persidangan Haris Azhar dilaksanakan Pengadilan Negeri Jakarta Timur dan teregister dalam perkara Nomor 202/Pid.Sus/2023/PN Jkt.Tim. 

Yang menyeret Haris Azhar ke proses hukum adalah adanya laporan polisi dari Luhut Binsar Pandjaitan, mantan Menteri Kordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, yang juga memangku jabatan penting lainnya era Presiden Joko Widodo.

Laporan diajukan kepada Polda Metro Jaya pada 22 September 2021 sebagaimana Laporan Polisi Nomor: LP/4702/IX/YAN.2.5/2021/SPKT PMJ. Beberapa poin yang dipermasalahkan secara hukum oleh Luhut dalam podcast Haris Azhar bersama Fatia Maulidiyanti antara lain: Penyebutan nama Luhut dan jenderal BIN di balik relasi ekonomi-ops militer Intan Jaya! 

Dakwaan Terhadap Haris Azhar

Selanjutnya, penuntut umum mendakwa Haris Azhar dengan surat dakwaan yang disusun kombinasi yakni, gabungan alternatif dan subsidaritas. Pada dakwaan kesatu, Haris Azhar dituduhkan melakukan tindak pidana penyertaan penghinaan atau pencemaran nama baik melalui sarana informasi elektronik sebagaimana ketentuan Pasal 27 Ayat (3) jo Pasal 45 Ayat (3) Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Pasal 55 Ayat 1 ke (1) KUHP.

Sedangkan dalam dakwaan kedua disusun secara subsidaritas yakni, primer Haris Azhar dianggap turut serta secara sengaja menyiarkan berita bohong yang menimbulkan keonaran di masyarakat sesuai ketentuan Pasal 14 Ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana jo Pasal 55 Ayat 1 Ke-(1) KUHP. 

Dalam dakwaan kedua subsidair, Haris Azhar dinilai melakukan penyertaan menyiarkan kabar tidak pasti, berlebihan, atau tidak lengkap. Sedangkan patut diduga kabar demikian akan atau mudah dapat menimbulkan keonaran di kalangan rakyat. Hal itu sebagaimana Pasal 15 Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana jo Pasal 55 Ayat 1 Ke-(1) KUHP.

Adapun untuk dakwaan ketiga, penuntut umum menilai perbuatan Haris Azhar dianggap penyertaan pencemaran nama baik sesuai Pasal 310 Ayat (1) jo Pasal 55 Ayat 1 Ke-(1) KUHP.

Pertimbangan Hukum Putusan Haris Azhar

Majelis Hakim yang dipimpin Cokorda Gede Arthana, S.H., M.H. berdasarkan asas fair trail, mempertimbangkan keseluruhan surat dakwaan kesatu sampai dengan ketiga. Meskipun dimungkinkan untuk langsung memilih salah satu bentuk dakwaan yang akan dipertimbangkan dalam putusan tersebut, akan tetapi dengan memilih salah satu dakwaan bersifat fait accompli karena dianggap dakwaan tersebutlah yang terbukti dan salah satu dakwaan memiliki sifat subsidaritas yang harus dipertimbangkan satu per satu dari dakwaan primer hingga dakwaan subsider.

Majelis Hakim dalam pertimbangan putusan atas nama Terdakwa Haris Azhar menyatakan, perbuatan yang dilakukan Haris Azhar tidak termasuk dalam tindak pidana penyertaan penghinaan atau pencemaran nama baik melalui sarana informasi elektronik berdasarkan Pasal 27 Ayat (3) jo Pasal 45 Ayat (3) Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jo Pasal 55 Ayat 1 ke (1) KUHP, sebagaimana dakwaan kesatu penuntut umum.

Dalam pertimbangan putusan tersebut, Majelis Hakim menerangkan pada pokoknya perkataan "Lord" yang diletakan sebelum nama Luhut Binsar Pandjaitan telah sering disematkan media online dan menjadi fakta yang diketahui umum (notoir), bilamana ada orang menyebut nama Luhut Binsar Pandjaitan. Bahkan, dalam perbincangan sehari-hari masyarakat, Lord Luhut sering diucapkan akan tetapi tidak menimbulkan suatu permasalahan bagi Luhut Binsar Pandjaitan.

Selain itu "Lord" dalam bahasa Inggris memiliki arti Yang Mulia dan merupakan sebutan bagi orang  atau tuan yang memiliki wewenang, kendali atau kuasa pihak lain, selaku majikan, pemimpin atau penguasa. Demikian juga Majelis Hakim berpendapat penyebutan "Lord" kepada Luhut Binsar Pandjaitan tidaklah ditujukan kepada pribadi atau personal Luhut.

Namun, kepada kedudukan atau jabatan Luhut sebagai salah seorang Menteri Kabinet Presiden Jokowi dan mendapatkan banyak kepercayaan dari presiden untuk menjabat atau mengurus berbagai urusan publik di pemerintahan atau bidang tanggap darurat seperti saat Covid-19 merebak di Indonesia.

Maka, Majelis Hakim menilai, frasa kata “Lord” pada Luhut Binsar Pandjaitan bukanlah dimaksudkan sebagai suatu penghinaan atau pencemaran nama baik. Dikarenakan, kata "Lord" bukan menggambarkan kondisi buruk, jelek atau hinaan atas keadaan fisik atau psikis seseorang. Tetapi, berkaitan dengan status atau posisi seseorang yang berkaitan dengan kedudukannya. 

Sedangkan uraian dalam dakwaan yang menyatakan “jadi penjahat juga kita” yang ke luar dari mulut Fatia Maulidiyanti dalam podcast tersebut, saat Haris Azhar mengajak Fatia Maulidiyanti untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan yang terlibat bisnis pertambangan di Papua in casu (PT Antam, PT FI dan PT Toba Sejahtera) dimaksud, bukanlah ditujukan kepada pribadi Luhut Binsar Panjaitan yang keterkaitannya hanya terhadap PT Toba Sejahtera Grup. Selain itu, frasa “jadi penjahat juga kita” tidak termasuk dalam laporan Luhut Binsar Pandjaitan kepada Polda Metro Jaya.

Adapun untuk pertimbangan Luhut bisa dibilang bermain di dalam pertambangan-pertambangan yang terjadi di Papua hari ini, bukanlah termasuk dalam kategori penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, sesuai Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, dan Kapolri Nomor 229,154,KB/2/VI/2021 Tahun 2021 tentang Pedoman Implementasi atas Pasal Tertentu dalam UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Ini dikarenakan video podcast tersebut, berdasarkan pada telaah, komentar, analisa, pendapat dan penilaian atas hasil kajian cepat yang dilakukan Koalisi Masyarakat Sipil.

Dalam SKB Menkominfo, Jaksa Agung dan Kapolri tersebut, merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU/VI/2008 yang dalam pertimbangannya menjelaskan bukanlah delik dengan muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik menggunakan sarana elektronik bilamana didasarkan pada penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan.

Selanjutnya, perbuatan Haris Azhar tidak termasuk turut serta dengan sengaja menyiarkan berita bohong yang menimbulkan keonaran di masyarakat berdasarkan Pasal 14 Ayat (2) Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana jo Pasal 55 Ayat 1 Ke-(1) KUHP, sebagaimana dakwaan alternatif kedua primair.

Di mana, Majelis Hakim dalam pertimbangan putusannya menjelaskan pada pokoknya perbuatan Haris Azhar, tidaklah menyiarkan berita atau pemberitaan bohong dikarenakan adanya keterlibatan Luhut Binsar Pandjaitan sebagai beneficial owner dalam bisnis pertambangan di Papua melalui anak perusahaan PT Toba Sejahtera atas nama PT TDM (Toba Del Mandiri).

Demikian juga pada PT Toba Sejahtera, yang 99% sahamnya dimiliki Luhut dan merupakan menteri senior di pemerintahan seperti disebutkan kajian cepat yang dibuat Koalisi Masyarakat Sipil, sebagai dasar podcast Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti yakni bukanlah berita atau pemberitaan bohong.

Demikian juga Haris Azhar tidak terbukti melakukan menyiarkan kabar tidak pasti, berlebihan atau tidak lengkap sedangkan patut diduga kabar demikian akan atau mudah dapat menimbulkan keonaran di kalangan rakyat berdasarkan Pasal 15 Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana jo Pasal 55 Ayat 1 Ke-(1) KUHP sebagaimana dakwaan alternatif kedua subsidair. Di mana, Majelis Hakim menilai PT Toba Sejahtera yang 99% sahamnya dimiliki Luhut Binsar Pandjaitan, memperoleh manfaat dari pengelolaan bisnis tambang yang dilakukan PT. Toba Del Mandiri selaku anak perusahaan dari PT. Toba Sejahtera.

Maka, Luhut merupakan beneficial owner atau penerima manfaat karena Luhut secara berkala mendapatkan laporan keuangan perusahaan, baik dalam laporan tahunan atau per catur wulan untuk keadaan kritikal pada perusahaan. Sehingga, unsur kabar yang tidak pasti atau berlebihan atau tidak lengkap tidak terpenuhi dari tindakan Haris Azhar.

Selain itu, Majelis Hakim juga telah menyatakan Haris Azhar tidak terbukti melakukan penyertaan pencemaran nama baik berdasarkan Pasal 310 Ayat (1) jo Pasal 55 Ayat 1 Ke-(1) KUHP sebagaimana dakwaan ketiga penuntut umum.

Adapun sesuai pertimbangan putusan Majelis Hakim, yang mana, materi podcast atau perbincangan Haris Azhar bersama Fatia Maulidiyanti dalam kanal YouTube, bukanlah melanggar kehormatan atau nama baik dengan menuduh melakukan suatu perbuatan tertentu. Ini karena masih ada kesesuaian antara kajian cepat yang dibuat Koalisi Masyarakat Sipil dengan perbincangan dalam podcast tersebut. 

Oleh karena seluruh dakwaan tidak terbukti berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim dalam putusan a quo, maka Haris Azhar dibebaskan dari dugaan melakukan tindak pidana dalam putusan perkara Nomor 202/Pid.Sus/2023/PN Jkt.Tim yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 8 Januari 2024

Selain mempertimbangkan seluruh dakwaan, Majelis Hakim menambahkan pertimbangannya dengan mengutip peribahasa Latin berbunyi cogitationis poenam nemo patitur yang artinya tidak ada seorangpun boleh dihukum karena apa yang dipikirkannya.

Hal itu sejalan dengan pernyataan ahli filsafat Rocky Gerung yakni, kebebasan berfikir bersifat absolut dan kebebasan berpendapat tidak dapat dibatasi, kecuali apabila kebebasan itu sudah menunjuk hidung orang yang dikritisi.

Majelis Hakim juga menerangkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, merupakan salah satu negara demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan berfikir, berpendapat dan berekspresi sebagai bagian dari hak asasi manusia berdasarkkan Pasal 28 UUDNRI (konstitusi). Seorang pejabat di pemerintahan, harus siap mendapatkan kritikan baik bersifat personal ataupun terkait kebijakannya. 

Adapun vonis bebas terhadap Haris Azhar sebagaimana Putusan Nomor 202/Pid.Sus/2023/PN Jkt.Tim, telah dikuatkan Mahkamah Agung RI dalam Putusan Nomor 5712 K/Pid.Sus/2024 yang diketuai oleh Hakim Agung YM. Dwiarso Budi Santiarto, S.H., M.H. dengan didampingi Hakim Agung YM. Ainal Mardhiah, S.H. M.H. dan YM. Sutarjo, S.H., M.H. 

Penulis: Adji Prakoso
Editor: Tim MariNews