Antara Pengawasan dan Peningkatan Kesejahteraan: Komparasi Teoretis terhadap Variabel yang Memengaruhi Hakim

Kesejahteraan yang memadai memungkinkan hakim untuk fokus pada tugasnya tanpa terganggu oleh masalah finansial. Sekaligus meningkatkan status sosial profesi sehingga mendorong rasa bangga dan tanggung jawab profesional.
Ilustrasi putusan hakim. Foto istockphoto.com
Ilustrasi putusan hakim. Foto istockphoto.com

Pendahuluan

Integritas hakim merupakan fondasi utama dalam penegakan keadilan dan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan. Diskursus mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi integritas hakim telah berkembang selama beberapa dekade, dengan dua pendekatan utama yang sering diperdebatkan: pengawasan (pendekatan kontrol) dan peningkatan kesejahteraan (pendekatan kesejahteraan).

Artikel ini bertujuan menganalisis secara seimbang dan objektif mengenai pengaruh kedua pendekatan tersebut terhadap integritas hakim dengan menggunakan beberapa kerangka teoretis.

Perlu dicatat bahwa Integritas hakim tidak hanya merujuk pada kejujuran dan ketidakberpihakan, tetapi juga mencakup kompetensi, independensi, dan akuntabilitas dalam menjalankan fungsi yudisial. Seorang hakim dengan integritas tinggi akan menjalankan tugasnya sesuai dengan norma hukum dan etika tanpa terpengaruh oleh tekanan eksternal maupun internal. (Bangalore Principles of Judicial Conduct, Values 1-6,2002 ).

Namun demikian, kondisi ideal ini seringkali terbentur pada realitas, di mana hakim sebagai manusia tidak terlepas dari berbagai godaan dan tekanan yang dapat menggoyahkan integritas.

Pendekatan Teoretis Terhadap Integritas Hakim

Teori Principal-Agent dan Pengawasan

Teori principal-agent (teori keagenan) menawarkan kerangka analisis yang relevan untuk memahami hubungan antara hakim sebagai agen dan masyarakat sebagai prinsipal. Menurut Jensen dan Meckling, hubungan keagenan terjadi ketika satu pihak (prinsipal) mendelegasikan kewenangan kepada pihak lain (agen) untuk melakukan suatu tindakan atas nama prinsipal.  (Jensen, M. C., & Meckling, W. H. 1976).

Dalam konteks peradilan, masyarakat (dalam konteks kontrak sosial) mendelegasikan kewenangan kepada hakim untuk menegakkan keadilan.

Teori ini menjelaskan, permasalahan keagenan muncul ketika terjadi asimetri informasi dan perbedaan kepentingan antara prinsipal dan agen. Hakim memiliki kewenangan diskresioner yang luas dan informasi yang lebih banyak dibandingkan masyarakat, sehingga berpotensi menimbulkan moral hazard. Untuk mengatasi masalah ini, mekanisme pengawasan menjadi penting sebagai upaya mitigasi risiko penyimpangan. (Richard A Posner, 1993).

Pengawasan terhadap hakim dapat dibagi menjadi dua bentuk: pengawasan internal dan eksternal. Pengawasan internal dilakukan oleh lembaga peradilan sendiri melalui mekanisme kode etik, supervisi, dan badan pengawas internal. Sementara pengawasan eksternal dapat dilakukan oleh lembaga independen, media, dan masyarakat sipil. Pengawasan yang efektif dapat meningkatkan akuntabilitas hakim dan mendorong perilaku yang sesuai dengan standar etik dan hukum.

Teori Motivasi dan Kesejahteraan

Di sisi lain, teori motivasi Maslow dan Herzberg dalam bukunya “A Theory of Human Motivation”, memberikan perspektif berbeda. Teori hierarki kebutuhan Maslow menjelaskan, individu memiliki lima tingkatan kebutuhan yang harus dipenuhi secara berurutan: fisiologis, keamanan, sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri. (Maslow, A. H. (1943).

Sementara, teori dua faktor Herzberg membedakan antara faktor higiene (seperti gaji dan kondisi kerja) yang mencegah ketidakpuasan dan faktor motivator (seperti pengakuan dan tanggung jawab) yang mendorong kepuasan kerja. (Herzberg, F. (1966)

Berdasarkan teori-teori tersebut, peningkatan kesejahteraan hakim tidak hanya mencakup aspek material seperti gaji dan tunjangan, tetapi juga aspek nonmaterial seperti pengembangan karier, pengakuan, dan keamanan jabatan. Kesejahteraan yang memadai dapat mengurangi kerentanan hakim terhadap godaan korupsi dan tekanan eksternal, sekaligus meningkatkan komitmen terhadap profesi dan etika.

Penelitian empiris oleh La Porta Dkk, menunjukkan, negara-negara dengan sistem kesejahteraan hakim yang baik cenderung memiliki sistem peradilan yang lebih bersih dan dipercaya publik.( La Porta, R, dkk, 2004).

Kesejahteraan yang memadai memungkinkan hakim untuk fokus pada tugasnya tanpa terganggu oleh masalah finansial. Sekaligus meningkatkan status sosial profesi sehingga mendorong rasa bangga dan tanggung jawab profesional.

Teori Institusional dan Integritas Sistemik

Teori institusional menekankan pentingnya struktur dan norma institusional dalam membentuk perilaku individu. Menurut teori ini, integritas hakim tidak hanya dipengaruhi oleh faktor individual tetapi juga oleh lingkungan institusional tempat mereka bekerja. (North, D. C. 1990). Institusi peradilan dengan budaya integritas yang kuat, aturan yang jelas, dan implementasi konsisten akan mendorong perilaku berintegritas dari para hakimnya.

Dalam konteks ini, baik pengawasan maupun kesejahteraan merupakan bagian dari desain institusional yang lebih luas. Pengawasan menjadi mekanisme untuk menegakkan aturan dan norma, sementara kesejahteraan menjadi insentif untuk menarik dan mempertahankan hakim berkualitas serta mendorong komitmen terhadap nilai-nilai institusional. 

Analisis Komparatif: Pengawasan Versus Kesejahteraan 

Efektivitas Pengawasan

Pengawasan memiliki kelebihan dalam membentuk akuntabilitas dan deterrence effect. Dengan adanya mekanisme pengawasan yang efektif, hakim cenderung lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan dan menghindari perilaku yang melanggar etika. Studi komparatif di berbagai negara menunjukkan bahwa transparansi dan akuntabilitas peradilan berkorelasi positif dengan persepsi publik tentang integritas hakim. (Transparency International, 2007).  

Namun, pengawasan yang berlebihan juga dapat menimbulkan efek kontraproduktif. Pengawasan ketat tanpa memperhatikan independensi yudisial dapat mengancam kebebasan hakim dalam mengambil keputusan berdasarkan hukum dan fakta. Hakim yang merasa terlalu diawasi mungkin akan cenderung mengambil keputusan yang "aman" daripada yang benar-benar adil. Lebih jauh lagi, pengawasan eksternal yang terlalu interventif berpotensi disalahgunakan sebagai alat tekanan politik terhadap kekuasaan kehakiman.

Dampak Kesejahteraan

Peningkatan kesejahteraan hakim, baik material maupun non-material, memiliki potensi untuk meningkatkan integritas melalui beberapa mekanisme. Pertama, kesejahteraan yang memadai mengurangi insentif ekonomi untuk melakukan korupsi atau menerima suap. Kedua, status sosial dan ekonomi yang baik meningkatkan rasa harga diri dan komitmen terhadap profesi. Ketiga, kesejahteraan yang mencakup pengembangan profesional berkelanjutan meningkatkan kompetensi hakim. (Di Tella, R., & Schargrodsky, E. (2003).

Meskipun demikian, peningkatan kesejahteraan semata tidak menjamin integritas jika tidak didukung oleh mekanisme seleksi yang ketat dan budaya institusional yang mendukung. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa peningkatan gaji hakim tidak selalu berkorelasi dengan penurunan korupsi di negara-negara dengan sistem checks and balances yang lemah. Ini menunjukkan bahwa kesejahteraan perlu dilihat sebagai bagian dari pendekatan holistik, bukan solusi tunggal.

Pendekatan Integratif: Teori Keseimbangan

Berdasarkan analisis di atas, muncul kebutuhan akan pendekatan integratif yang menyeimbangkan aspek pengawasan dan kesejahteraan. Teori keseimbangan (equilibrium theory) dalam konteks peradilan menyarankan bahwa integritas hakim akan optimal ketika terdapat keseimbangan antara mekanisme kontrol dan insentif positif. (Voigt, S., & El-Bialy, N. 2016).

Dalam kerangka teori keseimbangan, pengawasan dan kesejahteraan tidak dipandang sebagai dikotomi tetapi sebagai dua sisi mata uang yang sama. Pengawasan yang efektif akan memastikan akuntabilitas, sementara kesejahteraan yang memadai akan mendorong motivasi intrinsik dan komitmen profesional. Kombinasi dari keduanya menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan dan pelestarian integritas hakim.

Tyler dalam bukunya “Why people obey the law” mengembangkan teori kepatuhan (compliance theory) yang membedakan antara kepatuhan berdasarkan rasa takut terhadap sanksi (pengawasan) dan kepatuhan berdasarkan legitimasi moral (kesejahteraan dan pengembangan profesional). Tyler, T. R. (2006). Kepatuhan jangka panjang lebih mungkin terjadi ketika individu menginternalisasi nilai-nilai dan norma daripada sekadar mematuhi aturan karena takut sanksi.

Konteks Sosial dan Budaya

Penting untuk dicatat bahwa efektivitas pengawasan dan kesejahteraan dalam meningkatkan integritas hakim juga dipengaruhi oleh konteks sosial dan budaya. Di masyarakat dengan budaya kolektivis dan jarak yang tinggi antara masyarakat dengan kekuasaan, pengawasan formal mungkin kurang efektif dibandingkan dengan norma sosial dan pengawasan informal. Sementara di masyarakat dengan tingkat individualisme tinggi, insentif material mungkin memiliki pengaruh lebih kuat.

Hofstede mengidentifikasi dimensi budaya yang dapat mempengaruhi efektivitas berbagai pendekatan terhadap integritas organisasi, termasuk individualisme vs kolektivisme, jarak kekuasaan, penghindaran ketidakpastian, dan orientasi jangka panjang vs jangka pendek. (Hofstede, G., Hofstede, G. J., & Minkov, M, 2010). Dimensi-dimensi ini perlu dipertimbangkan dalam merancang sistem pengawasan dan kesejahteraan yang adaptif terhadap konteks lokal.

Kesimpulan

Berdasarkan analisis teoretis yang penulis anggap komprehensif tersebut, dapat disimpulkan bahwa baik pengawasan maupun peningkatan kesejahteraan merupakan variabel penting dalam mempengaruhi integritas hakim, namun keduanya bekerja melalui mekanisme yang berbeda dan saling melengkapi. Pengawasan berperan sebagai kontrol eksternal yang mendorong akuntabilitas dan mencegah penyimpangan, sementara kesejahteraan berperan sebagai motivator internal yang mendorong komitmen dan mengurangi kerentanan terhadap korupsi.

Pendekatan yang lebih efektif adalah integrasi antara pengawasan yang proporsional dan kesejahteraan yang memadai dalam kerangka institusional yang mendukung budaya integritas. Pengawasan tanpa kesejahteraan dapat menghasilkan kepatuhan semu dan tidak berkelanjutan, sementara kesejahteraan tanpa pengawasan dapat menciptakan peluang penyalahgunaan.

Lebih jauh lagi, efektivitas kedua pendekatan tersebut juga bergantung pada konteks sosial, ekonomi, dan budaya. Sistem pengawasan dan kesejahteraan hakim perlu dirancang dengan mempertimbangkan karakteristik lokal dan tantangan spesifik yang dihadapi oleh sistem peradilan di berbagai konteks.

Implikasi dari analisis ini adalah perlunya reformasi yudisial yang komprehensif yang tidak hanya fokus pada salah satu aspek tetapi mengintegrasikan berbagai elemen yang saling mendukung untuk menciptakan ekosistem integritas dalam lembaga peradilan. Dengan pendekatan holistik, upaya meningkatkan integritas hakim akan lebih berkelanjutan dan efektif dalam jangka panjang.