MARINews, Jakarta-Mahkamah Agung (MA) ikut serta dalam rapat pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Tata Cara Kriteria Penetapan Hukum Yang Hidup Dalam Masyarakat (Living Law) yang diselenggarakan pada 7 Mei sampai dengan 9 Mei 2025.
Pembahasan Rancangan Peratruan Pemerintah Living Law tersebut, diselenggarakan secara maraton dan dihadiri para stakeholder terkait, antara lain Kementerian Hukum RI; Mahkamah Agung RI; Kementerian Sekretariat Negara; Kementerian Kordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi dan Pemasyarakatan RI; Kejaksaan Agung RI; Kepolisian RI; Kementerian Dalam Negeri RI; Kementerian Kebudayaan RI; Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi; serta para ahli hukum dari berbagai universitas dan Lembaga Swadaya Masyarakat yang berfokus pada penegakan hukum pidana.
Mahkamah Agung RI dalam kegiatan penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Living Law, diwakili oleh Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung RI Dr. H. Sobandi, S.H., M.H.
Penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Living Law, untuk melaksanakan ketentuan Pasal 2 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru), yang akan mulai berlaku pada awal 2026.
Terkait itu, Mahkamah Agung RI mengusulkan ketentuan penting dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Living Law, antara lain pengertian masyarakat hukum adat. Definisi masyarakat hukum adat dalam usulan Mahkamah Agung adalah, kelompok masyarakat yang terdiri dari masyarakat adat dan masyarakat tradisional, adalah sekelompok orang yang memiliki identitas budaya yang sama, hidup secara turun-temurun di wilayah geografis tertentu berdasarkan ikatan asal usul leluhur dan/atau kesamaan tempat tinggal, memiliki hubungan yang kuat dengan wilayah adatnya dan memiliki sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, budaya, dan hukum.
Selain itu, poin penting lainnya yang diusulkan Mahkamah Agung RI dalam pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Living Law, yakni mengenai materi Peraturan Daerah Tindak Pidana Adat yang dapat dibentuk setelah terbitnya peraturan pemerintah dimaksud.
Materi dalam Peraturan Daerah Tindak Pidana Adat, antara lain mengenai nama masyarakat hukum adat, batas wilayah adat, perbuatan yang dilarang atau melanggar hukum adat, tata cara mengenai penegakan Perda Tindak Pidana Adat, tata acara pemenuhan kewajiban ada setempat, dan sanksi berupa pemenuhan kewajiban adat setempat.
Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Living Law tersebut menjelaskan, penanganan tindak pidana adat, diutamakan diselesaikan secara musyawarah oleh Lembaga Masyarakat Adat bersama dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).
Karo Hukum dan Humas MA RI juga mengusulkan perkara yang sudah diselesaikan melalui mekanisme keadilan restoratif, wajib dimintakan penetapan pengadilan dan diperlukan penyusunan hukum acara untuk menetapkan hasil penyelesaian tindak pidana adat berdasarkan keadilan restoratif di pengadilan.
“Terhadap seseorang yang dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana adat dalam musyawarah adat yang diselenggarakan lembaga masyarakat adat dan Satpol PP, maka perlu dipulihkan hak-haknya yang diatur dalam ketentuan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Living Law,” ungkap Mantan Ketua PN Denpasar tersebut.
“Selain itu, untuk hasil musyawarah penyelesaian perkara tindak pidana adat, wajib dimintakan penetapan ke pengadilan berbasis pro bono atau tanpa dikenakan biaya, wajib diatur secara terperinci dalam Rancangan Peraturan Pemerintah dimaksud,” tambah Kepala Biro Hukum dan Humas MA RI.
Setelah pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Living Law selesai, maka akan dilanjutkan dengan agenda forum harmonisasi.