Prinsip Kode Etik dalam Lensa Inner Structure
A.Prinsip Berperilaku Adil
Prinsip berperilaku adil adalah jantung profesi kehakiman dan bukan kebetulan ditempatkan sebagai prinsip pertama Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Sebab tanpa keadilan, seluruh bangunan hukum kehilangan ruhnya. Hakim, dalam setiap tindak dan putusannya, manifestasi konkret harapan masyarakat terhadap keadilan yang hidup dan nyata.
Adil, sebagaimana didefinisikan Kode Etik, bermakna menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan yang menjadi haknya, didasarkan prinsip semua orang sama kedudukannya di depan hukum. Ini bukan sekadar asas, tetapi napas etis yang harus dijiwai seluruh dimensi profesi kehakiman mulai dari struktur yang memancarkan netralitas, substruktur yang mengedepankan objektivitas, hingga inner structure penuh kejujuran dan kasih pada kebenaran.
Namun, keadilan sejati bukanlah sekadar penerapan rumus matematis atas pasal-pasal hukum. Wujudnya sebuah kebajikan (virtue) yang lahir dari kedalaman inner structure seorang hakim, dari nurani yang terasah untuk merasakan denyut kebenaran dan kepatutan.
Seorang hakim yang adil, mampu melihat melampaui penampilan luar, melampaui status sosial, dan melampaui segala bentuk prasangka, dalam rangka menemukan hakikat persoalan dan memberikan keadilan yang patut, serta proporsional dengan tetap memberikan perlakuan setara dalam proses pencarian keadilan tersebut.
Sebab adil tidak selalu tentang kesetaraan, namun proses yang harus dilalui untuk menemukan keadilan pasti berorientasi pada kesetaraan perlakuan. Dalam inner structure-nya, komitmen keadilan ini termanifestasi sebagai kerinduanendalam untuk cerminkan sifat Al-‘Adl (Maha Adil) Sang Pencipta.
Hakim menyadari bahwa dirinya, instrumen kecil skema keadilan universal, dan setiap keputusannya upaya mendekati standar keadilan Ilahi tersebut, meskipun dengan segala keterbatasan insani. Kesadaran dimaksud, lahirkan sikap imparsialitas tulus, bukan karena takut sanksi eksternal, melainkan dorongan internal untuk berlaku benar di hadapan Tuhan dan sesama. Hakim akan berusaha keras untuk tidak memihak, baik di dalam maupun luar pengadilan, serta tetap menjaga dan menumbuhkan kepercayaan masyarakat pencari keadilan. Bukanlah sebagai kepatuhan buta pada aturan, tetapi ekspresi keadilan yang terinternalisasi dalam jiwanya.
Perjuangan berperilaku adil adalah perjalanan batin tiada henti. Inner structure hakim akan senantiasa diuji oleh berbagai bias, baik bias kognitif, emosional, atau yang lahir dari latar belakang sosial budaya. Dengan demikian, hakim yang memiliki inner structure kuat, akan terus melakukan introspeksi, mengevaluasi prasangkanya dan membuka diri terhadap berbagai perspektif.
Sosoknya, akan menghindari hal-hal yang dapat mengakibatkan pencabutan haknya untuk mengadili perkara bersangkutan, bukan hanya karena prosedur formal, tetapi dirinya menyadari keadilan sejati hanya bisa lahir dari jiwa yang bersih dan tidak terbebani konflik kepentingan.
Sosoknya, juga akan dilarang memberikan kesan salah satu pihak yang tengah berperkara atau kuasanya, termasuk penuntut dan saksi berada dalam posisi istimewa untuk mempengaruhi hakim bersangkutan, karena hatinya telah terpatri prinsip kesetaraan di hadapan hukum.
Dari inner structure yang adil tersebut, mengalir perilaku-perilaku konkret mencerminkan keadilan dalam dimensi substruktur dan struktur. Dalam substrukturnya, hakim berusaha memahami setiap argumen hukum secara berimbang, menganalisis alat bukti secara objektif, dan menerapkan hukum dengan tepat tanpa diskriminasi.
Sosoknya akan berikan kesempatan yang sama kepada setiap orang, khususnya pencari keadilan atau kuasanya yang miliki kepentingan proses hukum di pengadilan. Dalam dimensi strukturnya, hakim akan memimpin persidangan dengan sikap netral, tidak menunjukkan keberpihakan melalui kata-kata atau tindakan dan memastikan seluruh proses peradilan berjalan secara transparan, serta akuntabel.
Maka, keadilan yang bersemayam dalam inner structure akan memancar keluar, menerangi seluruh proses peradilan, dan akhirnya ahirkan putusan-putusan yang tidak hanya sah secara hukum, tetapi menyentuh rasa keadilan masyarakat.
B. Prinsip Berperilaku Jujur
Prinsip berperilaku jujur menempati posisi sangat sentral dalam bangunan etika seorang hakim. Kejujuran, dalam konteks Kode Etik, dimaknai kemampuan dan keberanian untuk menyatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Makna tersebut, jauh melampaui sekadar tidak berbohong secara verbal. Berperilaku jujur, sebuah sikap batin dan komitmen inner structure fundamental terhadap kebenaran itu sendiri.
Kejujuran bersemayam dalam struktur hakim, akan mendorong terbentuknya pribadi kuat, tidak mudah goyah oleh berbagai kepentingan sesaat, dan miliki kesadaran jernih akan hakikat hak dan batil. Inilah kejujuran yang menjadi fondasi bagi lahirnya sikap tidak berpihak, baik dalam interaksi ruang sidang maupun pergaulan sehari-hari di luar tembok pengadilan.
Dari perspektif inner structure, kejujuran hakim adalah cerminan integritas spiritualnya. Ketika seorang hakim menyadari, setiap perbuatannya diawasi Sang Maha melihat dan akan dipertanggungjawabkan di hadapannya, maka dorongan berlaku jujur akan muncul dari kesadaran terdalam. Bukan lagi sekadar, tuntutan eksternal kode etik atau peraturan perundang-undangan, melainkan sebuah panggilan jiwa untuk menyelaraskan kata dengan perbuatan dan kebenaran hakiki.
Inner structure yang jujur akan menolak segala bentuk kepura-puraan, rekayasa, atau penyembunyian fakta yang dapat mengaburkan jalannya keadilan. Nilai dimaksud, mendorong hakim untuk berperilaku jujur (fair) dan menghindari perbuatan yang tercela atau yang dapat menimbulkan kesan tercela, bukan karena takut pandangan manusia, tetapi takut penghakiman nuraninya sendiri dan pertanggungjawaban ilahiah.
Perjuangan memelihara kejujuran inner structure adalah sebuah jihad moral yang berkelanjutan. Godaan menyimpang dari kebenaran bisa datang dalam berbagai bentuk, mulai dari tawaran materi yang menggiurkan hingga tekanan dari pihak-pihak yang memiliki kekuasaan atau pengaruh. Di sinilah kekuatan inner structure diuji.
Seorang hakim yang jujur dari dalam, miliki keberanian moral menolak segala bentuk gratifikasi atau janji yang patut diduga bertujuan mempengaruhi independensinya. Dirinya akan mencegah suami atau istri hakim, orang tua, anak atau anggota keluarga lainnya, meminta atau menerima janji, hadiah, hibah, warisan, pemberian, penghargaan dan pinjaman atau fasilitas dari pihak-pihak berperkara atau memiliki kepentingan dengan perkara.
Pengecualian hadiah dalam konteks adat atau kekerabatan pun dibatasi nilainya, menunjukkan betapa seriusnya kode etik menjaga agar inner structure hakim tidak ternoda kepentingan materi.
Kejujuran dalam inner structure, kemudian termanifestasi secara nyata dalam dimensi substruktur dan struktur hakim. Dalam substrukturnya, kejujuran menuntut hakim objektif dalam menganalisis fakta dan bukti, tidak memanipulasi data, serta tidak membangun argumentasi hukum di atas landasan yang rapuh atau tidak benar. Sosoknya, akan memastikan pertimbangan hukum disusunnya benar mencerminkan proses pencarian kebenaran yang sungguh-sungguh. Dalam dimensi strukturnya, kejujuran akan terpancar dari setiap sikap, tingkah laku, dan tindakan Hakim, baik di dalam maupun luar pengadilan.
Dirinya akan selalu menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat, penegak hukum lain, serta para pihak berperkara, sehingga tercermin sikap ketidakberpihakan hakim dan lembaga peradilan (impartiality). Keterbukaan melaporkan gratifikasi yang diterima kepada lembaga berwenang dan kesediaan diperiksa kekayaannya adalah wujud nyata dari mengakarnya kejujuran struktural dari inner structure yang transparan dan akuntabel.
C. Prinsip Berperilaku Arif dan Bijaksana
Sedangkan, prinsip berperilaku arif dan bijaksana mengajak seorang hakim melampaui sekadar penerapan hukum secara tekstual dan mekanistik. Arif dan bijaksana, sebagaimana dijelaskan kode etik, bermakna mampu bertindak sesuai norma-norma yang hidup dalam masyarakat, baik norma hukum, keagamaan, kebiasan-kebiasan maupun kesusilaan dengan memperhatikan situasi dan kondisi pada saat itu, serta mampu memperhitungkan akibat dari tindakannya. Hal dimaksud, sebuah kemampuan tingkat tinggi yang bersumber dari kematangan inner structure, kemudian dipadukan kedalaman sub struktur ilmu pengetahuan dan pengalaman.
Perilaku arif dan bijaksana, mendorong terbentuknya pribadi berwawasan luas, mempunyai tenggang rasa tinggi, bersikap hati-hati, sabar, dan santun. Dari sudut pandang inner structure, kearifan dan kebijaksanaan hakim lahir dari proses perenungan mendalam terhadap hakikat kehidupan, kemanusiaan, dan tujuan hukum itu sendiri.
Seorang hakim yang arif, tidak hanya mengandalkan kecerdasan logis formal, tetapi melibatkan kecerdasan emosional dan spiritualnya. Dirinya menyadari di balik setiap perkara hukum, ada kisah manusia dengan segala suka dukanya, terdapat konteks sosial budaya yang melingkupinya, dan hadirnya implikasi kemanusiaan di setiap keputusan yang akan diambil.
Kematangan inner structure, juga tercermin kemampuan hakim terbebas pengaruh keluarga dan pihak ketiga lainnya dalam menjalankan tugas-tugas yudisialnya. Hal dimaksud, bukan berarti hakim harus mengisolasi diri dari lingkungannya, melainkan memiliki kekuatan batin untuk objektif dan imparsial, meskipun ada hubungan personal atau tekanan eksternal.
Kearifan juga menuntun hakim tidak gunakan wibawa pengadilan demi kepentingan pribadi, keluarga atau pihak ketiga lainnya, karena wibawa pengadilan adalah amanah melayani keadilan, bukan memuaskan hasrat pribadi. Sikap hati-hati dan penuh pertimbangan sebelum berbicara atau bertindak adalah buah dari inner structure bijaksana, di mana selalu memperhitungkan dampak setiap langkah yang diambilnya.
Kearifan dan kebijaksanaan yang bersemayam dalam inner structure, akan terwujud dimensi substruktur, melalui kemampuan hakim melakukan interpretasi hukum kontekstual dan berorientasi keadilan substantif. Sosoknya, tidak akan kaku dalam menerapkan pasal, melainkan mampu menangkap ratio legis dan semangat hukum (spirit of the law).
Hakim mampu membedakan, antara keadilan menurut teks undang-undang (legal justice) dengan keadilan sesungguhnya yang dirasakan masyarakat (social justice atau moral justice), serta berusaha menyelaraskan keduanya selama dimungkinkan oleh kerangka hukum yang ada. Pengalaman menangani berbagai perkara, yang diolah melalui refleksi mendalam, semakin mempertajam kearifan dan kebijaksanaan dalam substruktur profesionalnya.
Secara struktural, hakim yang arif dan bijaksana terlihat dari caranya memimpin persidangan dengan sabar dan santun, kemampuannya mendengarkan semua pihak dengan penuh perhatian, dan caranya berkomunikasi yang tidak menimbulkan kesan memihak atau merendahkan. Dirinya cermat dalam memberikan pendapat atau keterangan kepada publik, menghindari pernyataan yang dapat mempengaruhi jalannya proses peradilan yang adil, dan hanya memberikan informasi bersifat umum mengenai prosedur atau hukum acara jika memang ditugaskan secara resmi.
Keterlibatannya dalam kegiatan keilmuan atau sosial kemasyarakatan, dilakukan dengan penuh pertimbangan, agar tidak mengurangi sikap netral dan kemandiriannya sebagai hakim. Dengan demikian, kearifan dan kebijaksanaan yang terpancar dari inner structure membentuk hakim menjadi sosok pengayom, tidak hanya ditakuti karena jabatannya, tetapi disegani keluhuran budi dan kedalaman ilmunya.
D. Prinsip Bersikap Mandiri
Prinsip bersikap mandiri adalah salah satu pilar fundamental, yang menopang tegaknya marwah dan kredibilitas lembaga peradilan. Kemandirian hakim, sebagaimana diartikan Kode Etik, kemampuan bertindak sendiri tanpa bantuan pihak lain, bebas dari campur tangan siapapun dan bebas dari pengaruh apapun. Sikap mandiri, bukanlah sekadar atribut eksternal atau jaminan institusional semata, melainkan kondisi batin dan kekuatan karakter yang bersemayam kokoh dalam inner structure sang pengadil.
Kemandirian sejati lahir dari jiwa yang merdeka, tidak terikat kepentingan duniawi, dan loyalitas tertingginya hanya kepada kebenaran, keadilan, dan hukum yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Berdasarkan perspektif inner structure, kemandirian seorang hakim adalah buah kesadaran mendalam, akan tanggung jawab personalnya di hadapan Tuhan dan konstitusi. Ketika seorang hakim menghayati amanah mengadili, sebagai kepercayaan suci yang tidak boleh dicemari intervensi atau pengaruh dari manapun, maka hakim akan membangun benteng pertahanan batin kuat.
Inner structure mandiri, menumbuhkan keberanian menolak segala bentuk bujukan, tekanan, atau ancaman, baik datang secara terang-terangan maupun terselubung. Dirinya menjalankan fungsi peradilan secara mandiri dan bebas, bukan karena takut pengawasan eksternal, melainkan kesetiaan pada prinsip dan keyakinan atas kebenaran yang telah terpatri dalam jiwanya.
Perjuangan memelihara kemandirian inner structure, sebuah pergulatan yang menuntut keteguhan hati dan kejernihan pikiran. Godaan mencari perlindungan atau dukungan dari pihak-pihak tertentu, atau ketakutan akan risiko pribadi bilamana mengambil keputusan tidak populer, dapat menggerogoti kemandirian batin. Dari sinilah pentingnya inner structure berlandaskan ketaqwaan dan keyakinan, bahwa hanya Tuhanlah sebaik-baik pelindung.
Hakim yang miliki inner structure mandiri, bebas dari hubungan yang tidak patut dengan lembaga eksekutif maupun legislative, serta kelompok lain yang berpotensi mengancam kemandirian (independensi) hakim dan badan peradilan. Sosoknya, tidak membiarkan dirinya terjebak jerat hutang budi atau persekongkolan yang korbankan independensinya mengambil keputusan.
Kemandirian dalam inner structure dimaksud, secara langsung membentuk kualitas substruktur profesional hakim. Dalam menganalisis fakta dan menerapkan hukum, hakim yang mandiri mengandalkan kemampuan intelektual dan nuraninya sendiri, tidak terpengaruh opini publik yang menyesatkan, tekanan media, atau pandangan atasan yang mungkin bertentangan dengan keyakinan hukumnya. Pribadinya, berani berbeda pendapat (dissenting opinion), bilamana didasarkan argumentasi hukum yang kuat dan keyakinan akan kebenaran. Substruktur mandiri, menghasilkan pertimbangan hukum yang orisinal, mendalam, dan tidak sekadar mengikuti arus atau menyenangkan pihak tertentu.
Secara struktural, kemandirian hakim tercermin dalam sikap dan perilakunya yang tidak menunjukkan ketergantungan atau keberpihakan kepada siapapun. Dirinya menjaga jarak profesional dengan semua pihak yang terlibat dalam perkara, dan tidak akan membiarkan ruang kerjanya atau kediamannya jadi tempat lobi-lobi perkara. Keberanian melaporkan segala bentuk upaya intervensi terhadap kemandiriannya, merupakan wujud kemandirian struktural yang berakar dari inner structure yang kuat.
Hakim wajib berperilaku mandiri guna memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap badan peradilan, karena hanya dengan kemandirian nyata dan dirasakan publik, marwah peradilan sebagai benteng keadilan yang tidak memihak dapat ditegakkan. Namun kemandirian bukan tanpa konsekuensi. Seringkali, keberanian berdiri sendiri atau memilih jalan sunyi, tidak selalu popular dan tidak mudah. Namun, di sanalah hakim menemukan jati dirinya, bahwa ia tidak bertugas menyenangkan, melainkan untuk menegakkan yang benar.
E. Prinsip Berintegritas Tinggi
Prinsip berintegritas tinggi, mahkota kemuliaan bagi seorang hakim. Integritas, dalam pemahaman Kode Etik, bermakna sikap dan kepribadian yang utuh, berwibawa, jujur dan tidak tergoyahkan. Lebih dari itu, integritas tinggi hakikatnya terwujud sikap setia dan tangguh, berpegang nilai atau norma yang berlaku dalam melaksanakan tugas. Hal tersebut, bukanlah terbatas penampilan luar tanpa cela, melainkan kesatuan harmonis dan tidak terpisahkan antara yang ada dalam inner structure, terucap (substruktur dalam bentuk argumentasi dan komunikasi), dan termanifestasi dalam perbuatan (struktur dalam bentuk perilaku dan keputusan).
Integritas adalah tentang menjadi pribadi otentik, konsisten antara kata dan perbuatan, dan seluruh aspek dirinya terarah pencapaian kebenaran, serta keadilan.
Dalam inner structure, integritas hakim adalah komitmen baja atas nilai luhur profesi dan ajaran agama. Bentuknya sebuah keputusan sadar, untuk jadikan kejujuran, keadilan, dan kebenaran sebagai prinsip hidup yang tidak dapat ditawar-tawar. Inner structure berintegritas, memancarkan aura kewibawaan alami, bukan karena jabatan atau kekuasaan, melainkan karena kekuatan karakter yang terpancar dari dalam.
Hakim berintegritas tinggi akan berani menolak godaan dan segala bentuk intervensi, dengan mengedepankan tuntutan hati nurani untuk tegakkan kebenaran dan keadilan, serta berusaha melakukan tugas dengan cara-cara terbaik untuk mencapai tujuan terbaik. Dirinya, tidak akan membiarkan larut dalam perilaku tercela atau perbuatan yang dapat merendahkan martabat profesinya.
Hati nurani yang dimiliki hakim, juga tidak terlepas dari sifat peduli. Bagaimana mungkin hakim dapat menjalani hidup tenang, bilamana tidak miliki rasa peduli terhadap dampak yuridis, filosofis, dan sosiologis dari putusan yang dibuat dan menjatuhkan putusan tidak semestinya, kepada para pencari keadilan. Di sinilah sifat dan rasa dari kepedulian berperan sangat penting dalam diri Hakim. Dengan mengakarnya sifat peduli pada diri hakim, maka akan senantiasa mengerti kebenaran harus selalu dinyatakan dan kebatilan wajib dimusnahkan.
Perbuatan hakim dimaksud, menyatakan hakim berintegritas sangat peduli dengan penegakan hukum di Indonesia dan senantiasa melaksanakan tugas, serta fungsinya sesuai dengan norma dan ketentuan sebagaimana mestinya. Selain itu, tidak biarkan dirinya larut dalam perilaku tercela atau perbuatan yang dapat merendahkan martabat profesinya.
Perjuangan membangun dan memelihara integritas dalam inner structure, proses pembentukan karakter yang berlangsung seumur hidup. Wujudnya menuntut kewaspadaan terus-menerus, terhadap berbagai potensi yang menggerogoti keutuhan diri. Konflik kepentingan, baik timbul dari hubungan pribadi, kekeluargaan, finansial, maupun pekerjaan sebelumnya, adalah ujian nyata integritas hakim.
Maka, inner structure berintegritas mendorong hakim tidak mengadili suatu perkara, apabila memiliki konflik kepentingan. Bilamana ragu, akan meminta pertimbangan ketua pengadilan. Kesediaan mengundurkan diri dari penanganan perkara yang berpotensi timbulkan konflik kepentingan, bukti nyata integritas yang mengalahkan ego pribadi. Dirinya juga akan hindari hubungan, baik langsung maupun tidak langsung dengan advokat, penuntut, dan pihak-pihak dalam suatu perkara yang diperiksa hakim bersangkutan, serta membatasi hubungan akrab dengan advokat yang sering berperkara di wilayah hukumnya.
Integritas yang telah terpatri inner structure, membentuk substruktur profesional yang handal dan terpercaya. Dalam menganalisis perkara, hakim berintegritas melakukannya dengan penuh ketelitian, objektivitas, dan tanpa prasangka. Dirinya tidak melakukan tawar-menawar putusan, memperlambat pemeriksaan perkara, menunda eksekusi atau menunjuk advokat tertentu dalam menangani suatu perkara di pengadilan, kecuali ditentukan lain undang-undang.
Setiap pertimbangan hukum yang dihasilkannya, sesuai fakta yang terungkap di persidangan dan penerapan hukum secara benar, bukan atas dasar pesanan atau kepentingan tersembunyi. Keterbukaan memberikan informasi mengenai kepentingan pribadi, menunjukkan tidak adanya konflik kepentingan dalam menangani suatu perkara. Selain itu, merupakan cerminan substruktur transparan dan akuntabel, lahir dari inner structure bersih.
Secara struktural, integritas tinggi hakim termanifestasi dalam perilaku sehari-hari yang konsisten dengan nilai-nilai luhur profesi. Sosoknya, menjaga kewibawaan lembaga peradilan melalui setiap ucapan dan tindakannya, baik di dalam atau luar pengadilan. Hakim tersebut, menolak setiap upaya mempengaruhi keputusannya, dan tidak membiarkan diri atau keluarganya, terlibat transaksi keuangan atau bisnis yang berpotensi memanfaatkan posisinya sebagai hakim.
Integritas struktural akan membangun kepercayaan publik yang kokoh terhadap lembaga peradilan, karena masyarakat melihat adanya kesesuaian antara sumpah jabatan yang diucapkan dengan perilaku nyata. Hakim berintegritas tinggi adalah aset terbesar bagi tegaknya hukum dan keadilan di suatu bangsa. Tanpa integritas, proses hukum bisa berjalan secara procedural, namun hampa moral. Perlu disadari, kepercayaan publik tidak dibangun dari putusan yang benar secara formal saja, tetapi melalui hakim bersih dan tulus menjalankan amanahnya. (bersambung)
Tim penulis: Dr. Bony Daniel, S.H., M.H. (Hakim PN Serang) Muhammad Irfansyah, S.H. (Calon Hakim PN Serang), Maghfiraa Larasati Erlanggaputri, S.H. (Calon Hakim PN Serang)., dan Catur Noviantoris Yusuf Putra, S.H. (Calon Hakim PN Serang)