Konsep Kant tentang Fondasi Keadilan Rasional

Dalam kerangka filsafat hukum, kontribusi Kant tidak hanya menjadi kritik atas model-model etika teleologis seperti libertarianisme dan utilitarianisme, tetapi juga menawarkan panduan normatif yang dapat menopang perumusan hukum positif yang menjunjung tinggi akal budi dan nilai kemanusiaan sebagai prinsip dasarnya.
Immanuel Kant. Foto pixels.com
Immanuel Kant. Foto pixels.com

“Two things fill the mind with ever new and increasing admiration and awe, the starry heavens above me and the moral law within me.”

Immanuel Kant (Critique of Practical Reason).

Membahasakan manusia sebagai subjek hukum yang rasional bukan persoalan sederhana. Atas dasar itu, dalam kajian filsafat hukum pemikiran Immanuel Kant menjadi sangat fundamental.

Kant mengajukan sebuah fondasi teoretik yang membuat manusia memiliki dasar untuk melakukan kebajikan (virtue). Menurut filsuf Jerman yang hidup di masa Abad Pencerahan tersebut, manusia perlu meletakkan rasionalitas atau akal budi sebagai titik sentral ontologis, dan memastikan bahwa rasionalitas bekerja dengan baik sebagai tumpuan epistemologisnya.

Sederhananya, perbuatan baik didasarkan pada kesadaran bahwa manusia yang rasional akan selalu menggunakan rasionalitasnya untuk mencapai tujuan yang sejalan dengan akal budinya.

Untuk memahami gagasan Kant ini, kita dapat membayangkan bahwa ada dua motif utama dalam melakukan perbuatan bajik. Yang pertama adalah motif untuk kebaikan itu semata, yang kedua adalah untuk mendapatkan pujian atau reputasi.

Menurut Kant, seseorang tidak cukup hanya melakukan perbuatan baik karena ia ingin mendapatkan sesuatu karena tindakannya. Kant mempergunakan istilah cara (means) dan tujuan (ends) sebagai instrumen teoretiknya.

Dalam sistem pemikiran Kant, sebuah tindakan dikatakan baik apabila dikerjakan untuk tujuan yang tidak menjadikan siapapun sebagai cara, tetapi sebagai titik akhir dari aksi tersebut. Sebagai ilustrasi, petugas pemadam kebakaran memadamkan api untuk keselamatan korban, bukan untuk mendapatkan pujian dari warga yang mengalami musibah.

Bila dibandingkan dengan gagasan liberalis, libertarian dan utilitarian, ada dua titik penting dalam gagasan Kant ini. Yang pertama, manusia didudukkan ulang oleh Kant sebagai titik sebab dan bukan sebagai akibat dari tindakan moral. Yang kedua, bahwa perbuatan moral apapun pada dasarnya adalah kewajiban yang disadari sepenuhnya oleh akal budi (duty), dan bukan kecenderungan (inclination).

Ini berarti, pemikiran Kant berada pada titik yang sepenuhnya berseberangan dengan ide-ide libertarianisme dan utilitarianisme tentang keadilan. Keadilan menjadi produk dari rasionalitas manusia, dan manusia tidak ditentukan oleh agensi eksternal yang berada di luar dirinya. Sebagai insan yang otonom, manusia punya kebebasan untuk memeriksa alasan dan alur tindakan beserta kompleksitas konsekuensinya.

Otonomi Subjek Rasional sebagai Fondasi Tatanan Hukum

Untuk memahami Kant lebih lanjut, kita perlu sedikit kembali ke menelusuri perkembangan filsafat Barat, sebagai titik kontras dari filsafat Timur. Karena mayoritas negara-negara saat ini menerapkan sistem hukum yang berasal dari pemikiran ini, maka mengetahui alasan Kant untuk kembali ke otonomi subjek menjadi sangat relevan dan signifikan.

Ini karena, titik pertama perkembangan filsafat ada pada tindakan mengetahui (dari bahasa Yunani “gignṓskō” yang berarti untuk tahu). Kata tersebut merupakan akar dari maxim (sebuah prinsip dasar pengetahuan yang setara dengan postulat): “gnōthi seautón”-yang berarti kenali dirimu sendiri (Plato, 1891:38a).

Projek yang ditempuh Kant adalah untuk kembali ke disposisi awal filsafat sebelum ambangan argumentasi yang digagas oleh Sokrates-sebagai tolak ukur filsafat klasik.
Sistem pemikiran Kant sebenarnya setia dengan jangkar filsafat Yunani yang digagas Protagoras: “pantōn chrēmatōn metron anthrōpos”-manusia adalah tolak ukur dari segalanya (Plato, 1990:152a).

Sisi inilah yang kemudian didistorsi dalam pemikiran libertarian dan utilitarian, yang seolah mengatakan bahwa kebahagian dan penderitaan adalah tolak ukur segalanya: bagi libertarianisme kebahagiaan sejati adalah mutlak persoalan individual-personal, sedangkan bagi utilitarianisme, hal tersebut adalah wilayah impersonal-sosial. Kant mencoba mendudukkan ulang titik sentral moral kembali ke manusia, dan bukan dari situasi emosional seperti kebahagiaan atau penderitaan.

Projek rasionalisme ini sebenarnya adalah benang merah dari filsafat Barat selalu konsisten hingga sekarang. Distorsi irasionalitas manusia muncul karena situasi tidak menentu yang terjadi di Eropa di masa setelah Renesans, sehingga mencapai rasa bahagia dan terbebas dari rasa sakit menjadi tolak ukur.

Kant mengatakan, tindakan membunuh adalah sebuah kesalahan karena sebagai insan yang menyadari keberadaan dirinya, tindakan membunuh tidak memberi ruang pada rasionalitas manusia. Mengambil nyawa orang lain atau melakukan tindakan bunuh diri melepaskan paksa manusia dari tugas dan tanggung jawab untuk menjadi makhluk yang rasional, dan oleh karena itu pembunuhan tidak dapat dibenarkan. Hukum, dalam garis pemikiran Kantian, tidak dapat diambangkan pada perasaan (dalam istilah Inggrisnya disebut “sentiment”).

Sebuah tatanan hukum yang jernih dan menjunjung tinggi keadilan harus dibangun oleh dan diletakkan di atas akal budi. Oleh karena itulah, subjek hukum dapat dimintai pertanggung-jawabannya karena sebagai person, seseorang dengan secara sadar melakukan perbuatan dan tindakannya. Sederhananya, manusia dapat dimintai pertanggungjawabannya secara hukum karena martabatnya, yang berasal dari akal budinya.

Tindakan Kategoris sebagai Wujud Rasionalitas

Untuk memberi gambaran seperti apa kira-kira hukum yang rasional, Kant memberi dua buah prinsip dasar yang disebut sebagai Imperatif Kategoris. Untuk Imperatif Kategoris yang pertama, yang berbunyi: “Act only on that maxim whereby you can at the same time will that it should become a universal law”-Bertindaklah sesuai dengan keutamaan yang darinya tindakan tersebut dapat menjadi hukum yang sifatnya universal (Kant, 1788).

Untuk memahami prinsip yang pertama ini, kita perlu kembali pada peran diri (self) dalam pemikiran filsafat Barat yang berasal dari era Protagoras. Aturan yang diberikan Kant ini perlu dibaca secara hati-hati, dan tidak masuk ke dalam perangkap tafsir seperti: “karena saya ingin bersikap jujur menjadi hukum universal, maka saya akan bersikap jujur”. Imperatif Kategoris Kant yang pertama lebih tepat dibaca: “bertindaklah sesuai dengan akal budi yang luhur, yang menjunjung keluhuran martabat manusia”.

Untuk membantu memperkuat prinsip pertamanya, Kant memberikan Imperative Kategoris yang kedua, yang berbunyi: “Act in such a way that you always treat humanity, whether in your own person or in the person of any other, never simply as a means, but always at the same time, as an end”-Bertindaklah sedemikian rupa sehingga senantiasa memperlakukan manusia sebagai manusia, baik dalam diri sendiri maupun dalam diri orang lain, tidak semata-mata sebagai alat (means), melainkan sekaligus sebagai tujuan (ends) pada dirinya sendiri (Kant, 1788). Di dalam tujuan (ends) inilah Kant meletakkan martabat manusia. Tindakan yang tidak bermoral dengan kata lain adalah tindakan untuk mencerabut hakikat asali martabat seseorang.

Bila demikian, dengan mengembalikan sumber hukum kembali ke martabat manusia, Kant menawarkan jalan keluar terhadap persoalan dilematis yang ada dalam libertarianisme dan utilitarianisme. Ekses dari keduanya adalah pengakuan berlebihan pada hak seseorang, atau sebaliknya, negasi mutlak.

Dalam pemaparannya, John Locke memberi catatan bahwa dengan memberikan persetujuan untuk bergabung dengan sebuah negara (menjadi warga negara), maka tuntutan wajib militer dan mempertaruhkan nyawa di medan perang menjadi sesuatu yang bersifat mutlak. Seturut argumen Jeremy Bentham, sekalipun seseorang sudah bekerja sangat keras dan membangun keberhasilan dengan jerih payahnya sendiri, negara berhak untuk mendistribusikannya untuk kepentingan mayoritas.

Dalam pemikiran Kant, dilema ini muncul karena perspektif yang dipergunakan adalah hak, dan bukan kewajiban (duty). Dengan meletakkan kewajiban dalam sudut pandang martabat manusia, pembuat aturan dan undang-undang dapat menjernihkan polemik dan problematika yang muncul karena ambiguitas persepsi tentang kebahagiaan dan penderitaan.    

Sebagai penutup, pemikiran Immanuel Kant tentang hukum dan moralitas memberikan fondasi konseptual yang kokoh bagi pengembangan sistem hukum yang rasional, adil, dan menghormati martabat manusia.

Dengan menempatkan rasionalitas sebagai pusat dari tindakan moral dan hukum, Kant membalik paradigma yang menekankan pada hasil atau konsekuensi, menuju sebuah pendekatan yang bertumpu pada kewajiban dan maksud etis dari subjek pelaku. Imperatif kategoris yang Kant ajukan bukan sekadar prinsip normatif, melainkan penegasan filosofis atas otonomi dan kebebasan manusia sebagai makhluk yang mampu menentukan arah tindakannya secara sadar dan bertanggung jawab.

Oleh karena itu, dalam kerangka filsafat hukum, kontribusi Kant tidak hanya menjadi kritik atas model-model etika teleologis seperti libertarianisme dan utilitarianisme, tetapi juga menawarkan panduan normatif yang dapat menopang perumusan hukum positif yang menjunjung tinggi akal budi dan nilai kemanusiaan sebagai prinsip dasarnya.

Penulis: Muhammad Afif
Editor: Tim MariNews