Pembaruan Hukum dalam Malpraktik Medis: Perlindungan Tenaga Medis dan Pasien Pasca UU 17 Tahun 2023

Perlindungan terhadap tenaga medis tidak berarti impunitas, melainkan keharusan untuk memastikan, penilaian dilakukan secara profesional dan objektif sebelum masuk ke ranah hukum.
Hakim Yustisial Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Riki Perdana Raya Waruwu. Foto dokumentasi pribadi
Hakim Yustisial Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Riki Perdana Raya Waruwu. Foto dokumentasi pribadi

Dr. Riki Perdana Raya Waruwu, S.H., M.H.
Hakim Yustisial Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung

Pendahuluan

Belakangan ini publik dikejutkan oleh kasus oknum tenaga medis yang diduga melakukan kekerasan seksual terhadap pasiennya. Lebih memprihatinkan lagi, tindakan tersebut dilakukan dengan memanfaatkan posisi pelaku sebagai penyedia layanan kesehatan-sebuah pengkhianatan terhadap etika profesi dan amanah pelayanan publik. Korban yang sedang dalam kondisi lemah justru menjadi sasaran penyimpangan kekuasaan.

Namun perlu ditegaskan, tindakan seperti ini bukanlah malpraktik medis. Ia merupakan kejahatan seksual murni yang berada dalam ranah hukum pidana. Mengaburkan batas antara tindak pidana dan kelalaian medis justru berisiko mengaburkan hak korban dan menyulitkan penegakan hukum.

Oleh karena itu, fokus artikel ini bukan pada kasus kriminal seperti di atas, melainkan pada dinamika hukum dalam konteks dugaan malpraktik medis, khususnya setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

UU ini membawa semangat pembaruan dalam sistem perlindungan hukum, baik bagi tenaga medis maupun pasien. Tujuannya adalah menciptakan keseimbangan antara profesionalisme pelayanan kesehatan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa medis yang timbul akibat kelalaian.

Perubahan Paradigma dalam Penyelesaian Kasus Malpraktik

Sebelum UU 17/2023 berlaku, pasien atau keluarganya dapat langsung menggugat tenaga medis secara perdata atau pidana tanpa harus menunggu penilaian dari Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). Dalam berbagai putusan, Mahkamah Agung menyatakan bahwa sepanjang dapat dibuktikan adanya kelalaian medis yang melanggar hak pasien, maka gugatan tetap dapat dilayangkan, baik terhadap dokter maupun institusi rumah sakit.

Namun, hadirnya UU 17/2023 mengubah paradigma tersebut secara mendasar. Undang-undang ini menekankan pentingnya keterlibatan lembaga profesi untuk memberikan penilaian awal terhadap dugaan malpraktik sebelum kasusnya berlanjut ke jalur hukum. Pasal 308 UU 17/2023 mengharuskan adanya rekomendasi dari Majelis Disiplin Profesi sebelum tenaga medis dapat dimintai pertanggungjawaban secara perdata. Artinya, tak ada lagi ruang untuk proses hukum instan tanpa landasan evaluasi profesional.

Majelis Disiplin Profesi menggantikan peran MKDKI dalam menilai kelayakan etis dan disipliner suatu tindakan medis. Pembentukan majelis ini diatur dalam Permenkes Nomor 12 Tahun 2024, dengan komposisi lintas unsur yang mencakup perwakilan pemerintah, profesi, fasilitas kesehatan, masyarakat, dan ahli hukum. Tujuannya adalah menghadirkan lembaga yang lebih inklusif, objektif, dan berintegritas.

Penguatan Lembaga Profesi: Jaminan atau Hambatan?

Penguatan posisi Majelis Disiplin Profesi melalui Pasal 304 UU 17/2023 bertujuan untuk mencegah kriminalisasi tenaga medis yang bekerja sesuai standar. Dalam banyak kasus, komplikasi medis sering disalahartikan sebagai kelalaian, padahal bisa saja merupakan risiko inheren dari tindakan medis itu sendiri.

Namun, penguatan ini hanya akan efektif jika disertai transparansi dan akuntabilitas. Proses pemeriksaan oleh majelis tidak boleh berlangsung tertutup atau tanpa pengawasan. Masyarakat, terutama pasien dan keluarganya, harus mendapat akses terhadap informasi terkait proses dan hasil pemeriksaan, dengan jaminan bahwa majelis terdiri dari sosok-sosok yang bebas konflik kepentingan.

Di sinilah muncul tantangan berikutnya: belum adanya ketentuan yang jelas terkait batas waktu penyelesaian pemeriksaan di Majelis Disiplin Profesi. Ketiadaan tenggat waktu dapat menyebabkan ketidakpastian hukum, bahkan berlarut-larutnya penyelesaian sengketa. Maka diperlukan regulasi pelaksana yang menetapkan durasi proses yang wajar, misalnya 30 sampai 60 hari kerja, agar fungsi etik ini tidak menjadi kendala dalam meraih keadilan.

Tanggung Jawab Hukum Sebelum dan Sesudah UU 17/2023

Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, mekanisme pertanggungjawaban dokter atas dugaan malpraktik belum mensyaratkan keterlibatan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) secara mutlak. Dalam praktiknya, gugatan terhadap dokter baik secara perdata maupun pidana dapat diajukan langsung ke pengadilan tanpa harus menunggu terlebih dahulu adanya putusan dari MKDKI. 

Mahkamah Agung menegaskan hal ini dalam Putusan Nomor 3004 K/Pdt/2014, yang menyatakan bahwa keberadaan keputusan MKDKI bukanlah prasyarat absolut untuk menilai ada tidaknya kelalaian medis. Artinya, dalam konteks pemenuhan hak-hak pasien, seorang dokter tetap dapat dimintai pertanggungjawaban langsung di hadapan hukum apabila terbukti melakukan kelalaian atau pelanggaran terhadap standar profesi yang berdampak pada pasien.

Selain itu, tanggung jawab hukum dalam pelayanan medis tidak hanya melekat pada individu dokter, melainkan juga pada institusi pelayanan kesehatan, yaitu rumah sakit. Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1001 K/Pdt/2017, ditegaskan bahwa rumah sakit memiliki tanggung jawab hukum terhadap kewajiban edukasi kepada pasien. Dalam kasus tersebut, rumah sakit dan dokter dinyatakan lalai karena tidak memberikan informasi yang memadai terkait risiko medis dari persalinan caesar yang dilakukan untuk keempat kalinya. 

Kelalaian ini berujung pada kematian pasien, sehingga keduanya dijatuhi kewajiban membayar ganti rugi. Putusan ini menegaskan pentingnya prinsip informed consent dan hak pasien untuk memahami secara utuh konsekuensi tindakan medis yang akan dijalani, sebagai bagian dari perlindungan hukum terhadap pasien.

Sanksi Pidana atas Kelalaian Medis

Meskipun UU 17/2023 memberikan perlindungan lebih bagi tenaga medis, aturan ini tetap memberikan sanksi pidana bagi tenaga medis yang terbukti lalai. Pasal 440 menetapkan bahwa tenaga medis yang karena kealpaan mengakibatkan luka berat pada pasien dapat dipidana hingga 3 tahun atau dikenai denda hingga Rp250 juta. Jika kealpaan tersebut menyebabkan kematian pasien, sanksinya dapat meningkat hingga 5 tahun penjara atau denda Rp500 juta.

Sanksi ini menunjukkan bahwa meskipun ada perlindungan hukum, tenaga medis tetap harus menjalankan praktik kedokteran dengan profesionalisme tinggi, mengikuti standar layanan kesehatan, dan bertanggung jawab terhadap tindakan medis yang diambil. Sementara ini, berdasarkan informasi pada direktori putusan mahkamah agung, praktik penerapan Pasal 440 belum ditemukan.

Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, kasus malpraktik medis di Indonesia banyak diselesaikan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta berbagai peraturan terkait, seperti Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Dalam konteks hukum pidana, dokter atau tenaga medis yang melakukan kelalaian hingga menyebabkan kerugian bagi pasien dapat dijerat dengan pasal-pasal dalam KUHP, khususnya yang mengatur tentang kealpaan (culpa). 

Pasal 359, 360, dan 361 KUHP mengatur tentang kealpaan yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain, termasuk dalam konteks malpraktik medis. Pasal 359 menyatakan, siapa pun yang karena kelalaiannya menyebabkan kematian orang lain dapat dipidana hingga lima tahun penjara atau satu tahun kurungan. Dalam konteks malpraktik, pasal-pasal ini digunakan untuk menjerat tenaga medis yang dianggap lalai dalam menjalankan tugasnya sehingga menyebabkan pasien mengalami luka berat atau meninggal dunia.

Dari pasal-pasal tersebut, terlihat, tidak ada aturan khusus yang mengatur kelalaian dalam praktik kedokteran. KUHP hanya mengenal konsep kealpaan umum. Sehingga, kasus dugaan malpraktik medis sering kali ditangani sebagai kasus kealpaan biasa yang berlaku bagi semua profesi, bukan hanya tenaga medis. UU 17/2023 tetap membuka ruang pertanggungjawaban pidana bagi tenaga medis yang terbukti lalai. Pasal 440 menetapkan sanksi pidana hingga lima tahun atau denda setengah miliar rupiah bagi tenaga medis yang karena kealpaan menyebabkan kematian pasien.

Tanggung Jawab Rumah Sakit: Pendekatan Vicarious Liability

Salah satu perubahan penting dalam UU 17/2023 adalah penguatan tanggung jawab rumah sakit dalam kasus kelalaian medis. Pasal 193 menyatakan bahwa rumah sakit bertanggung jawab secara hukum atas kerugian akibat kelalaian tenaga medis yang bekerja di dalamnya. Ini berarti bahwa pasien yang mengalami kerugian akibat tindakan tenaga medis dapat menuntut rumah sakit sebagai entitas yang memiliki kewajiban dalam menyediakan layanan kesehatan yang aman dan berkualitas.

Ketentuan ini memperkuat prinsip perlindungan hukum bagi pasien dan menegaskan bahwa tanggung jawab atas layanan kesehatan tidak hanya melekat pada individu tenaga medis, tetapi juga pada institusi penyelenggara layanan, yaitu rumah sakit. Secara normatif, pengaturan ini sejalan dan dapat dikaitkan dengan ketentuan dalam Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), yang menyatakan bahwa seseorang tidak hanya bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh perbuatan sendiri, tetapi juga atas perbuatan orang lain yang berada di bawah pengawasannya. 

Dalam konteks hubungan kerja antara rumah sakit dan tenaga medis, rumah sakit sebagai pemberi kerja memiliki kewajiban untuk mengawasi dan menjamin bahwa tindakan tenaga medis dilakukan sesuai dengan standar profesi dan keselamatan pasien. Apabila terjadi kelalaian yang menyebabkan kerugian bagi pasien, maka rumah sakit dapat dimintai pertanggungjawaban secara perdata berdasarkan asas vicarious liability sebagaimana diatur dalam Pasal 1367 KUHPerdata.

Dengan demikian, Pasal 193 UU 17/2023 tidak hanya memberikan kepastian hukum yang lebih kuat bagi pasien dalam menuntut ganti rugi, tetapi juga merefleksikan prinsip hukum perdata klasik tentang tanggung jawab atas perbuatan orang yang berada dalam pengawasan. Pendekatan ini menempatkan rumah sakit sebagai entitas yang tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab hanya karena tindakan dilakukan oleh tenaga medis secara individual, selama tindakan tersebut berada dalam ruang lingkup tugasnya sebagai pekerja rumah sakit.

Sebaliknya, Pasal 192 memberikan batasan bahwa rumah sakit tidak dapat dituntut apabila pasien atau keluarganya menolak pengobatan yang direkomendasikan oleh tenaga medis. Dengan adanya aturan ini, tenaga medis dan rumah sakit memiliki perlindungan hukum lebih kuat dalam situasi di mana pasien menolak pengobatan setelah diberikan penjelasan yang memadai. Perubahan ini memberikan perlindungan lebih kepada tenaga medis, sekaligus tetap menjaga hak pasien untuk mendapatkan layanan kesehatan yang aman.

Penutup

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan adalah tonggak penting dalam pembaruan hukum kesehatan di Indonesia. Ia menghadirkan mekanisme yang lebih adil dan terstruktur dalam penyelesaian sengketa medis, dengan menempatkan keahlian profesi sebagai garda depan dalam menilai adanya dugaan malpraktik.

Perlindungan terhadap tenaga medis tidak berarti impunitas, melainkan keharusan untuk memastikan, penilaian dilakukan secara profesional dan objektif sebelum masuk ke ranah hukum. Di sisi lain, hak pasien tetap dijamin, baik secara etik maupun yuridis.

Dengan sistem yang lebih akuntabel dan seimbang ini, diharapkan tercipta suasana pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas, adil, dan berkeadilan hukum bagi semua pihak.