Mengintegrasikan Budaya dan Hak Masyarakat Adat

Kodifikasi hukum atas struktur adat sering kali simpang siur dengan hierarki formal dan ekspektasi birokratis.
Ilustrasi masyarakat adat. Foto dokumentasi ppid.jayapurakab.go.id
Ilustrasi masyarakat adat. Foto dokumentasi ppid.jayapurakab.go.id

“The Orient was almost a European invention, and had been since antiquity a place of romance, exotic beings, haunting memories and landscapes, remarkable experiences. Now it was something more than that: it was also a space whose principal role was to provide a contrasting image for the European self.” 

Edward Said (Orientalism)

Pengintegrasian nilai-nilai lokal ke dalam hukum sebuah negara mengundang berbagai sisi penafsiran dan perdebatan. Clifford Geertz, pemikir di bidang budaya mengatakan, dalam menafsirkan nilai yang ada di dalam kebudayaan tradisional, faktor konteks menjadi sangat penting.

Bagi Geertz, “Man is an animal suspended in webs of significance he himself has spun, I take culture to be those webs, and the analysis of it to be therefore not an experimental science in search of law but an interpretive one in search of meaning” (Manusia adalah makhluk yang tersekat dalam jejaring makna yang ditenunnya sendiri; budaya adalah jaring-jaring tersebut, dan analisis atas budaya bukan disiplin ilmu eksperimental yang mencari struktur ajeg, tetapi eksplorasi interpretif) (Geertz, 1973:5).

Menerjemahkan tradisi ke dalam hukum modern memiliki risiko salah tafsir yang dapat membuat titik-titik temu antarkelompok etnis menjadi ruang-ruang benturan yang terkadang berujung konflik. Ini berarti, kerangka interpretatif dalam sistem hukum, terutama di negara seperti Indonesia yang majemuk, perlu digali lebih jauh.

Antropolog hukum Martin Ramstedt melihat bahwa interpretasi, integrasi tradisi dan aturan masyarakat setempat ke dalam peraturan perundang-undangan nasional bukanlah sebuah relasi yang sederhana. Setidaknya, ranah pertemuan ini merupakan sebuah medan sosial yang sarat dengan relasi kuasa (Ramstedt, 2004:21).

Bagi Ramstedt, persoalan ini tidak dapat disederhanakan apalagi dikesampingkan karena dapat berpengaruh pada persoalan integrasi bangsa dan jati diri berbangsa.

Kajian Ramstedt tentang pasang surut hukum adat masyarakat tradisional Bali menunjukkan, meskipun diredam, selalu ada dorongan yang cukup kuat untuk mengangkat kembali isu-isu yang berkaitan dengan konsekuensi dari otonomi daerah seperti yang terjadi di Indonesia.

Yang sekarang terjadi umumnya pendekatan yang bersifat top-down dan sangat terburu-buru yang tidak menyentuh akar persoalan. Pemikir pasca-Kolonialisme Edward Said mengingatkan, praktik tergesa-gesa semacam ini berisiko memarjinalkan budaya lokal atas nama struktur kekuasaan yang dominan (Said, 1978).

Retak-retak sosial yang dibiarkan dapat menjadi salah satu penyebab rapuhnya kohesi sosial yang berujung pada eskalasi konflik sosial yang bisa menjadi masalah hukum yang berdampak luas. Dampaknya pada penciptaan hukum adalah oversimplifikasi yang rancu, keliru, sekaligus menyesatkan.

Akibatnya, hukum yang lahir dari dasar pemikiran semacam ini cenderung menjadi sangat institusional dan instrumental-semacam perpanjangan tangan dari kepentingan tertentu. Sekalipun proses konstruksinya terlihat formal dan prosedural, namun substansi dari hukum tersebut tidak sejalan apalagi mengakar dengan tradisi serta adat istiadat yang menjadi salah satu sumbernya.

Desentralisasi dan Pengakuan Hukum atas Adat

Kebijakan desentralisasi pasca-Reformasi di Indonesia secara resmi mengakui keberadaan desa adat dan memberikan otonomi hukum (Davidson & Henley, 2007).

Reformasi ini didasarkan pada argumen demokratisasi, pemberdayaan masyarakat lokal dan ditujukan untuk menyediakan sebuah platform legal bagi komunitas adat untuk kembali mengambil peran dalam pemerintahan. Namun, kodifikasi hukum atas struktur adat sering kali simpang siur dengan hierarki formal maupun ekspektasi birokratis.

Meskipun desentralisasi semacam ini membuka ruang-ruang baru dalam pengambilan keputusan, dalam praktiknya terjadi tarik-menarik antara tradisi dan regulasi negara. Pengakuan semacam ini dalam kenyataannya berjalan beriringan dengan dilema inklusivitas, representasi, dan disposisi pengetahuan lokal dalam agenda pembangunan nasional.

Antropolog Bronisław Malinowski menengarai, hukum adat dapat dipahami bukan hanya sebagai sistem formal tetapi juga serangkaian praktik sosial yang melekat dalam tugas dan tanggung jawab masyarakat dalam kehidupan sehari-hari (Malinowski, 1926).

Malinowski menekankan, hukum adalah pengejawantahan dari aspirasi kolektif, tuntutan kewajiban yang sifatnya timbal balik, serta upaya penegakan norma sosial; hukum bukan hanya persoalan aturan dan sanksi. Di Indonesia, norma hukum dalam praktiknya dipertahankan melalui ritual, kekerabatan, maupun kewajiban moral. Hukum tertulis kemudian dipahami sebagai proses terbentuknya norma secara organik yang didiseminasi dan dijangkarkan pada budaya tertentu.

Sebagai perbandingan kita dapat melihat situasi yang terjadi di Hawaii, saat praktik masyarakat adat remis diakui dan mendapatkan dukungan dari Mahkamah Agung Negara Bagian Hawaii (Merry, 2000).

Kenyataan ini, tidak hanya melegitimasi proses integrasi hukum adat, tetapi juga mencerminkan pendekatan bauran (hybrid) yang mencari titik keseimbangan antara budaya dan pluralisme hukum. Gelagat ini menunjukkan, lembaga peradilan dapat memainkan peran sentral dalam mengakomodasi tradisi lokal dalam sistem hukum modern yang diikat oleh komitmen yang kuat terhadap nilai keadilan dan kepedulian historis. Lebih daripada itu, integrasi semacam ini juga ditunjukkan dalam sengketa yang terjadi di 1995, yang dikenal dengan istilah PASH (Public Access Shoreline Hawaii v. Hawaii County Planning Commission).

Dalam kasus tersebut, masyarakat tradisional Hawaii mengajukan keberatan terhadap pengembang yang hendak membangun resor seluas 450 hektare di wilayah Kohanaiki di Big Island, salah satu gugus kepulauan terbesar di Hawaii.

Dalam putusannya, Mahkamah Agung menegaskan, praktik mengumpulkan hasil alam yang dilakukan oleh masyarakat dijamin secara konstitusional. Lebih dari itu, putusan juga menjamin bahwa hak-hak adat tidak serta merta tunduk pada klaim kepemilikan pribadi, dan harus menjadi pertimbangan khusus dalam perencanaan dan pengembangan daerah.

Dalam landmark case ini terlihat, secara epistemologis hak-hak adat bergerak secara sinambung sekalipun mendapatkan tekanan dari sisi modernisasi dan privatisasi.

Konflik, Tradisi, dan Kekuasaan

Memahami fenomena yang terjadi di Bali dapat dilakukan dengan memeriksa konsep biopolitik dari filsuf Prancis Michel Foucault. Kekuasaan, menurut Foucault, tidak hanya diselenggarakan oleh institusi formal, tetapi juga melalui praktik-praktik ritual dan juga silsilah (genealogis).

Salah satu bentuk kekuasaan yang paling kokoh bagi Foucault adalah saat kekuasaan berada di wilayah yang sangat personal dan bahkan familial. Saat kekuasaan bekerja sedemikian dekat, kendali sosial berlangsung secara rapat dan ketat.

Foucault menegaskan: “For the first time in history, power is situated and exercised at the level of life, the species, the race, and the large-scale phenomena of population” (untuk pertama kalinya dalam sejarah, kekuasaan dilekatkan dan dilakukan dalam ranah kehidupan, ras, serta fenomena skala besar lainnya) (Foucault, 1977).

Model implementasi semacam ini akan menghasilkan disiplin fisik, yang kemudian bergerak lebih jauh menjadi disiplin mental. Integrasi dan akomodasi tradisi dalam hukum adat di Bali menempatkan kekuasaan berada dalam mekanisme kerja seperti yang dipaparkan Foucault. 

Dalam kajiannya, Ramstedt melihat, organ pengawasan yang berada di tangan pecalang, misalnya, menjadi satu indikator penting hadirnya biopolitik. Sisi ini sedikit berbeda dengan situasi lainnya yang menyangkut masyarakat adat di Kanada. Komunitas Inuit di Nunavut mendapatkan pengakuan resmi secara konstitusional tetapi tidak diberdayakan dalam hal penggunaan haknya (Wenzel, 2004).

Namun demikian, ada satu kesamaan dalam dua kejadian tersebut: absennya otoritas negara dalam penyelarasan proses integrasi. Dengan kata lain, proses pengakuan hukum adat dalam hukum negara seyogianya adalah sebuah proses yang terus diayomi.

Singkatnya, menelisik persoalan hukum dari perspektif antropologis mengandaikan kesiapan dan ketrampilan penafsiran untuk dapat menerjemahkan nilai-nilai budaya dan tradisi ke dalam bahasa hukum positif. Proses penafsiran ini adalah sebuah gerakan yang berkelanjutan, yang perlu terus-menerus mendapatkan umpan balik demi terciptanya konstruksi hukum yang secara substantif dapat menjadi preseden dari pengayoman negara terhadap harapan dan aspirasi warganya.

Budayawan Jakob Sumarjo mengatakan, dalam Estetika Paradoks (2006) bahwa seberapa modern pun gaya hidup orang Indonesia, mulai dari wilayah suburban hingga ke pedesaan nilai-nilai tradisi dan adat istiadat masih memegang peranan sentral. 

Penulis: Muhammad Afif
Editor: Tim MariNews