Pertumbuhan Ekonomi, Perkembangan Teknologi, dan Persoalan Klasik Lingkungan

Hukum akan sangat diuntungkan dengan karakter interdisipliner ilmu dan teknologi, dan hukum lingkungan adalah salah satu yang paling beririsan dengan amalgamasi semacam ini.
Ilustrasi, ekonomi berkelanjutan. Foto: istockphoto.com/
Ilustrasi, ekonomi berkelanjutan. Foto: istockphoto.com/

“Effective altruists do not discount suffering because it occurs far away or in another country or afflicts people of a different race or religion”-Peter Singer (The Most Good You Can Do)

Filsafat hukum yang beririsan dengan sains pada hakikatnya adalah sebuah projek interdisipliner yang tidak dapat dikesampingkan. 

Dalam sebuah kuliah umum, pakar hukum Carolyn Roberts (2017) dari Gresham College London, Inggris, menyoroti tentang pentingnya melibatkan perkembangan teknologi dan elemen berbagai disiplin yang terkait dengannya sebagai bagian fondasi untuk menentukan kerangka kerja hukum yang berkeadilan. Roberts mengangkat tentang sejarah pengotoran Sungai Thames, yang mengaliri dan menjadi jantung Kota London.

Tidak mengejutkan bahwa sejarah sungai besar yang muncul di berbagai film-film yang diproduksi di Inggris ini punya sejarah yang sangat panjang. Sungai Thames memulai kehadiran historisnya sebagai sebuah titik penting dari Kekaisaran Romawi. Di lokasi yang sebelumnya bernama Londinium ini, pangkalan militer pertama Romawi dibangun. Seiring dengan perkembangan ekspansi kekaisaran tersebut hingga ke wilayah utara, Londinium akhirnya berubah nama menjadi London. Jadi, sejarah Sungai Thames pada dasarnya adalah sejarah London.

Roberts memaparkan betapa perubahan situasi di Sungai Thames ditentukan oleh pertumbuhan ekonomi. Pada masa Romawi, dampak pertumbuhan daerah pemukian di Londinium tidak terlalu berdampak terhadap kualitas air sungai. Setelah pengaruh kekuasaan kekaisaran tersebut surut, kota yang kemudian bernama London ini masuk masa transisi hingga akhirnya mencapai titik pertumbuhan di Abad Pertengahan, sejalan dengan naiknya kekuasaan monarki Inggris, sekitar seribu tahun yang lalu. Dengan stabilnya kekuasaan kerajaan, perekonomian daerah tersebut meningkat. Masalah lingkungan, menurut Roberts, pada akhirnya mulai naik ke permukaan.

Teknologi Lingkungan dan Signifikansi Kompleksitasnya

Hukum akan sangat diuntungkan dengan karakter interdisipliner ilmu dan teknologi, dan hukum lingkungan adalah salah satu yang paling beririsan dengan amalgamasi semacam ini. Pakar hukum Klaus Bosselmann dalam tulisannya (2022:23) mulai dengan sebuah rangkaian premis yang bernas untuk dibahas: 

“Norms, governance, sustainability and law are complex concepts. These concepts lie at the foundations of environmental law. The legal system comprises a set of interrelated rules … of the norms and principles that drive the legal system. Environmental law in particular has become an amalgam of these norms, principles and rules”–norma, tata kelola, keberlanjutan, dan hukum merupakan konsep yang kompleks. Konsep-konsep tersebut terletak pada dasar-dasar hukum lingkungan. Sistem hukum terdiri dari seperangkat aturan yang saling terkait … cerminan dari norma dan prinsip yang mendasari sistem hukum. Hukum lingkungan khususnya telah menjadi amalgamasi dari norma, prinsip, dan aturan-aturan tersebut.

Dengan kata lain, alih-alih menjadi elemen pertimbangan sekunder, irisan interdisipliner menjadi fondasi primer dari pembahasan filosofis tentang hukum lingkungan. Dalam diskusi epistemologis, membahas aspek lingkungan dari sisi legal dalam argumen Bosselmann seperti melemparkan pandangan ke depan di koridor garis waktu. Karena unsur masa depan menjadi penting dan sekarang genting (terutama dalam krisis iklim global), keberlanjutan (sustainability) memiliki konsekuensi prediktif tentang arus ilmu dan teknologi.

Hukum yang berkaitan dengan lingkungan memiliki tingkat ketidakpastian yang sama kompleksnya dengan kecerdasan buatan (AI); lanskap hukumnya sudah harus dipersiapkan saat “know-how”-nya belum tersedia. Perdebatan teoretis pun menjadi sama problematiknya dengan perdebatan dari koridor praksis.

Kembali ke argumen Roberts, teknologi yang masih dalam tahap dasar dan pengembangan lanjutannya dalam konstruksi mesin uap merusak standar baku air dari wajar menjadi toksik (beracun). Thames di abad ke-19, papar Roberts (2017), adalah kubangan racun yang berisi berbagai bakteri dan mikroorganisme yang tidak lagi dapat dianggap sepele.

Pemikir hukum lainnya Antonio H. Benjamin (2024), memberikan penjelasan bahwa kompleksitas hukum lingkungan berkaitan dengan sofistikasi dari berbagai aspek: etis, estetis, ekologis, ekonomi, sejarah, politik, dan berbagai jejaring lainnya. Inilah yang membuat putusan dari sebuah gugatan menuntut kemampuan analisis yang mendalam. Jika diletakkan dalam kerangka Bosselmann, kompleksitas ini harus diprojeksikan ke masa depan karena menyangkut skala yang tidak hanya lokal, tetapi global.

Bercermin dari Sebuah Putusan di PTUN Palembang

Pengadilan Tata Usaha Negara Palembang di 2022, berdasarkan Putusan Nomor 10/G/TF/2022/PTUN.PLG, mengabulkan gugatan tiga penggugat yang dirugikan karena kebijakan pemerintah setempat yang berkaitan dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) Musi. Ketiga warga yang menggugat Wali Kota Palembang dibantu oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang berbasis di Jakarta.

Dari putusan tersebut, tercermin semangat untuk melihat kompleksitas lingkungan tidak hanya dari perspektif pertumbuhan ekonomi, tetapi juga aspek keberlanjutan yang kerap diabaikan. Konsep keadilan yang diangkat dari putusan tersebut sejalan dengan pemikiran yang diajukan oleh Peter Singer (2015), yang dikenal dengan istilah “effective altruism.”

Konsep Singer tentang altruisme efektif pada dasarnya adalah sebuah prinsip untuk mengatasi persoalan yang sangat kompleks dengan hal paling sederhana yang bisa dilakukan. Analoginya, bagi Singer untuk mengurai benang kusut tidak perlu kita membuat teori menyeluruh yang kemudian dipergunakan untuk menyelesaikan masalah secara universal. 

Dalam garis pemikiran Singer, benang pertama yang bisa ditemukan sudah cukup untuk menjadi dasar untuk mengurai masalah. Putusan Nomor 10/G/TF/2022/PTUN.PLG yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) di pengadilan tingkat pertama dalam skala bersifat lokal, namun sejalan dengan pemikiran Singer, justru tindakan ini adalah fondasi dari penyelesaian masalah yang sifatnya sangat kompleks, dan bahkan global.

Inti dari putusan tersebut adalah, mengabulkan gugatan para penggugat untuk seluruhnya, dengan menyatakan tindakan Pemerintah Kota Palembang sebagai perbuatan melanggar hukum oleh pejabat pemerintah (onrechtmatige overheidsdaad). Pengadilan mewajibkan Pemerintah Kota Palembang untuk melakukan serangkaian tindakan guna meningkatkan kualitas lingkungan. 

Tindakan tersebut meliputi penyediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH), pemulihan fungsi rawa konservasi, dan penyediaan tempat pengelolaan sampah. Selain itu, pemerintah kota juga diwajibkan membangun kolam retensi yang memadai sebagai upaya pengendalian banjir, dan sistem saluran drainase yang terintegrasi harus terhubung dengan kolam retensi di masing-masing Daerah Aliran Sungai (DAS). Air yang dialirkan diolah sesuai baku mutu air bersih sehingga limbah rumah tangga seperti sabun dan detergen dapat ditangani dengan efektif, serta air limbah pemukiman perlu diolah menjadi air bersih sebelum dialirkan ke sungai untuk mencegah pencemaran.

Ekstrapolasi Kompleksitas Peran Hukum Lingkungan

Kembali ke Roberts (2017), Sungai Thames baru mengalami titik balik (kembali menjadi sebuah ekosistem) saat kesadaran berjalan seiring dengan perkembangan saintifik yang dimulai di abad lalu. Kesadaran lingkungan tentang pencemaran di Sungai Thames bukan barang baru.

Sejak populasi London melesat di Abad Pertengahan, Thames pernah dinyatakan sebagai sungai yang tidak lagi mungkin menjadi habitat bagi fauna laut. Dengan kata lain, Sungai Thames pernah dinyatakan sebagai “sungai mati”, yang tidak berbeda dengan selokan berukuran masif. 

Pakar lingkungan dan hukum dari Universitas Yale, John Wargo, menulis dalam Green Intelligence, bahwa data saintifik menjadi elemen yang sangat penting yang tanpanya semua penyelesaian masalah lingkungan tidak akan mungkin dilakukan (Wargo, 2009:244). 

Kembalinya berbagai spesies ke sungai sepanjang 346 kilometer ini, tidak akan mungkin tanpa didukung dengan perkembangan teknologi pengolahan air yang memadai. Masalah terbesar dari pembuangan limbah adalah teknologi pengolahan yang baru muncul di sekitar abad ke-20. 

Sangat sulit bagi pemerintah untuk mengendalikan kualitas lingkungan sungai tanpa data yang cukup dan pengelolaan air limbah. Sungai Thames juga memiliki masalah serupa dengan industri, persis seperti yang terjadi di Indonesia. Lewat upaya hukum, pemerintah Kota London memastikan bahwa semua saluran pembuangan besar (sewers) yang berjumlah 20-an sama sekali tidak boleh masuk langsung ke dalam sungai (Roberts, 2017).

Dengan demikian, ada tiga posisi penting dalam pengelolaan lingkungan dari aspek legal. Pertama, argumen dari elemen politik dan bisnis adalah tentang pertumbuhan sebagai premis tunggal yang infalibel. Dengan kata lain, selama semua kebijakan diambil berdasarkan korelasinya dengan tingkat perkembangan ekonomi maka dampak lingkungan yang terjadi masih dapat diterima. Kedua, argumen dari ilmu lingkungan, termasuk di dalamnya ilmu hukum yang berkaitan dengan konsep keadilan lingkungan. Keterikatan jejaring interdisipliner yang juga bergantung pada teknologi ini tidak dapat dikesampingkan, dan kata kuncinya adalah kerberlanjutan. Selama sebuah keputusan atau kebijakan menjamin keberlanjutan, langkah tersebut sudah tepat. Ketiga, pihak lembaga peradilan dapat menjadi otoritas yang bersifat katalis terhadap tarik-menarik antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan. 

Tugas para hakim adalah mencari titik keseimbangan yang tidak dapat lagi ditunda atau dikesampingkan, karena putusan yang diambil berkaitan dengan hak-hak mendasar warga negara atas kualitas hidup. Pemerintah menerapkannya secara menyeluruh terhadap kota-kota di Indonesia, dan sejalan dengan penerapan di Sungai Thames serta kota-kota besar lainnya, pengadilan perlu berperan dalam mengambil putusan yang berpengaruh terhadap kualitas lingkungan.

Dalam konteks hukum lingkungan, kompleksitas masalah lingkungan memerlukan pendekatan interdisipliner yang melibatkan berbagai disiplin ilmu, termasuk hukum, teknologi, dan ilmu lingkungan. Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Palembang dalam kasus pencemaran Sungai Musi menunjukkan pentingnya peran pengadilan dalam menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan.

Oleh karena itu, diperlukan kesadaran dan kerja sama antara berbagai pihak untuk menjaga kualitas lingkungan dan menjamin keberlanjutan hidup bagi generasi masa depan.

Penulis: Muhammad Afif
Editor: Tim MariNews