Mitos Kesetaraan dalam Dunia Kompetitif

Mengatasi ketimpangan dengan mencoba menegasi ketimpangan secara langsung adalah mitos. Perbedaan akan selalu muncul dalam setiap kompetisi.
Ilustrasi kesetaraan ekonomi. Foto Freepik
Ilustrasi kesetaraan ekonomi. Foto Freepik

“Each person possesses an inviolability founded on justice that even the welfare of society as a whole cannot override. For this reason, justice denies that the loss of freedom for some is made right by a greater good shared by others. It does not allow that the sacrifices imposed on a few are outweighed by the larger sum of advantages enjoyed by many.”  

John Rawls (A Theory of Justice).

Dalam perekonomian bebas dunia (free trade), pemikiran seminal John Rawls (1971) dalam A Theory of Justice masih bisa diekstrapolasi keluar dari ranah keadilan. Di dalam sistem pemikiran yang dibangunnya ini bagi Rawls seberapa wajar pun sebuah lomba, selalu ada pihak yang diuntungkan, entah karena keluarga, situasi politik, kelahiran atau bahkan urutan lahir.

Dunia bagi Rawls adalah sebuah kompetisi yang selalu memenangkan pihak lain, sekalipun aturan mainnya dirancang sedemikian rapi. Semua upaya untuk memastikan bahwa kita bersaing dari titik yang sama pada hakikatnya adalah mitos.

Pemikiran Rawls memiliki dampak yang signifikan bagi diskursus filsafat hukum. Tarikan teoretik Rawls memaksa hukum untuk menyediakan sebuah kendaraan baru yang tidak hanya normatif secara formal, tetapi inklusif secara substantial.

Rawls meminta dunia hukum untuk memikirkan ulang disposisi formatif seorang individu dan dampaknya terhadap tindakan atau keputusannya yang memiliki konsekuensi hukum. Pemikiran Rawls telah mengasah pelbagai proses konstruksi peraturan dan perundang-undangan untuk memiliki telaah lebih dalam tentang konsep keadilan distributif.

Rawls mengusung gagasan bahwa “the basic structure of society is the primary subject of justice” (struktur dasar masyarakat adalah pokok persoalan utama dalam membahas keadilan) (Rawls, 2001). Ini berarti bahwa hukum bekerja dalam tataran sistem-seperti mesin penyeimbang yang memungkinkan kendaraan bergerak lebih jauh.

Dalam analogi yang sama, interaksi sosial akan menimbulkan gesekan atau konflik horizontal atau vertikal. Pokok persoalan utamnya bukanlah bagaimana meniadakan kemungkinan benturan tersebut. Benturan pasti terjadi, klaim Rawls, dan pasti ada yang diuntungkan. Yang selalu menjadi prioritas menurut Rawls adalah seberapa cekatan mekanisme penyimbang bekerja.

Rawls tidak sendirian dalam argumennya tentang sebuah mekanisme sistemik. Filsuf politik Thomas Nagel berargumen, asal-muasal siapapun tidak ubahnya seperti sistem undian, tidak ada satu pihak pun yang bisa mengendalikannya.

Menurut Nagel: “The intuition that one cannot claim moral credit for one's genetic endowment or social starting point is a powerful one, and any political theory that ignores it is unacceptable” (pola pikir bahwa seseorang tidak dapat mengklaim apresiasi moral atas warisan genetik atau titik awal sosialnya adalah sesuatu yang solid, dan tidak ada teori politik manapun yang bisa menyangkalnya) (Nagel, 1991:95). Sekali lagi, tidak ada tatanan normatif manapun yang bisa meraih kata sempurna. 

Rawls dan Keseimbangan Mekanistik

Senada dengan Rawls dan Nagel, Joshua Cohen (2009) menajamkan pemikiran Rawls tentang sebuah sistem yang mumpuni yang lebih tangguh daripada idealisme manapun tentang subjek hukum.

Jika orang bisa salah, bagi Cohen, institusi yang lebih resilien dari individu bisa memitigasi gerak liar sejarah apapun. Ide tentang unifikasi Tiongkok memang datang dari sebuah rezim yang tidak manusiawi dalam kebijakannya, tetapi sistem yang dibangun sang kaisar yang menyatukan enam kerajaan untuk pertama kalinya adalah bentuk resiliensi sistem yang melampaui cacat tindakan seorang pemimpin. Dengan kata lain, persaingan yang sehat hanya dimungkinkan oleh lembaga yang sehat, dan bukan kompetitor yang ideal.

Kompetisi harus selalu dimulai dari mereka yang paling sulit menang, dalam pemikiran Rawls (1971). Prinsip yang dikenal dengan istilah “difference principle” ini mungkin terasa ganjil bila diukur dengan penggaris pasar bebas. Rawls memang memperkenalkan istilah “pasar wajar” (fair trade) sebagai alternatif dari sengitnya persaingan ekonomi pasar. Alih-alih meratapi sulitnya menemukan formula yang tepat untuk menghindari ketimpangan pendapatan warga negara, Rawls mengajukan sebuah desain institusional yang mengkritik kata “netral”, dan memberi definisi baru terhadap konsep redistribusi. Rawls menambahkan satu elemen dalam kompetisi, baik di skala global atau nasional: prestasi dan rekontribusi.

Pemikiran Martha Nussbaum juga sejalan dengan visi Rawls tentang martabat dan kapabilitas seseorang sebagai elemen fundamental yang menjadi misi institusi dalam skala negara. Nussbaum sepakat bahwa “garis akhir” sebuah lomba tidak pernah penting, yang lebih mendesak bagi Nussbaum adalah bagaimana memberi ruang pada potensi manapun yang mungkin muncul.

Nussbaum mengatakan: “The crucial social goods are those that support the development and exercise of the capabilities” (kebutuhan sosial yang paling krusial adalah yang menopang pengembangan dan pengasahan potensi seseorang) (Nussbaum, 2011). Dalam garis argumen ini, langkah proteksi negara terhadap geliat aktivitas ekonomi nasional memang membutuhkan keberanian yang berimbang dengan konsekuensinya.

Peraturan-peraturan yang memproteksi potensi masyarakat untuk menjadi pemain aktif dalam bidang ekonomi memang sudah berakar dalam sejarah. Pasca-Perang Dunia II, gagasan Rawls menjelma dalam negara kesejahteraan (welfare state), yang menempatkan institusi kenegaraan sebagai mesin pengelola dari ekses sengitnya kompetisi bisnis dan industri (Bäckman, 2019:177–194).

Negara-negara Skandinavia adalah salah satu saksi sejarah yang menunjukkan korelasi dari pemikiran yang digariskan Rawls. Pemerintah, dengan dukungan badan legislatif dan yudikatif, lebih memilih untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi setiap orang untuk meraih pencapaiannya, seperti yang pernah difasilitasi oleh ekonom dan aktivis Muhammad Yunus di Bangladesh (Yunus, 2007).

Secara statistik global, sekitar 9% populasi dunia masih hidup dalam kemiskinan ekstrim, sekitar Rp37 ribu per hari (Roser & Ortiz-Ospina, 2023). Dalam garis pemikiran Rawls, menjadi miskin dapat dianalogikan dengan pusaran air yang menghisap ke dalam.

Pengentasan kemiskinan tidak bisa dilakukan dengan memberikan solusi spontan dan sporadik, tetapi harus berada di wilayah struktur. Kemiskinan dengan demikian selalu menjadi persoalan struktural. Peran hukum sebagai regulator redistribusi menjadi semakin kompleks karena harus menyasar pengentasan potensi, bukan hanya kondisi sesaat.

Resistensi Sistemik dan Tantangan Pemikiran Rawls

Sebuah kasus yang terjadi di Tiongkok dapat menjadi gambaran tentang urgensi pemikiran Rawls tentang pengentasan potensi dan bukan sekadar kondisi. Zhang Hong pada 2016 mengajukan tuntutan hukum karena menurutnya sistem penerimaan mahasiswa di negara itu merugikan calon mahasiswa yang berasal dari daerah pinggiran dan menguntungkan mereka yang hidup di kota.

Hong berargumen, nilai tes yang layak yang diperolehnya tidak dijadikan pertimbangan untuk masuk ke perguruan tinggi. Tuntutan Zhong tersebut akhirnya ditolak oleh pengadilan, namun peristiwa tersebut tetap memicu perdebatan nasional tentang seberapa jauh negara berperan untuk menjamin peluang seseorang menggapai potensi ekonominya (Zhang v. Beijing University, 2016).

Tantangan lain terhadap gagasan Rawls adalah ada cara lain di luar kebijakan redistribusi. Dari data kesehatan WHO (World Health Organization) di bawah Persatuan Bangsa-Bangsa, baik negara berkembang maupun negara maju berhasil mengurangi dampak kemiskinan bukan dengan cara yang diajukan Rawls, tetapi melalui perkembangan teknologi (yang dimotori oleh intensi kapitalistik industri medis), pasar bebas, dan kerja sama internasional.

Salah satu contohnya adalah peningkatan angka harapan hidup yang di 2023 telah mencapai angka 73 tahun (WHO, 2023). Ini berarti bahkan free trade sekalipun, tidak secara mutlak berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan. Dengan kata lain, ada banyak sekali faktor yang menentukan potensi dan pencapaian seseorang-lepas dari campur tangan lembaga negara.

Pada akhirnya, di tengah gejolak perekonomian dunia, pemikiran Rawls memberikan catatan bahwa lembaga-lembaga negara,termasuk badan yudikatif, tidak bisa lepas tangan dan membiarkan pasar lepas kendali. Rawls memberikan argumen bahwa fungsi substansi tetap memainkan peranan sentral dalam mencapai sebuah mekanisme persaingan yang masih memberi ruang pada para kompetitornya.

Bagi Rawls, mengatasi ketimpangan dengan mencoba menegasi ketimpangan secara langsung adalah mitos. Perbedaan akan selalu muncul dalam setiap kompetisi. Perang tarif yang terjadi saat ini di perekonomian global akan membawa dampak negatif bagi banyak aktor ekonomi Indonesia, tidak terkecuali mereka yang berada di lapisan bawah. Rawls mengingatkan, bagaimanapun ekses sebuah konflik kepentingan, selalu ada pihak yang paling tidak diuntungkan untuk dibantu.     
 

Penulis: Muhammad Afif
Editor: Tim MariNews