Permohonan Perubahan Nama Karena Keberatan Nama

Keberatan nama adalah kepercayaan. Di mana, seseorang menderita sakit, baik dalam bentuk fisik hingga anomali mentalitas yang dipercaya disebabkan pemberian nama yang dipercaya memiliki makna buruk hingga penyandang nama tersebut tidak mampu menanggung doa dari nama tersebut.
Pengadilan Negeri Mempawah menggelar sidang permohonan ganti nama di luar gedung pengadilan. Foto pn-Mempawah.go.id
Pengadilan Negeri Mempawah menggelar sidang permohonan ganti nama di luar gedung pengadilan. Foto pn-Mempawah.go.id

Permohonan perubahan nama adalah salah satu jenis perkara perdata berupa gugatan voluntaire yang dapat diajukan ke Pengadilan Negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman juncto Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Masyarakat umum dapat bermohon untuk mengubah nama ke pengadilan negeri dengan berbagai alasan. Secara umum, perubahan nama dapat dilakukan dalam bentuk pengurangan, penambahan maupun perbaikan nama dengan maksud mengganti ataupun memperbaiki, asalkan perubahan nama itu didasarkan pada alasan yang sah tetapi tidak termasuk perubahan yang menyangkut kesalahan tulis redaksional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 Tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil.

Dalam bermasyarakat di Indonesia yang majemuk dengan adat dan tradisi yang beragam, ada tradisi kepercayaan yang dikenal dengan istilah keberatan nama atau kabotan jeneng.

Keberatan nama atau kabotan jeneng sebenarnya lebih dikenal pada masyarakat suku Jawa, namun dalam praktik hukum sering pula ditemukan kepercayaan ini masih dianut masyarakat suku lain seperti suku Melayu hingga suku Banjar. Keberatan nama adalah kepercayaan. Di mana, seseorang menderita sakit, baik dalam bentuk fisik hingga anomali mentalitas yang dipercaya disebabkan pemberian nama yang dipercaya memiliki makna buruk hingga penyandang nama tersebut tidak mampu menanggung doa dari nama tersebut.

Sebagai bahan diskusi, dalam perkara nomor 126/Pdt.P/2021/PN Sbs, Pemohon mengajukan permohonan untuk mengganti nama anaknya dari semula Ratu Asyifa menjadi Asyifa saja.

Dalam perkara tersebut, disebutkan, pemohon bahwa nama Ratu memiliki beban nama berat oleh karena nama ‘Ratu’ pada masyarakat suku Melayu di Kabupaten Sambas, Provinsi Kalimantan Barat merupakan gelar ‘Raja Laki-laki’ yang diberikan oleh Sultan Kerajaan Sambas.

Makna nama Asyifa berasa dari bahasa Arab dari kata al-Syifa yang menurut kitab Lisan al Lisan adalah Obat yang Dikenal atau Kesembuhan. Dikaji dari interpretasi gramatikal dan sosiologis, ada pertentangan makna nama dari dua suku kata nama tersebut dimana tidak seharusnya nama Ratu diberikan kepada anak pemohon oleh karena pemohon ataupun anak pemohon memang tidak mendapatkan gelar keadatan dari Kerajaan Sambas. 

Mengingat diakuinya dan berlakunya hukum adat sebagaimana diatur dalam Pasal 18B Undang-Undang Dasar Tahun 1945, maka Pengadilan tetap harus memperhatikan dan menjunjung nilai hukum adat terlebih juga ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Oleh karena itu, pengadilan sewajarnya mempertimbangkan permohonan perubahan nama atas alasan kepercayaan seperti keberatan karena langkah tersebut menjadi perwujudan nyata dari pengadilan sebagai bagian dari negara hukum dalam menjunjung hukum adat.