Penerapan dan Kritik Atas Penggunaan Teknologi Berbasis Prinsip Predictive Justice di Pengadilan

Dengan pendekatan yang tepat, predictive justice dapat menjadi prinsip yang berharga dalam meningkatkan sistem peradilan, asalkan digunakan dengan cara yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan hak asasi manusia.
Ilustrasi Large Language Model Artificial Intelligence. Foto scmp.com.
Ilustrasi Large Language Model Artificial Intelligence. Foto scmp.com.

Meskipun predictive justice menawarkan potensi peningkatan efisiensi dan konsistensi dalam proses peradilan, penerapannya menimbulkan kekhawatiran serius terkait bias algoritmik, transparansi, akuntabilitas, dan hak-hak fundamental terdakwa. Tulisan ini menyimpulkan perlunya kerangka regulasi yang ketat dan pendekatan yang lebih berhati-hati dalam mengadopsi teknologi ini di sistem peradilan.

Pendahuluan

Predictive justice atau keadilan prediktif di pengadilan, merujuk pada penggunaan algoritma dan teknologi kecerdasan buatan untuk memprediksi hasil dari suatu proses hukum berdasarkan analisis data historis. Fenomena ini muncul sebagai bagian dari gelombang transformasi digital yang melanda berbagai sektor, termasuk sistem peradilan.

Di era big data dan komputasi yang semakin canggih, predictive justice menjanjikan peningkatan efisiensi, konsistensi, dan kemungkinan penurunan biaya dalam proses peradilan.

Penggunaan teknologi prediktif dalam sistem peradilan memiliki beragam aplikasi, mulai dari penilaian risiko residivisme untuk keputusan pembebasan bersyarat, prediksi hasil litigasi untuk perencanaan strategi hukum, hingga analisis yurisprudensi untuk mendukung pengambilan keputusan hakim. Pendekatan ini telah diadopsi dengan berbagai tingkat intensitas di beberapa negara, terutama Amerika Serikat, Prancis, Inggris, dan China.

Di Indonesia, wacana penerapan AI sudah sering dibicarakan tidak hanya oleh publik pemerhati peradilan, tetapi juga dari kalangan instansi pengadilan sendiri beberapa tulisan oleh aparatur pengadilan telah membahas mengenai hal ini, Radityo M. Harseno S.H misalnya yang membahas mengenai Hakim di Era AI (Radityo M. Harseno, 2025), serta Bayu A. Wicaksono yang menulis tentang AI sebagai Alat Bantu Dalam Pengambilan Putusan Hakim (Bayu A. Wicaksono, 2025). Beberapa hakim bahkan sudah memulai membahas dan tidak sedikit yang “dengan bangga” menyatakan telah menggunakan teknologi AI dalam membuat putusan.

Pada akhirnya, pengembangan model penggunaan AI berbasis prinsip keadilan prediktif di pengadilan, memang menjanjikan banyak potensi dalam pengembangan dunia peradilan modern khususnya yang berkaitan dengan efisiensi, namun, di balik janji peningkatan efisiensi dan juga objektivitas, penggunaan AI berbasis prinsip keadilan prediktif juga menuai kritik tajam dari berbagai kalangan.

Kekhawatiran utama meliputi potensi bias yang tertanam dalam algoritma, tantangan terhadap prinsip transparansi peradilan, pengikisan independensi hakim, dan risiko pelanggaran terhadap hak-hak fundamental para pihak yang berperkara.

Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji secara kritis implementasi predictive justice di sistem peradilan dengan memperhatikan aspek teknis, yuridis, dan etis. Dalam tulisan ini akan dibahas bagaimana teknologi ini diterapkan di berbagai yurisdiksi, menganalisis manfaat potensialnya, serta menyoroti tantangan dan risiko yang menyertainya.

Konsep dan Perkembangan Predictive Justice

Predictive justice dapat didefinisikan sebagai penggunaan algoritma dan model statistik untuk menganalisis data hukum historis dalam jumlah besar guna memprediksi hasil kasus-kasus di masa depan (Susskind, R., 2019).

Teknologi ini menggabungkan metode machine learning, pemrosesan bahasa alami (natural language processing), dan analisis statistik untuk mengidentifikasi pola dalam keputusan pengadilan sebelumnya dan menggunakannya untuk membuat prediksi.

Pada perkembangannya di berbagai negara, ruang lingkup predictive justice mencakup berbagai aplikasi, termasuk:

1. Risk assessment tools: Algoritma yang memprediksi kemungkinan seorang terdakwa akan melarikan diri atau melakukan kejahatan baru jika dibebaskan sebelum persidangan.

2. Sentencing analytics: Sistem yang membantu hakim dalam menentukan hukuman dengan menyediakan analisis komparatif dari kasus-kasus serupa di masa lalu.

3. Outcome prediction: Alat yang memprediksi kemungkinan hasil dari suatu perkara berdasarkan yurisprudensi dan faktor-faktor relevan lainnya.

4. Legal research automation: Sistem yang membantu mengidentifikasi preseden hukum yang relevan dan pola argumentasi yang berhasil.

Penerapan prinsip predictive justice tidak lepas dari gagasan mengenai penggunaan matematika dan statistik dalam hukum yang telah muncul sejak pertengahan abad ke-20, dengan pionir seperti Lee Loevinger yang memperkenalkan konsep "jurimetrics" pada 1949 (Loevinger, L.1949).

Namun, perkembangan signifikan predictive justice baru terjadi pada awal abad ke-21, seiring dengan kemajuan pesat dalam bidang big data, komputasi, dan kecerdasan buatan.
Secara singkat tonggak penting dalam perkembangan teknologi berbasis predictive justice di pengadilan meliputi:

> 2000-an awal: Pengembangan sistem risk assessment algoritmik pertama seperti COMPAS (Correctional Offender Management Profiling for Alternative Sanctions) di Amerika Serikat.

> 2016: Peluncuran platform analisis prediktif pertama untuk pengacara dan profesional hukum seperti Lex Machina dan Ravel Law.

> 2017: Inisiatif "Datajust" di Prancis yang bertujuan untuk menganalisis dan memprediksi kompensasi untuk cedera pribadi berdasarkan keputusan pengadilan sebelumnya.

> 2018-2020: Eksperimen dengan "pengadilan internet" di China yang menggunakan AI untuk menangani kasus-kasus sederhana.

Implementasi Teknologi Berbasis Predictive Justice di Berbagai Yuridiksi

A. Amerika Serikat

Amerika Serikat merupakan salah satu pelopor dalam penerapan predictive justice, dengan fokus utama pada sistem penilaian risiko (risk assessment) dalam peradilan pidana.

Algoritma seperti COMPAS telah digunakan secara luas untuk membantu keputusan terkait penahanan pra-persidangan, pembebasan bersyarat, dan penentuan hukuman.

Kasus State v. Loomis (2016) di Wisconsin menjadi titik kritis dalam diskusi mengenai penggunaan algoritma prediktif di pengadilan AS. Dalam kasus ini, Mahkamah Agung Wisconsin memutuskan, penggunaan COMPAS untuk penentuan hukuman tidak melanggar hak terdakwa, meskipun algoritma tersebut bersifat proprietary dan tidak transparan (State v. Loomis, 881 N.W.2d 749 (Wis. 201). Keputusan ini menuai kritik keras dari para akademisi dan aktivis hak digital.

Di sektor perdata, perusahaan seperti Lex Machina, Ravel Law, dan LexisNexis telah mengembangkan alat analitik prediktif yang membantu pengacara memperkirakan hasil litigasi dan mengoptimalkan strategi hukum mereka.

B. Eropa

Pendekatan Eropa terhadap predictive justice cenderung lebih berhati-hati dibandingkan Amerika Serikat, dengan penekanan lebih besar pada pelindungan data dan transparansi algoritma. Seperti di Prancis, dengan proyek "Predictice" dan "Case Law Analytics" telah dikembangkan untuk menganalisis keputusan pengadilan dan membantu hakim serta pengacara memahami tren dalam kasus-kasus serupa (Sénat français (2017).  Namun, penggunaannya masih terbatas dan tidak mengikat secara hukum.

Pada 2019, Prancis menjadi negara pertama yang secara eksplisit melarang penggunaan analitik prediktif untuk mengidentifikasi pola keputusan individual hakim melalui Article 33 of the Justice Reform Act. Larangan ini mencerminkan kekhawatiran terhadap potensi pengikisan independensi peradilan.

Di Belanda, sistem "Intelligent Justice" telah diuji coba untuk menganalisis kasus-kasus sederhana dan membantu dalam penjatuhan putusan yang konsisten.

C. Asia

Di China, penggunaan teknologi AI dalam sistem peradilan telah berkembang pesat melalui inisiatif "Smart Court" yang diluncurkan oleh Mahkamah Agung Rakyat pada 2016 (Cui, Y. (2020). Platform seperti "206 System" menggunakan data dari jutaan kasus untuk membantu hakim mengidentifikasi preseden yang relevan dan menjamin konsistensi hukuman.

China juga telah mengembangkan "pengadilan internet" yang menggunakan AI untuk menyelesaikan kasus-kasus sederhana seperti sengketa e-commerce dan perlindungan konsumen (Yu, Z., & Chen, Y. (2019).  Pada 2019, lebih dari 3 juta kasus telah ditangani melalui sistem ini.

Selain Cina, di Singapura juga telah mengadopsi teknologi serupa melalui “State Courts Sentencing Information and Research Repository”, yang memberikan informasi tentang hukuman untuk kasus-kasus serupa kepada hakim (Chng, K. S, 2018).

Manfaat Potensial Teknologi Berbasis Prinsip Keadilan Prediktif

Salah satu manfaat utama yang dijanjikan oleh predictive justice adalah peningkatan efisiensi sistem peradilan. Dengan mengotomatisasi analisis preseden dan pencocokan pola, teknologi ini dapat secara signifikan mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk penelitian hukum dan persiapan kasus.

Di negara-negara dengan beban kasus yang tinggi seperti India, Brasil, dan Indonesia, peningkatan efisiensi ini dapat berkontribusi pada pengurangan tunggakan kasus dan mempercepat proses peradilan.

Predictive justice melalui teknologi AI juga berpotensi meningkatkan konsistensi dalam putusan pengadilan dengan menyediakan hakim akses ke analisis komprehensif tentang bagaimana kasus-kasus serupa telah diputuskan sebelumnya. Hal ini dapat mengurangi disparitas putusan yang sering dikritik dalam sistem peradilan tradisional, di mana faktor-faktor seperti lokasi geografis, hakim yang ditugaskan, atau waktu persidangan dapat mempengaruhi hasil kasus.

Peningkatan akses terhadap keadilan juga tidak luput sebagai salah satu manfaat dari penerapan AI berbasis predictive justice, dengan mengurangi biaya litigasi dan meningkatkan prediktabilitas hasil, teknologi ini dapat meningkatkan akses masyarakat terhadap keadilan. Para pihak dapat membuat keputusan lebih terinformasi tentang apakah akan melanjutkan litigasi atau memilih penyelesaian alternatif berdasarkan prediksi hasil yang lebih akurat.

Selain manfaat tersebut, predictive justice juga mendorong pendekatan yang lebih empiris dan berbasis data dalam hukum, memungkinkan praktisi hukum dan pembuat kebijakan untuk mengidentifikasi pola sistemik yang mungkin tidak terlihat melalui analisis kasus per kasus. Pendekatan ini dapat membantu mengungkap bias yang tidak disadari dalam sistem peradilan dan mendorong reformasi yang lebih terinformasi.

Kritik dan Tantangan Penggunaan Teknologi Berbasis Keadilan Prediktif di Pengadilan 

Salah satu kritik paling signifikan terhadap predictive justice adalah risiko algoritma mereproduksi atau bahkan memperkuat bias yang sudah ada dalam sistem peradilan sejak masa lalu.

Algoritma machine learning dilatih menggunakan data historis yang mencerminkan ketidakadilan sistemik masa lalu, seperti penegakan hukum yang tidak proporsional terhadap kelompok minoritas atau masyarakat berpenghasilan rendah, hingga pada putusan-putusan yang muncul dari perkara yang dikemudian hari diketahui mengandung unsur suap dan tindak pidana korupsi.

Kasus terkenal yang mengilustrasikan masalah ini adalah studi ProPublica pada 2016 yang menganalisis sistem COMPAS dan menemukan, algoritma tersebut cenderung salah mengklasifikasikan terdakwa kulit hitam sebagai berisiko tinggi untuk residivisme hampir dua kali lebih sering dibandingkan terdakwa kulit putih (Angwin, J.,dkk, 2016).

Selain masalah tersebut, banyak algoritma pada pembuatan teknologi berbasis predictive justice yang dikembangkan oleh perusahaan swasta bersifat proprietary, dengan kode sumber dan metodologi yang dilindungi sebagai rahasia dagang (Wachter, S., Mittelstadt, B., & Russell, C, 2018) "Black box" ini menimbulkan tantangan serius terhadap prinsip transparansi yang fundamental dalam sistem peradilan.

Tanpa pemahaman yang jelas tentang bagaimana algoritma mencapai kesimpulannya, sulit bagi terdakwa untuk menantang prediksi yang merugikan dan bagi hakim untuk mengevaluasi keandalan sistem dengan tepat.

Kritik-kritik lain dalam penerapan predictive justice di pengadilan yang dapat penulis identifikasi antara lain:

1. Pengikisan Independensi Yudisial

Kritik ini berfokus pada potensi teknologi berbasis predictive justice yang dapat mengikis independensi yudisial dan kekuasaan diskresi oleh hakim. Ketika hakim dihadapkan pada prediksi algoritmik, hakim sangat dimungkinkan merasa tertekan untuk mengikuti rekomendasi tersebut daripada mengandalkan penilaian profesional mereka sendiri, fenomena yang dikenal sebagai "automation bias."

Beberapa studi seperti studi yang dilakukan oleh Skitka, L. J., Mosier, K. L., & Burdick, M. (1999) dengan judul "Does automation bias decision-making?" yang diterbitkan di International Journal of Human-Computer Studies, menunjukkan, manusia cenderung memberikan kepercayaan berlebih pada keputusan yang dibuat oleh sistem otomatis, bahkan ketika mereka memiliki alasan untuk meragukan akurasinya (Skitka, L. J., Mosier, K. L., & Burdick, M. (1999). Dalam konteks peradilan, kecenderungan ini dapat menghasilkan "abdikasi tanggung jawab" de facto oleh hakim.

2. Tantangan terhadap Hak-hak Fundamental

Penggunaan teknologi berbasis predictive justice juga menimbulkan kekhawatiran serius terkait hak-hak fundamental terdakwa, termasuk:

1) Hak atas peradilan yang adil: Ketika keputusan diambil berdasarkan algoritma yang tidak transparan, kemampuan terdakwa untuk membela diri secara efektif dapat terganggu.

2) Presumption of innocence: Sistem penilaian risiko yang memprediksi perilaku kriminal di masa depan dapat bertentangan dengan prinsip praduga tak bersalah, karena individu dihukum berdasarkan apa yang mungkin mereka lakukan, bukan apa yang telah mereka lakukan.

3) Hak privasi dan pelindungan data, hal tersebut dikarenakan teknologi berbasis predictive justice memerlukan pengumpulan dan pemrosesan data pribadi dalam jumlah besar, menimbulkan kekhawatiran tentang keamanan data dan potensi penyalahgunaan.

3. Keterbatasan Teknologi dan "Ilusi Obyektivitas"

Meskipun sering dipresentasikan sebagai lebih objektif daripada penilaian manusia, algoritma teknologi berbasis predictive justice menghadapi keterbatasan teknis yang signifikan.

Masalah seperti data training yang tidak representatif, variabel proxy yang problematik, dan kesulitan dalam mengukur konsep abstrak seperti "risiko pengulangan perbuatan" atau "urgensi rehabilitasi" sebagaimana yang sering dipertimbangkan dalam penyelesaian perkara narkotika dapat mengurangi akurasi dan keandalan prediksi pada sistem yang digunakan.

Lebih jauh lagi, aura "objektivitas ilmiah" yang sering mengelilingi teknologi AI dapat menciptakan apa yang disebut para ahli sebagai "ilusi objektivitas" yakni, kepercayaan yang tidak tepat bahwa hasil algoritma secara inheren lebih adil atau akurat daripada penilaian manusia.

Bagaimana Menyikapinya?

Untuk menghadapi berbagai tantangan yang ditimbulkan oleh penerapan prinsip predictive justice, Mahkamah Agung dapat mencontoh berbagai yurisdiksi yang telah mulai mengembangkan kerangka regulasi dan tata kelola untuk mengatur penggunaannya dalam sistem peradilan.

Seperti Uni Eropa yang telah memimpin upaya regulasi melalui proposal Artificial Intelligence Act, yang mengklasifikasikan sistem AI yang digunakan dalam administrasi keadilan sebagai bentuk "high risk" dan menerapkan persyaratan ketat terkait transparansi, akurasi, dan pentingnya pengawasan manusia atas teknologi yang digunakan (European Commission, 2021).

Di Amerika Serikat, pendekatan regulasi bervariasi antarnegara bagian. Beberapa negara bagian seperti Idaho dan Vermont telah memberlakukan moratorium pada penggunaan algoritma risk assessment dalam sistem peradilan pidana, sementara yang lain seperti New York dan California telah mengadopsi persyaratan transparansi dan audit algoritma (Cyphert, A. B., 2019).

Hal penting lain yang perlu dikembangkan adalah standar dan prinsip etis dalam penerapannya. Berbagai organisasi internasional dan lembaga think tank telah mengembangkan prinsip-prinsip etis untuk mengarahkan pengembangan dan implementasi predictive justice, prinsip-prinsip tersebut termasuk:

1. Prinsip transparansi. Algoritma harus dapat dijelaskan dan diaudit oleh pihak independen. Bahkan sejak awal pengembangannya.

2. Akuntabilitas manusia. Keputusan akhir harus tetap berada di tangan manusia, dengan algoritma berperan sebagai alat pendukung, bukan penentu utama. European Commission for the Efficiency of Justice misalnya telah menerapkan prinsip tersebut pada setiap penggunaan teknologi yang mengarah pada keadilan prediktif di pengadilan (European Commission for the Efficiency of Justice, 2018).

3. Keadilan dan nondiskriminatif. Prinsip ini berangkat dari prinsip utama dalam penyelenggaran sistem peradilan. Sehingga bagaimanapun setiap sistem harus dirancang dengan mengindahkan prinsip ini untuk mengidentifikasi dan mengurangi bias pada produk yang dihasilkan.

4. Validasi dan pengujian berkala. Algoritma yang digunakan harus divalidasi secara ilmiah dan diuji secara teratur untuk memastikan mereka tidak menghasilkan dampak diskriminatif.

Integrasi keadilan prediktif akan berdampak signifikan pada profesi hukum, mendorong perubahan dalam praktik hukum dan pendidikan. Pengacara dan hakim masa depan akan perlu mengembangkan "AI literacy" untuk secara efektif mengevaluasi dan memanfaatkan alat prediktif, berinteraksi dengan pakar teknis, dan memahami keterbatasan teknologi.

Fakultas hukum pun sudah perlu untuk memulai memasukkan mata kuliah tentang teknologi hukum dan kecerdasan buatan dalam kurikulum mereka, mengakui bahwa praktisi hukum masa depan akan perlu memahami aspek teknis dan etis dari teknologi ini.

Tantangan utama ke depan adalah mengembangkan sistem peradilan yang memanfaatkan kekuatan predictive justice sambil mempertahankan nilai-nilai dasar sistem peradilan dan menempatkan penilaian manusia di pusatnya.

Pendekatan ideal akan memperlakukan teknologi prediktif sebagai alat untuk memperluas kapasitas hakim dan pengacara, bukan sebagai pengganti mereka. Ini memerlukan perancangan sistem yang memprioritaskan transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan manusia yang bermakna.

Kesimpulan 

Predictive justice menawarkan peluang signifikan untuk meningkatkan efisiensi, konsistensi, dan akses terhadap sistem peradilan. Namun, penerapannya juga menimbulkan tantangan serius terkait bias algoritmik, transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan hak-hak fundamental.

Penting untuk mengadopsi pendekatan yang seimbang dan berhati-hati dalam mengembangkan dan menerapkan teknologi ini dalam sistem peradilan. Hal tersebut melibatkan:

1. Pengembangan kerangka regulasi yang komprehensif dan spesifik konteks yang mengatur penggunaan teknologi berbasis predictive justice.

2. Penerapan standar teknis dan etis yang ketat dalam pengembangan dan implementasi sistem.

3. Memastikan bahwa algoritma berfungsi sebagai alat pendukung, bukan penentu utama, dalam proses pengambilan keputusan hukum.

4. Investasi dalam penelitian interdisipliner tentang dampak predictive justice terhadap hasil peradilan dan hak-hak terdakwa.

5. Peningkatan literasi teknologi di kalangan profesional hukum dan masyarakat umum.

Dengan pendekatan yang tepat, predictive justice dapat menjadi prinsip yang berharga dalam meningkatkan sistem peradilan, asalkan digunakan dengan cara yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan, transparansi, dan hak asasi manusia.