Pemberitaan memiliki makna sangat luas dan penting bagi suatu lembaga, terutama dalam konteks publik. Pemberitaan dapat memberikan dampak positif dan negatif terhadap citra, reputasi, dan bahkan keberlangsungan lembaga tersebut.
Tidak jarang, pemberitaan pers menjadi hal yang tidak mengenakkan bagi suatu lembaga, terutama pemberitaan mengandung suatu bentuk hinaan, fitnah, maupun pelecehan terhadap marwah suatu lembaga.
Mahkamah Agung, sebagai lembaga negara di bidang yudikatif, pernah suatu waktu mengalami pemberitaan pers tidak mengenakkan. Sejarah mencatat, medio 1993, empat media ibu kota yakni, Berita Buana, Pos Kota, Harian Terbit, dan Merdeka yang menuliskan pemberitaan tentang Majelis Hakim Tingkat Kasasi menjatuhkan Putusan Nomor 5K/TUN/1992 tentang kasus tanah di Jalan Sabang, Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Empat media Ibu kota tersebut, menuliskannya sebagai putusan yang dianggap cacat hukum dan mengandung banyak kelemahan.
Respons Mahkamah Agung atas Pelecehan Lembaga Peradilan
Sebagai respons terhadap pemberitaan tersebut, diketahui, pada 13 Oktober 1993, Mahkamah Agung, pernah menerbitkan keterangan pers berkaitan dengan pelecehan terhadap badan peradilan oleh empat media ibu kota tersebut, yang pada pokoknya menyebutkan sebagai berikut:
1. Bahwa berita ini merupakan pelecehan terhadap Badan Peradilan cq. Mahkamah Agung dan melanggar Pasal 4 ayat (3) UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi: “Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak-pihak lain di luar Kekuasaan Kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal tersebut dalam Undang-Undang Dasar.
2. Dalam negara hukum, putusan pengadilan adalah final, selama tidak ada lagi upaya hukum yang tersedia. Kalau upaya hukum masih ada (dalam hal ini Peninjauan Kembali) maka setiap insan Pancasilais dalam Negara Hukum RI ini, seharusnya tidak melemparkan persoalannya kepada umum.
3. Dimohon kiranya pimpinan redaksi sebelum memuatnya sebagai berita yang bersifat menjatuhkan wibawa citra Mahkamah Agung dan nama baik mantan Ketua Muda bidang TUN MA RI Indroharto, S.H., sebelumnya mengecek terlebih dahulu kepada Mahkamah Agung RI.
4. Demikian Press Release Mahkamah Agung RI.
Apa Isi Putusan Nomor 5K/TUN/1992?
Sesungguhnya, apa isi putusan Nomor 5K/TUN/1992 yang dijatuhkan oleh Olden Bidara, S.H, Ketua Muda MA RI sebagai Ketua Majelis, Kohar Hari Sumarno, S.H dan TH. Ketut Suraputra, sebagai hakim-hakim anggota?
Dalam anotasi putusan, yang ditulis Oce Madril pada 30 Mei 2025 sebagaimana termuat dalam website karakterisasi.komisiyudisial.go.id, disebutkan, Putusan Nomor 5K/TUN/1992, mengandung kaidah yurisprudensi yang diikuti banyak putusan hakim di masa berikutnya.
Oce Madril menyebutkan “Jangka waktu mengajukan gugatan pada Peradilan Tata Usaha Negara telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU Peratun).
Ketentuan Pasal 55 mengatur, bahwa: ''Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara''. Ketentuan tersebut menitikberatkan pada ''diterimanya'' atau ''diumumkannya'' sebuah keputusan untuk menentukan jangka waktu gugatan. Jangka waktu 90 (sembilan puluh hari) dihitung sejak saat ''diterimanya'' atau ''diumumkannya'' sebuah keputusan.
Putusan Mahkamah Agung nomor 5K/TUN/1992 memberikan pemaknaan baru terhadap ketentuan Pasal 55 tersebut. Putusan tersebut menyatakan, ketentuan jangka waktu mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 bermakna, bahwa jangka waktu mengajukan gugatan harus dihitung sejak Penggugat mengetahui adanya keputusan yang merugikannya,”
Konteks Masa Kini
Sejak 32 tahun sejak press release tersebut dikeluarkan, ternyata masih sangat relevan untuk kondisi badan peradilan masa kini.
Secara umum, tugas seorang Juru Bicara Pengadilan adalah memberikan penjelasan kepada masyarakat mengenai suatu perkara yang tengah, maupun telah selesai ditangani pengadilan.
Namun demikian, dalam suatu keadaan tertentu, ketika pemberitaan media massa memberikan suatu hal yang tidak sesuai, dengan yang telah disampaikan ataupun mengandung pelecehan dan menurunkan kewibawaan institusi, maka perlu kiranya seorang Juru Bicara Pengadilan menggunakan hak-nya sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers telah memberikan suatu jalan untuk itu. Terdapat dua kemungkinan yang dapat dilakukan Juru Bicara Pengadilan dalam meluruskan suatu pemberitaan yang mengandung pelecehan dan menurunkan kewibawaan institusi, yaitu Hak Jawab dan Hak Koreksi.
Berdasarkan Pasal 1 Angka 11 dan 12 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan, Hak Jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
Sementara itu, Hak Koreksi, adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau memberitahukan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
Dengan adanya, Hak Jawab dan Hak Koreksi, setiap media/pers juga wajib melakukan kewajiban koreksi. Menurut Pasal 1 Angka 13 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebutkan, kewajiban koreksi, keharusan melakukan koreksi, atau ralat terhadap suatu informasi, data, fakta, opini, atau gambar yang tidak benar yang telah diberitakan oleh pers yang bersangkutan.
Semoga melalui kilas balik sejarah press release Mahkamah Agung tanggal 13 Oktober 1993 tersebut, memberikan suatu penegasan bagi para hakim yang saat ini bertindak sebagai Juru Bicara Pengadilan, untuk senantiasa bekerja seoptimal mungkin memberikan informasi pengadilan kepada media massa, dengan tetap memperhatikan hak-hak yang dimiliki agar marwah pengadilan tetap terjaga di mata masyarakat.