Memikirkan Kembali Prinsip Dasar Keadilan Ekologis

Pertumbuhan ekonomi semestinya tidak bertolak belakang dengan keberlanjutan.
Ilustrasi, ekonomi berkelanjutan. Foto Pixabay.com
Ilustrasi, ekonomi berkelanjutan. Foto Pixabay.com

“Sustainable development refers to State efforts to achieve progress (development), qualified by the condition that the efforts should be possible to maintain over the long term (‘sustainable’)”.

Marie-Claire Cordonier Segger (“Commitments to Sustainable Development through International Law and Policy”).

Berbicara tentang landasan filosofis dari keadilan ekologis dan mata rantai biosfernya tidak bisa dilepaskan dari pembahasan tentang air. Pakar hukum internasional Marie-Claire Cordonier Segger (2016), yang mengepalai lembaga PBB, Climate Law and Governance Initiative (CLGI), memberikan catatan penting bahwa langkah yang ditempuh negara-negara di dunia dalam Perjanjian Paris (Intergovernmental Panel on Climate Change-IPCC) di satu sisi, adalah sebuah kemajuan teknis. Sementara di sisi yang lain, adalah kemunduran perlawanan. Sebagai sebuah gerakan bersama yang dimulai dari Protokol Kyoto pada 1997.

Penyebab terbesar dari kemunduran tersebut adalah, mengakarnya sistem berorientasi lokal dan jangka pendek yang memberi penekanan pada profit daripada keberlanjutan.

Segger (2016) memberi catatan penting bahwa risiko terbesar dari IPCC, yang hingga awal tahun ini sudah masuk tahap sidang pleno ke-62, adalah menjadi sekadar kosmetik kebijakan yang tidak memberikan dampak apapun terhadap perbaikan kualitas iklim yang sekarang menjadi agenda penting untuk mengatasi bencana global dan sekaligus eksistensial. Yang dampaknya sudah bisa dirasakan dari anomali musim hujan, frekuensi banjir, dan angin topan yang semakin tinggi.

Hukum, bagi Segger, dapat memainkan peranan yang cukup penting. Lepas dari tarik ulurnya proses ratifikasi ke dalam perundang-undangan negara-negara penandatangan konvensi IPCC tersebut, inovasi menjadi sebuah elemen yang sangat penting.

Pernyataan Segger didukung pakar hukum dari Cambridge, Marcus Gehring (2016), yang menegaskan, aspek tanggung jawab dan inovasi menjadi elemen penting yang perlu perhatian serius dalam upaya perbaikan iklim manapun. Dengan kata lain, alih-alih menunggu pendekatan top-down, Segger mengadvokasi pentingnya strategi bottom-up sebagai langkah awal.

Lingkungan sebagai Titik Tolak Prinsip-Prinsip Hukum

Segger dan Hakim Agung C.G. Weeramantry dalam Sustainable Development Principles in the Decisions of International Courts and Tribunals (1992–2012), mengatakan bahwa: “A very important aspect of this ‘fabric of modern life’ is found in our evolving laws and justice systems. These systems are intricately woven upon the shared values, morals and ethics of an increasingly interconnected and interdependent world. Among the shared values, there is found a growing sense of respect for the common interest of all, a sense of responsibility for our common future” (Aspek yang sangat penting dari "jaringan kehidupan modern" ini terdapat dalam hukum dan sistem keadilan yang terus berkembang. Sistem-sistem ini terjalin secara rumit berdasarkan nilai-nilai, moral, dan etika yang semakin terhubung dan saling bergantung di dunia. Di antara nilai-nilai yang dibagikan bersama, terdapat rasa hormat yang semakin berkembang terhadap kepentingan bersama semua pihak, serta rasa tanggung jawab terhadap masa depan kita bersama); Seeger & Weeramantry, 2017:3.

Pertumbuhan ekonomi semestinya tidak bertolak belakang dengan keberlanjutan. Terkait itu, Seeger mengatakan, “development can be defined as the processes of expanding people’s choices, enabling improvements in collective and individual quality of life, and in the exercise of full freedoms and rights” (pembangunan dapat didefinisikan sebagai proses memperluas pilihan manusia, memungkinkan peningkatan kualitas hidup baik secara kolektif maupun individu, serta dalam pelaksanaan kebebasan dan hak secara penuh); Seeger, 2017:32.

Seger juga menambahkan, pembangunan yang hanya berorientasi jangka pendek berisiko. Karena bagi Seeger, hal itu akan menyebabkan punahnya keanekaragaman hayati, hancurnya ekologi laut karena penangkapan ikan yang berlebihan, dan terdegradasinya kualitas tanah dan air karena bahan-bahan kimia berbahaya yang sulit terurai (Seeger, 2021:35).

Sementara, pakar ekologi dari Universitas Duke, Stuart Pim (2014) justru menyebut, ancaman terbesar terhadap kepunahan massal berbagai spesies, datang dari praktik konvensi lahan ilegal yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip keberlanjutan.

Kesadaran yang sangat lemah dari budaya tentang pentingnya mata rantai ekologis, menurut pemikir filsafat Jamen McLen (2014) dari Selandia Baru, adalah elemen lain yang memiliki andil dalam lemahnya penegakan hukum yang berkaitan dengan kemenyintasan spesies. 

Kualitas Air dan Eksploitasi Sumber Daya Laut

Persoalan menjaga kualitas air pada dasarnya adalah masalah teknologis. Sebagai ilustrasi, miliaran liter kubik dari Kota Chicago, Amerika Serikat, direjuvenasi kualitasnya di sebuah instalasi yang pengolahan limbah yang berteknologi tinggi.

Air buangan dari rumah tangga dan industri, misalnya, disaring dari materi polutan kasar dan halus, yang kemudian diendapkan dan dipisahkan menjadi dua bagian, padat dan cair. Setelah pengolahan primer, di langkah selanjutnya materi-materi toksik dan organik dibersihkan, kemudian air diendapkan, dan lumpur pengotornya dipadatkan.

Air yang sudah bersih, kemudian dialirkan kembali ke sumber-sumber seperti laut untuk masuk dalam siklus natural selanjutnya. Lumpur pejalan biologis berfungsi sebagai pupuk, dan bahan kimia berbahaya dipisahkan dan juga dijadikan bahan bakar untuk pembangkit tenaga listrik.

Pengkaji masalah kelautan seperti Daniel Polly, Jennifer Jaquette, dan Tabitha Mallory (2020), menyoroti pentingnya kualitas air laut sebagai jangkar dari ketahanan iklim. Bagi Polly, kandungan oksigen di laut menghadapi berbagai masalah yang mengancam kelangsungan biota laut.

Jaquette memberi penekanan bahwa industri penangkapan ikan memerlukan perangkat legal untuk membantu mengatasi pola pikir menangkap menjadi pola pikir berternak yang masih memperhatikan aspek-aspek etis. Mallory memberi catatan penting bahwa raksasa ekonomi dunia, seperti Tiongkok masih memberi penekanan yang tidak berimbang pada eksploitasi sumber daya laut, dan penangkapan ikan berlebihan adalah persoalan serius yang genting untuk diselesaikan.

Sekali lagi, bagi Mallory perlu upaya pengelolaan dan pengaturan secara internasional untuk meningkatkan efektivitas dari konservasi laut lepas sebagai biosfer yang perlu dikelola secara bertanggung jawab.

Keadilan Lingkungan dalam Konteks Antarnegara

Tidak mudah untuk mencari keadilan bagi negara-negara yang terkena dampak bencana eksistensial. Toby Ord, pemikir dari Oxford, Inggris, memberikan rambu-rambu yang bernas tentang krisis iklim global, yang sangat terkait dengan keseimbangan ekosistem laut sebagai penyedia oksigen dan berbagai materi esensial lainnya yang mutlak diperlukan bagi keberlangsungan organisme biologis di planet Bumi.

Bagi Ord, “An existential risk is a risk that threatens the destruction of humanity’s longterm potential” (risiko eksistensial adalah ragam risiko yang mengancam potensi jangka panjang dari kemanusiaan); Ord, 2021:37. Dengan kata lain, ancaman eksistensial menyangkut manusia secara keseluruhan, dan tidak terbatas pada wilayah geografis atau politik tertentu.

Hal itu diakui Segger (2016), yang menyebut, sangat sulit bagi negara-negara yang secara langsung pasti terkena dampak pemanasan global seperti Tuvalu, untuk menuntut negara maju yang bertanggung jawab terhadap emisi gas buang yang dihasilkan terutama dari aktivitas ekonomi intensif.

Sekitar 95% dari wilayah daratan negara Tuvalu, akan berada di bawah permukaan laut pada 2050. Bercermin pada pemikiran Ord, ini berarti, hanya 5% potensi yang tersisa dari masa depan Tuvalu sebagai sebuah negara.

Kembali ke Segger (2016), menurutnya penting bagi kita untuk memikirkan bahwa Tuvalu dapat mengajukan gugatan ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice – ICJ). Perjanjian Paris adalah salah satu upaya untuk mengadvokasi pihak-pihak yang menjadi korban dari naiknya permukaan air laut.

Sedangkan catatan McLen (2014), bahwa manusia telah berhasil mengubah lanskap planet yang kita hidupi ini, memberikan penegasan bahwa keputusan legal yang berkaitan dengan peningkatan kualitas lingkungan adalah sesuatu yang kita tidak bisa abaikan. Ini sejalan dengan pemikiran Segger, justru peran hukum bagi keadilan lingkungan di kuartal berikutnya di Abad ke-21 menjadi sangat penting dan genting.

Dengan demikian, salah satu wujud dari keseimbangan hak dan kewajiban dalam kaitannya dengan dimensi kelautan dan ekologi yang terkait dengannya, adalah penggagasan dan penelusuran materi perundang-undangan yang berpihak pada kebijakan yang sejalan dengan upaya mengatasi krisis eksistensial bencana lingkungan.

Pengolahan air limbah, pembatasan kuota eksploitasi biota laut, dan pengelolaan energi berkelanjutan adalah poin-poin penting yang menjadi objek material dari substansi keadilan lingkungan, terutama dalam skala global. Keputusan-keputusan hukum yang kita ambil sekarang, mungkin jadi yang terakhir bila kita salah langkah dalam menyikapi tantangan terberat dalam sejarah manusia ini.  

Penulis: Muhammad Afif
Editor: Tim MariNews