Durasi yang dibutuhkan dalam proses perubahan atau pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bukanlah isu utama. Permasalahan mendasar terletak pada konsekuensi atau dampak yang ditimbulkannya. Keberlangsungan KUHP warisan kolonial Belanda (Wetboek van Strafrecht) sebagai pondasi sistem hukum pidana nasional dipandang sebagai sebuah "penjajahan sistem hukum pidana".
Kondisi ini berimplikasi pada tergerusnya nilai-nilai luhur budaya hukum nasional yang diidealkan serta nilai-nilai yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Semakin lama sistem hukum yang berasal dari kekuasaan kolonial diberlakukan, semakin terkikis pula karakter dan jati diri bangsa yang hendak dibangun.
Oleh karena itu, proses dekolonialisasi KUHP ini tidak sesederhana permasalahan perubahan rumusan norma. Proses perubahan nilai untuk mewujudkan kualitas kehidupan masyarakat berkarakter Pancasila. Suatu sistem hukum yang mencerminkan nilai-nilai Pancasila, yaitu nilai ketuhanan/ religiusitas, kemanusiaan/humanisme, nasionalisme, demokrasi/kedaulatan rakyat, dan keadilan sosial.
Sekitar dua tahun yang lalu, tepatnya pada 6 Desember 2022, DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan pemerintah (Kementerian Hukum dan Ham saat ini Kementerian Hukum) telah menyetujui RUU (Rancangan Undang-undang) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjadi Undang-Undang (UU).
Setelah melalui beberapa tahapan kemudian RUU disahkan dengan ditandatangani oleh presiden pada 2 Januari 2023 menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang dalam penulisan ini akan disebut sebagai KUHP Nasional. Setelah KUHP Nasional disahkan, ada masa transisi selama tiga tahun sebelum KUHP Nasional berlaku yaitu tepatnya pada 2 Januari 2026.
Mendekati pemberlakuan KUHP Nasional ini, pemerintah melalui Kementerian Hukum telah gencar melakukan sosialisasi terhadap substansi di dalam KUHP Nasional kepada dan aparat penegak hukum. Khusus kepada aparat penegak hukum, pemerintah terus melakukan pelatihan atau training of trainers terkait pelaksanaan dari KUHP Nasional ini.
Perlu diketahui proses hingga disahkannya KUHP Nasional ini, berlangsung sangat lama dan memakan banyak waktu, tenaga dan pikiran para perumusnya yang sebagian besar terdiri dari akademisi (para dosen hukum pidana se-Indonesia).
Lamanya proses hingga disahkannya KUHP nasional ini tidak lepas dari beberapa faktor, namun salah satu faktor yang dominan adalah di dalam prosesnya telah terjadi dialektika panjang baik secara akademis (perdebatan ilmiah) maupun secara politis (perdebatan kepentingan). Wajar apabila kita memiliki pandangan bahwa setiap undang-undang termasuk juga KUHP Nasional ini, selain sarat akan nilai dan asas juga terdapat muatan-muatan yang mengandung unsur politis di dalam formulasi normanya. Sehingga, harus menunggu lama bagi kita masyarakat Indonesia untuk memiliki dan memberlakukan produk nasional kita sendiri (KUHP Nasional).
Namun, sebelum kita mengenal KUHP Nasional yang akan diberlakukan tahun depan (tepatnya pada 2 Januari 2026), sepatutnya kita juga perlu mengetahui sejarah perkembangannya dengan cara mempelajari riwayat berlakunya KUHP di Indonesia dari masa ke masa. Barda Nawawi Arief, seorang tokoh sentral dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia, telah merangkum periodisasi perkembangan tersebut yang akan diuraikan dalam tulisan ini.
1.Periode Proklamasi sampai Pemulihan Kedaulatan (1945-1949)
Setelah Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 tertanggal 18 Agustus 1945 menentukan, bahwa
"Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini"
Pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945 menentukan:
"Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaan dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional"
Dengan adanya Aturan Peralihan ini maka Presiden RI pada 10 Oktober 1945 mengeluarkan "Peraturan No. 2" yang isinya antara lain sebagai berikut:
“Untuk ketertiban masyarakat, bersandar atas Aturan Peralihan Undang-Undang dasar Negara R.I pasal II berhubung dengan pasal IV, kami, Presiden, menetapkan peraturan sebagai berikut:
Pasal 1
"Segala badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya negara R.I pada tanggal 17 Agustus 1945, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar masih berlaku, asal saja tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar tersebut"
Sebelum kemerdekaan, peraturan hukum pidana yang berlaku adalah warisan pemerintah Hindia Belanda, yaitu Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indië (W.v.S.v.NI.) (Staatsblad 1915 No. 732) beserta peraturan pidana di luar kodifikasi tersebut. Pada masa pendudukan Jepang, pemerintah militer juga memberlakukan Gunsei Keizirei (berlaku sejak 1 Juli 1944). Dengan demikian, pada saat kemerdekaan, terdapat dua sumber utama peraturan pidana: W.v.S.v.NI. dan Gunsei Keizirei.
Perkembangan signifikan terjadi dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Pasal 1 UU No. 1/1946 secara tegas menyatakan bahwa peraturan hukum pidana yang berlaku adalah peraturan yang ada pada 8 Maret 1942, yaitu saat dimulainya kekuasaan pemerintah balatentara Jepang di Indonesia.
Ketentuan ini memiliki fungsi ganda, yaitu membatalkan peraturan pidana yang dikeluarkan oleh Jepang setelah tanggal tersebut dan memulihkan keberlakuan peraturan pidana dari pemerintah Hindia Belanda yang berlaku hingga 8 Maret 1942.
Han Bing Siong (dalam "An outline of the recent history of Indonesian Criminal Law") menggarisbawahi fungsi penghapusan (an annulling function) terhadap peraturan pidana Jepang dan fungsi pemulihan (a restoring function) terhadap peraturan pidana Hindia Belanda yang berlaku sebelum 8 Maret 1942. Dengan UU No. 1/1946, W.v.S.v.NI dihidupkan kembali sebagai induk peraturan hukum pidana tertulis dan namanya diubah menjadi Wetboek van Strafrecht (KUHP).
Pasal V UU No. 1/1946 memberikan batasan terhadap keberlakuan peraturan pidana warisan kolonial, yaitu peraturan yang tidak dapat dijalankan, bertentangan dengan status Republik Indonesia sebagai negara merdeka, atau tidak lagi relevan, dinyatakan tidak berlaku.
UU No. 1/1946 mulai berlaku di Jawa dan Madura pada tanggal diumumkannya (26 Februari 1946) dan untuk wilayah lain ditetapkan kemudian oleh Presiden. Sumatera baru memberlakukannya pada 8 Agustus 1946 berdasarkan PP No. 8 Tahun 1946. Sementara itu, di wilayah Indonesia yang diduduki oleh N.I.C.A. (Nederlands Indies Civil Administration) atau Badan Pemerintah Sipil Hindia Belanda, W.v.S.v.NI. tetap berlaku.
2. Periode Republik Indonesia Serikat (RIS) sampai Republik Indonesia Kesatuan (1949-1950)
Dualisme keberlakuan KUHP terus berlanjut hingga masa Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan Pasal 192 Konstitusi RIS (mulai berlaku 27 Desember 1949). Republik Indonesia (dengan Ibu Kota Yogyakarta) sebagai negara bagian RIS tetap memberlakukan UU No. 1 Tahun 1946. Seiring dengan bergabungnya beberapa negara bagian dan daerah ke RI, UU No. 1/1946 diberlakukan di daerah-daerah tersebut (daerah-daerah pulihan) berdasarkan PERPU RI Tahun 1950 No. 1 jo. UU RI No. 8 Tahun 1950.
Namun, di wilayah RIS di luar RI (termasuk daerah bukan pulihan yang dikuasai Belanda), Wetboek van Strafrecht voor Indonesie beserta perubahannya oleh NICA tetap berlaku.
Situasi dualisme hukum pidana ini berakhir dengan terbentuknya Negara Republik Indonesia Kesatuan pada 17 Agustus 1950. Aturan Peralihan Pasal 142 UUDS Tahun 1950 mempertahankan keberlakuan peraturan yang ada pada tanggal 17 Agustus 1950 yang berarti mempertahankan pula peraturan-peraturan yang ada pada tanggal 27 Desember 1949 (berdasar Pasal 192 Konstitusi RIS) yaitu:
a) KUHP jo. UU No. 1/1946 bagi bekas daerah RI (Yogyakarta) dan bekas daerah-daerah pulihan; dan
b) W.v.S. voor Indonesie bagi bekas daerah-daerah bukan pulihan, yang tadinya dikuasai oleh Belanda.
Adanya dualisme dalam KUHP ini, baru diakhiri dengan dikeluarkannya UU No. 73 tahun 1958 (L.N. 1958 No. 127) tanggal 20 September 1958, yang menegaskan bahwa UU No. 1/1946 berlaku untuk seluruh Indonesia. UU No. 73/1958 ini dinyatakan mulai berlaku pada tanggal 29 September 1958.
Jadi, tugas utama UU No 73/1958 ialah untuk mempersatukan kembali beberapa macam hukum pidana materiil (mengadakan uniformitas atau menyeragamkan kembali) dengan memperlakukan UU No.1/1946 untuk seluruh Indonesia.
3. Periode Republik Indonesia Kesatuan sampai Dekrit Presiden (1950-1959)
Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945, keberlakuan UU No. 73/1958 tetap dipertahankan. Ini berarti KUHP (W.v.S.) jo. UU No. 1 Tahun 1946 terus berlaku di seluruh Indonesia.
4. Periode Dekrit Presiden sampai saat ini (1959-2025)
KUHP yang berlaku saat ini (sebelum pemberlakuan KUHP Nasional) adalah W.v.S.v.NI. (Staatsblad 1915 No. 732) yang telah mengalami perubahan berdasarkan UU No. 1 Tahun 1946 dan dikenal sebagai Wetboek van Strafrecht atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Sumber utama KUHP ini adalah Koninklijk Besluit tanggal 15 Oktober 1915 yang diundangkan dalam S. 1915 No. 732 dan mulai berlaku pada 1 Januari 1918.
W.v.S. Hindia Belanda pada 1915 merupakan adopsi (copy) dari W.v.S. Belanda yang selesai dibuat pada 1881 dan berlaku pada 1886. W.v.S. Belanda sendiri bersumber dari Code Pénal Prancis, mengingat Belanda pernah menjadi bagian dari Prancis di bawah kepemimpinan Napoleon Bonaparte.
KUHP yang berlaku saat ini tidak hanya merupakan kodifikasi tetapi juga unifikasi hukum pidana, yang berarti berlaku bagi seluruh penduduk Indonesia tanpa memandang golongan. Unifikasi ini sebenarnya telah dimulai sejak 1918 dengan pemberlakuan W.v.S.v.NI. Sebelum tahun tersebut, terdapat dualisme KUHP berdasarkan golongan penduduk:
a) Untuk golongan Eropa berlaku Wetboek van Strafrecht voor Europeanen (W.v.S.E.) (K.B. 10 Februari 1866, S. 1866 No. 55, berlaku sejak 1 Januari 1867).
b) Untuk golongan Bumiputera dan yang dipersamakan berlaku Wetboek van Strafrecht voor Inlanders en daarmede gelijkgestelden (W.v.S.Inl.) (Ordonansi 6 Mei 1872, S. 1872 No. 85, berlaku sejak Januari 1873).
Kedua KUHP ini disusun berdasarkan asas-asas hukum pidana Belanda (asas konkordansi dalam Pasal 75 ayat 1 R.R., kemudian Pasal 131 I.S.). Saat itu, Belanda sendiri belum memiliki KUHP Nasional, melainkan masih memberlakukan Code Pénal Prancis.
Setelah Belanda berhasil membuat kodifikasi hukum pidana nasional (Nederlandsch Wetboek van Strafrecht 1881), pemerintah Hindia Belanda berupaya menyesuaikan W.v.S.E. dan W.v.S.Inlanders dengan kodifikasi Belanda.
Awalnya, direncanakan kodifikasi terpisah untuk setiap golongan, namun Menteri Jajahan (Idenburg) kemudian mengusulkan unifikasi hukum. Unifikasi hukum pidana di Indonesia baru terwujud dengan diundangkannya W.v.S.v.NI. dalam S. 1915 No. 732, yang mulai berlaku pada 1 Januari 1918.
5. Menuju Periode KUHP Nasional: Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (2 Januari 2026)
Pertama kali ide terhadap pembaharuan KUHP Belanda menjadi KUHP Nasional ini dimulai sejak tahun 1963 dimana rencana ini telah dibahas di dalam Seminar Hukum Nasional ke I/1963, kemudian Simposium Pengaruh Kebudayaan/ Agama Terhadap Hukum Pidana Khusus (Denpasar, 19 Maret 1975), Seminar Hukum Nasional Ke IV/1979, Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional 1980, Seminar Hukum Nasional VI/1995 dan Seminar Pembangunan Hukum Nasional ke VIII / 2003.
Dari beberapa seminar tersebut, ide pembaharuan yang digagas yaitu harmonisasi kesepakatan nasional dan kesepakatan Internasional. Dari Seminar Pembangunan Hukum Nasional ke VIII / 2003 itulah, ajaran agama dijadikan sebagai sumber motivasi, sumber inspirasi, dan sumber evaluasi yang kreatif dalam membangun insan hukum yang berakhlak mulia, sehingga wajib dikembangkan upaya-upaya konkret dalam muatan kebijakan pembangunan hukum nasional.
Dalam konteks Internasional, Kongres PBB mensyaratkan perlu adanya harmonisasi/sinkronisasi/konsistensi pembangunan/pembaharuan hukum nasional dengan nilai-nilai atau aspirasi sosiofilosofik dan sosiokultural.
Berawal dari ide pembaharuan itu lah, pembahasan mengenai dekolonialisasi KUHP mulai masif diterapkan di berbagai kajian akademik hingga akhirnya di sahkan di dalam rapat paripurna DPR RI pada 22 Desember 2022.
Pembaruan atau penggantian KUHP warisan Hindia Belanda (Wetboek van Strafrecht) dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 membawa implikasi signifikan terhadap pergeseran dalam keseluruhan pilar sistem penegakan hukum pidana, yang meliputi legislasi/formulasi, yudikasi/aplikasi, serta edukasi/pendidikan dan ilmu hukum.
Dalam ranah legislasi atau formulasi (perumusan hukum pidana dalam peraturan perundang-undangan), produk hukum pidana yang dihasilkan secara nasional oleh bangsa Indonesia akan terlepas dari keterikatan atau orientasi pada nilai-nilai sistem hukum Belanda yang bercirikan liberal-individualistis.
Pada pilar yudikasi/yudisial, penegakan hukum pidana akan lebih berorientasi pada asas-asas hukum pidana yang termaktub dalam aturan umum KUHP sebagai kerangka normatif utama. Orientasi ini tidak lagi terbatas pada asas legalitas formal (principle of legality) semata, melainkan juga mencakup asas-asas hukum nasional lainnya yang mungkin tidak terkodifikasi secara eksplisit, seperti asas keadilan berketuhanan, asas kemanusiaan, asas demokrasi/kerakyatan, dan asas keadilan sosial.
Pilar edukasi (pendidikan/ilmu hukum) juga sangat dipengaruhi oleh hukum pidana positif yang berlaku. Ilmu hukum pidana cenderung terfokus pada studi hukum pidana positif yang berorientasi pada KUHP sebagai kerangka induknya.
Dengan disahkannya KUHP Nasional, diharapkan terjadi pengembangan ilmu hukum pidana yang lebih berakar pada budaya hukum nasional yang berlandaskan Pancasila. Nilai penting yang terkandung dalam sosialisasi rumusan norma (pasal per pasal) menuju babak baru KUHP Indonesia adalah sosialisasi tentang nilai (kerangka konseptual) yang berada dibalik norma tersebut.
Tantangan terbesar bagi masyarakat Indonesia, khususnya bagi aparat penegak hukum yang sedari awal di dalam pendidikan hukum (kampus) dan awal karir sudah dibekali dengan pemahaman KUHP Wetboek van Strafrecht Belanda yang kerangka konseptualnya sarat akan formalistik dan legalitas.
Namun, dengan menjalankan semangat reformasi KUHP Nasional yang tidak hanya dimaknai sebagai reformasi norma dan nilai sehingga secara mendalam juga harus dimaknai untuk mereformasi pola pikir para penegak hukum dari yang formalistik menjadi substantif-materiel.