Ketika Nama Disebut dalam Dakwaan: Kewajiban Penegak Hukum Menindaklanjuti Tanpa Menunggu petunjuk Hakim

Jika kita ingin membangun negara hukum yang sejati, maka setiap nama dalam dakwaan harus menjadi pintu masuk ke proses penyelidikan yang adil, objektif, dan imparsial.
Ilustrasi suasana persidangan. Foto istockphoto.com/
Ilustrasi suasana persidangan. Foto istockphoto.com/

Dalam proses peradilan pidana, dakwaan bukanlah sekadar rangkaian narasi hukum. Ia adalah kerangka legal yang dibangun oleh Jaksa Penuntut Umum berdasarkan hasil penyidikan, berisi uraian faktual dan yuridis mengenai peristiwa pidana dan siapa saja yang terlibat di dalamnya. Karena itu, ketika sebuah nama muncul dalam dakwaan, terlebih dalam konteks peran yang relevan terhadap tindak pidana, maka keberadaan nama tersebut tidak bisa dianggap remeh atau sekadar pelengkap narasi.

Fakta bahwa nama seseorang disebut dalam dakwaan, apalagi jika menyiratkan peran aktif atau pasif dalam kejahatan, wajib ditindaklanjuti secara hukum. Menunggu “petunjuk” dari hakim dalam konteks ini, justru mencerminkan kekeliruan pemahaman atau keengganan aparat penegak hukum untuk menjalankan kewenangannya secara mandiri tanpa memandang latarbelakang dengan menerapkan prinsip hukum yang paling mendasar yaitu persamaan di hadapan hukum (equality before the law).

Pertanyaannya, apakah aparat penegak hukum harus menunggu “petunjuk” dari hakim ketika nama seseorang disebut dalam dakwaan?

Jawabannya tegas: tidak.

Prinsip Proaktif dalam Penegakan Hukum

Sistem hukum pidana di Indonesia berdasarkan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) memberi wewenang penuh kepada penyidik dan penuntut umum untuk menelusuri, menyelidiki, dan menyidik siapa pun yang diduga terlibat dalam suatu tindak pidana. Bahkan, Pasal 1 angka 2 dan 7 KUHAP secara tegas menyebutkan:

- Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

- Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim.

Dengan demikian, jika jaksa dalam surat dakwaannya secara eksplisit menyebut seseorang turut serta dalam tindak pidana (sebagai “yang melakukan”, “yang menyuruh melakukan”, dan “yang turut serta melakukan perbuatan”), maka penyebutan tersebut secara hukum merupakan sinyal cukup kuat yang seharusnya segera ditindaklanjuti oleh penyidik atau jaksa melalui proses hukum tersendiri, tanpa menunggu “petunjuk” dari majelis hakim. 

Sebab, peran hakim baru dimulai pada tahap ajudikasi, yaitu ketika perkara sudah masuk ke pengadilan untuk diperiksa dan diputus, bukan pada tahap penyidikan yang merupakan domain penyidik dan penuntut umum, sebagaimana dalam Pasal 109 ayat (1) KUHAP yang menyatakan:

"Dalam hal penyidik telah mengetahui bahwa suatu peristiwa merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum".

Pasal ini menunjukkan bahwa begitu ada indikasi peristiwa pidana dan keterlibatan seseorang, penyidik berkewajiban menyampaikan dan menindaklanjuti, tanpa memandang status sosial atau kedudukan pihak yang diduga.

Equality Before the Law: Tidak Ada Kekebalan Moral

Prinsip persamaan di hadapan hukum adalah ruh dari setiap sistem hukum modern dan demokratis. Prinsip ini tertuang dalam:

- Pasal 27 ayat (1) UUD 1945: "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya".

- Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman: "Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang".

Ketika seseorang yang disebut dalam dakwaan dibiarkan tanpa proses hukum lanjutan maka bukan hanya keadilan yang dikhianati, tetapi juga konstitusi itu sendiri.

Praktik tebang pilih tidak hanya menciptakan ketidakadilan individual, tetapi juga bersifat destruktif terhadap penegakan hukum dan  merusak kepercayaan publik terhadap integritas lembaga penegak hukum. Ketika masyarakat menyaksikan bahwa hukum hanya tajam ke bawah namun tumpul ke atas, maka sistem hukum kehilangan legitimasi moralnya.

Tanggung Jawab Etis Aparat Penegak Hukum

Aparat penegak hukum tidak hanya memiliki tugas legal, tetapi juga tugas etis dan moral. Ketegasan untuk menindak siapa pun yang disebut dalam dakwaan baik rakyat biasa maupun pejabat negara, pengusaha papan atas, dan tokoh masyarakat berpengaruh, tindakan hukum tidak boleh bergantung pada status, kekuasaan, atau pengaruh politik yang melekat pada individu tersebut.

Dalam praktiknya, penegakan hukum yang sejati tidak hanya terlihat dari kemampuan menuntaskan perkara, tetapi juga dari konsistensi sikap dalam memperlakukan semua pihak dengan standar yang sama. Keberanian untuk membuka penyelidikan terhadap siapa pun yang disebut dalam dakwaan, tanpa kecuali, adalah cerminan nyata dari komitmen terhadap prinsip non-diskriminasi dalam proses hukum. Ini bukan semata persoalan teknis, tetapi menyangkut wajah hukum itu sendiri. Apakah aparat penegak hukum telah menjalankan tugas sebagai instrumen keadilan.

Dengan demikian, aparat penegak hukum harus terus mengingat bahwa di balik kewenangan yang dimilikinya, melekat pula tanggung jawab untuk menjaga kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. Penegakan hukum tanpa pandang bulu merupakan amanat konstitusi dan etika profesi yang harus dijalankan secara nyata. Karena dalam negara hukum, tidak boleh ada satu orang pun yang kebal terhadap pertanggungjawaban hukum.

Jangan Biarkan Hukum Dipermainkan oleh Simbol dan Status

Ketika nama seseorang muncul dalam surat dakwaan dengan dugaan keterlibatan dalam tindak pidana, aparat penegak hukum harus bertindak. Tidak boleh ada alasan “menunggu petunjuk hakim,” apalagi menunggu tekanan publik. Terlebih lagi, tidak boleh ada toleransi terhadap praktik tebang pilih.

Hukum tidak dibuat untuk menghormati kedudukan, kekayaan, atau jejaring kekuasaan, melainkan untuk menjamin tegaknya keadilan bagi semua. Justru karena kekuasaan atau pengaruh yang dimilikinya, seseorang seharusnya menjadi teladan dalam kepatuhan terhadap hukum, bukan pengecualian dari proses hukum.

Jika kita ingin membangun negara hukum yang sejati, maka setiap nama dalam dakwaan harus menjadi pintu masuk ke proses penyelidikan yang adil, objektif, dan imparsial. Karena hanya dengan cara itulah, kita memastikan bahwa hukum benar-benar bekerja sebagai pelindung keadilan.

Mari kita tegakkan hukum dengan keberanian dan integritas, tanpa pandang bulu, karena keadilan sejati hanya terwujud ketika hukum berlaku setara bagi semua, tanpa terkecuali.
 

Penulis: Iqbal Lazuardi
Editor: Tim MariNews
Copy