Hakim sebagai Bagian dari Narasi Bangsa

Peran hakim sebagai “storyteller” narasi bangsa mungkin dapat kita petik dari putusan Mahkamah Agung Swedia.
Ilustrasi putusan hakim. Foto istockphoto.com
Ilustrasi putusan hakim. Foto istockphoto.com

“The finest form of recognition is that which arises from the events themselves, when the startling discovery is made by natural means, as the result of the events in the plot.” 

Aristoteles (Poetics, 1452a22–1452b1).

Narasi yang membangun sebuah bangsa sama pentingnya dengan infrastruktur yang bersifat material. Narasi bangsa adalah infrastruktur mental yang menjamin keberlangsungan rasa saling percaya yang tidak bisa dinafikan. Mengapa cerita semacam ini penting?

Sederhananya, tanpa kepercayaan penuh akan rekan sebangsa setanah air, tidak ada negara yang stabil. Hukum dalam perspektif ini dapat dilihat sebagai sebuah cerita luhur yang berperan fundamental. Dari perspektif historis, hukum adalah ejawantahan normatif-yuridis dari kebijaksanaan lokal (local wisdom), dan berasal dari penuturan generasi ke generasi yang akhirnya dikanonisasi menjadi peraturan dan perundang-undangan. Di sini, seorang hakim menjadi konstruktor carita yang membangun dan menegakkan eksistensi negara-bangsa (nation-state).

Sebuah negara tidak membangun cerita dari satu orang. Gagasan tentang bangsa Indonesia yang ada dalam Pancasila pun merupakan cerita bersama yang dibangun lewat sejarah (bandingkan Anderson, 2006). Satu pertanyaan yang dapat kita renungkan adalah seberapa terkait hukum dan narasi besar semacam itu. Dengan kata lain, lewat literatur sastrawi kita dapat merefleksikan sejauh mana berbagai bentuk kebijaksanaan lokal dari ratusan suku bangsa yang telah mengakar dalam konstruksi ideologis Negara Kesatuan Republik Indonesia memainkan peran sentral dalam hukum Indonesia modern. Berbagai pemikir di ranah kajian filsafat mencoba untuk menggali kembali posisi hukum dan sastra.

Literasi Etis dan Kebijaksanaan Juridis

Salah satu dari sekian pemikir muda ini adalah Emilia Jocelyn-Holt. Ia mengkritik pengaruh Hans Kelsen yang kuat dalam dominasi positivistik hukum di Chile yang cenderung “puro, cerrado, autosuficente” (murni, tertutup, dan swa-sufisien). Melihat hukum sebagai semata aturan dan logika menurut Jocelyn-Holt seperti menegasi unsur manusia dari peraturan dan perundang-undangan (Jocelyn-Holt, 2013:239-259).

Bagi Jocelyn-Holt, pendekatan Non-Barat (Global South) perlu menilik ulang kenyataan bahwa pertanyaan-pertanyaan etis yang menjadi dasar dari konstruksi sebuah aturan ada dan berasal dari seputar dunia hidup manusia (Lebenswelt). Jawaban atas pertanyaan tersebut semestinya tidak bersifat rasional murni, tetapi eksperiensial. 

Menegasi eksplorasi eksperiensial adalah sebuah langkah keliru – atau bahkan fatal – karena menegasi alasan keberadaan (raison d’etre) dari penalaran juridisnya. Guyora Binder and Robert Weisberg dalam Literary Criticisms of Law mengangkat gagasan tentang lembaga peradilan dan produk-produknya bukan sebagai instrumen untuk memodifikasi dan mengendalikan perilaku, tetapi interpretasi dan narasi yang menciptakan makna sosial. Hukum menurut mereka berkarakter sastrawi.

Mereka mengatakan: “The literary is a constitutive dimension of law rather than a redemptive supplement” (Dimensi sastrawi merupakan unsur konstitutif dalam hukum, bukan sekadar pelengkap tambahan) (Binder & Weisberg, 2000:19). Kritik sastra pun beririsan dengan hukum dalam domain penafsiran, penuturan (storytelling), persuasi (retorika), dekonstruksi, dan kultural.

Lebih lanjut Binder dan Weisberg berargumen, pada dasarnya sastra adalah elemen intrinsik dari hukum. Persis seperti karya sastra memberikan tawaran pemaknaan baru, demikian pula putusan pengadilan memberikan dimensi makna dan identitas kultural yang baru. 

Sastra yang dimaksud oleh Binder dan Weisberg pada dasarnya adalah sastra tinggi; literatur sastra yang merupakan ejawantahan dari semangat dan ruh kebudayaan yang ada di sebuah wilayah. Di era Yunani Klasik (tahun 510 hingga 323 sebelum masehi), dari karya-karya dramaturg (pembuat naskah drama) Aeskhilus hingga Aristophanes, skenario dibuat dengan mengintegrasikan secara lekat tatanan hukum di Athena. Penonton ditempatkan dalam posisi sebagai juri atau iuris. Fragmen-fragmen dari gelaran sastra sedemikian menjadi semacam mootcourt dari situasi hukum yang riil (Harris, Leão & Rhodes, 2013). Dengan kata lain, hukum ada dalam drama Yunani, dan drama Yunani adalah sumber hukum Yunani. 

Tuturan Lakon dan Penuturan Hukum

Dari pemikiran Aristoteles, penciptaan puitik (poetic mimesis) dan penalaran hukum bersifat paralel. Bila sastra mempergunakan anagnorisis (rekognisi) dan peripeteia (titik balik plot cerita) sebagai instrumen, hukum memiliki pisteis (pembuktian legal) dan epieikeia (pertimbangan yang adil). Kedua jalur instrumentasi ini pada dasarnya adalah dua kutub berseberangan yang bertemu di tengah-tengah.

Di ujung yang satu, hukum bergerak menuju titik “fiksi jurispridensi”, sementara di ujung yang lain, sastra bergerak menuju “kebenaran literal”. Keduanya bergerak dengan metode reka konstruksi (constructive falsehood) yang akhirnya mengungkap kebenaran luhur (Eden, 2014).  Aristoteles dengan demikian mendudukkan hukum dan sastra sebagai dua sisi dari mata uang yang sama, terikat erat sebagaimana ekonomi dan politik adalah entitas dengan dua wajah. 

Gejolak di masyarakat Spanyol pada Abad Pertengahan, dengan upaya untuk keluar dari tarik-menarik pendekatan hukum Mos Italicus (yang mengacu pada hukum Romawi) dan Mos Gallicus (yang mengacu pada penciptaan hukum baru), dibahasakan oleh sastrawan Cervantes dalam karya seminalnya Don Quixote. Bagi Susan Byrne (2012), upaya Cervantes untuk menghadirkan hukum imajiner “Mos Hispanicus” sebagai upaya curah gagasan mencari jalan tengah antara Siete Partidas (mengakar pada tradisi hukum Romawi) dengan Fuero Juzgo (menitikberatkan pada tradisi hukum Germanik). Fuero Juzgo memberi ruang desentralisasi pada aneksasi wilayah teritorial baru, sementara Siete Partidas menekankan aspek sentralisasi otoritas ala kekaisaran.

Kedua lapisan ini dibahas oleh Byrne sebagai argumen tentang kelekatan antara sastra dan hukum di Spanyol secara historis. Ruh (spirit) sebuah bangsa sifatnya tidak terukur dan non-material. Rekaman terukur dari gerak ruhani tersebut adalah karya-karya sastra luhur yang selalu menjadi buku petunjuk cara bernegara berdasarkan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Baik Eden maupun Byrne mengasumsikan posisi hakim seperti Homeros, penyair di era Yunani Klasik yang menceritakan tentang kisah heroik seperti Iliad dan Odyssey. Kedua kisah itu mengabadikan nama Achilles, Hector, Agamemnon, Paris, Helena, dan sekian tokoh lainnya yang menjadi semacam indikator dari moralitas personal.

Kebaikan dan keadilan menjelma menjadi pengalaman; secara naratif mereka menjelma menjadi hidup eksperiensial warga negara. Hukum pun menjadi hidup karena tidak lagi berbicara dalam tataran konsep, tetapi ada sebagai personifikasi yang dekat dengan masyarakat.

Cerita dari Hukum yang Hidup

Peran hakim sebagai “storyteller” narasi bangsa mungkin dapat kita petik dari putusan Mahkamah Agung Swedia berikut ini. Putusan di 23 Januari 2020 yang dikenal dengan nama “Girjas” memberikan hak eksklusif pada komunitas masyarakat terasing Girjas Sámi untuk berburu dan memancing di tanah lelulur mereka.

Majelis Hakim memberikan hak urminnes hävd yang berarti kepemilikan atas lahan sejak mula. Sumber hukum dari putusan ini adalah sajak-sajak yang menjadi tradisi sastra lisan suku Sámi jauh sebelum Swedia menjadi negara modern (Girjas, Putusan Kasus T 853-18).

Peran hakim di sini adalah sebagai konservator praktik perlindungan alam yang diemban oleh suku Girjas Sámi. 

Di tengah derasnya tekanan industri yang beriringan dengan kepentingan ekonomi nasional, Mahkamah Agung Swedia masih memberikan ruang pada kesusastraan tradisional lisan sebagai jangkar penalaran putusan. Contoh berikutnya dapat dilihat di Portugal, dalam putusan sengketa tanah pada tanggal 10 April 2024. Masyarakat yang menghidupi tanah “adat” baldios. Novel yang ditulis oleh Aquilino Ribeiro, Quando os lobos uivam, menggambarkan upaya masyarakat adat dalam membela hak-hak mereka, menjadi salah satu pertimbangan hakim dalam mengambil putusan (Acórdão No. 325/89). Hak baldios pun dilindungi oleh negara dari gerusan komersialisasi.

Dari ulasan singkat di atas, kita melihat bahwa hukum bukan sekadar tatanan rasional-formal, melainkan juga bentuk narasi kultural yang hidup (lahir dari pengalaman, dijiwai oleh kebijaksanaan lokal, dan diteruskan melalui generasi). Dalam pengertian inilah, peran hakim menjadi krusial bukan hanya sebagai penafsir norma, tetapi juga sebagai penutur cerita kolektif bangsa.

Tuturan hakim sepatutnya berada dalam koridor naratif yang tidak hanya rasional, tetapi juga padat dengan nilai-nilai luhur. Seperti halnya Homeros yang mencatatkan nilai-nilai moral bangsa Yunani dalam puisi epiknya, atau Cervantes yang membingkai perdebatan hukum Spanyol melalui satir, hakim hari ini memikul tanggung jawab simbolik untuk menjaga keberlangsungan ruh kebangsaan melalui putusannya. Ketika hukum dihidupkan oleh suara komunitas, kisah-kisah lokal, dan nilai-nilai leluhur, maka hukum tidak lagi kaku dan jauh dari rakyat, melainkan hadir sebagai ruang bersama untuk membayangkan dan membentuk masa depan bangsa.
         

Penulis: Muhammad Afif
Editor: Tim MariNews