Machiavelli memiliki dua buku terkenal yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris yang berjudul "The Prince" dan "Discourses" yang saling bertolak belakang, dalam buku The Prince kebanyakan berisi pragmatisme yang seolah diajarkan kepada pembaca, padahal buku ini ditulis setelah Machiavelli menganggur dan keluarga Medici naik tahta.
Machiavelli melihat peluang untuk menjadi penasihat sang Pangeran Keluarga Medici yang memiliki banyak musuh. Menurut Machiavelli, ketika sang raja meninggal atau turun tahta, maka sang pangeran adalah target empuk para pesaingnya, maka Machiavelli seolah seperti ingin menawarkan kepada penerus tahta keluarga Medici untuk mengajarkan kebijakan pragmatis bertahan hidup kepada sang pangeran yang akan mewarisi sang raja.
Menjadi konyol ketika buku ini dibaca di berbagai negara termasuk Indonesia, tanpa mengetahui konteksnya. Buku ini ditujukan untuk pangeran yang akan diserang dari dalam istana maupun luar istana yang siap menerkam.
Apabila dibaca dan ingin diterapkan oleh pejabat publik, pejabat negara dan penegak hukum dalam alam demokrasi, tentunya tidak akan relevan. Ini karena, mereka semua bekerja pada negara dan digaji dari pajak rakyat. Kursinya diamanahkan bukan karena diwariskan dari bapaknya. Mereka tidak memiliki hak mutlak untuk setiap properti negara maupun kekuasaan yang dipinjamkan oleh negara selain gajinya, karena mereka bukan pangeran atau pewaris tahta sang bapak, bukan pemegang kapital.
Sebaliknya dalam buku Discourses terlihat, Machiavelli sangat membenci sistem monarki dan mengagungkan sistem republik yang demokratis. Dia merasa yang terjamin bersikap baik, hanya raja pertama. Raja berikutnya belum tentu akan baik. Ini karena untuk berkuasa, dapat dihormati, dan memiliki banyak pengikut, harus memiliki integritas dan virtue (kebijaksanaan) yang jelas dan nyata, sehingga dapat dipercaya dan diikuti. Situasi berbeda dengan pangeran yang hanya tinggal mewarisi saja.
Dalam buku Discourses, justru Machiavelli menekankan bahwa setiap orang harus punya nilai atau lebih dikenal dengan istilah virtu civile atau kebajikan dan kebijaksanaan sipil, yang tentunya harus dilandasi idealisme yang kuat dan tidak pragmatis. Itulah sebabnya, Machiavelli memilih republik dengan maksud agar tidak ada pangeran-pangeran baru yang tidak layak berkuasa.
Sehingga akan berbahaya jika para pejabat publik, pejabat negara, dan aparat penegak hukum, dalam alam demokrasi tidak memahami secara kontekstual maksud Machiavelli dalam kedua bukunya, atau hanya mempelajari buku The Prince tanpa tahu konteksnya dan tidak membaca buku lainnya seperti Discourses. Karena mereka bukan sang pangeran dan berkuasa bukan karena mewarisi kekuasaan bapaknya, namun hanya dipinjamkan sedikit amanah untuk membuat kebijakan.
Bahkan menurut Machiavelli, untuk membuat kebijakan haruslah diiringi dengan kebijaksanaan sipil dengan integritas dan idealisme yang tinggi untuk melaksanakan tugas, serta tahu kenapa posisi mereka dibuat. Ini karena kekuasaan itu hanya pinjaman sementara. Jika mereka tidak sadar dan justru bersikap pragmatis dan sewenang-wenang, maka hanya akan mengobarkan ketidakpuasan dan memicu revolusi dari pembayar pajak. Sang raja dan sang pangeran saja dapat digulingkan jika sewenang-wenang, apalagi mereka.
Tetapi sayangnya, pemikiran Machiavelli sering disalah kaprahkan sebagai Bapak Pragmatis karena bukunya yang vulgar dan disalahkan oleh para manipulator setelah mereka berbuat kejahatan, sewenang-wenang, dan semena-mena.
"Manusia selalu siap untuk menyalahkan takdir dan hal lain atas ketidakberuntungannya, tetapi tidak pernah menyalahkan dirinya sendiri atas perbuatannya" -Marcus Aurelius
Tentu, ada beberapa pandangan salah kaprah yang umum mengenai Niccolò Machiavelli dan karyanya, terutama "The Prince," yang seringkali menutupi kompleksitas pemikirannya yang juga tercermin dalam "Discourses on Livy".
Berikut adalah beberapa kesalahpahaman yang paling umum:
1. Machiavelli sebagai Guru Kejahatan dan Amoralitas:
Salah kaprah:
Pandangan yang paling populer adalah Machiavelli mengajarkan para penguasa untuk menjadi licik, kejam, dan tidak bermoral demi mempertahankan kekuasaan. Istilah "Machiavellian" sering digunakan untuk menggambarkan orang yang manipulatif dan tidak bermoral.
Kenyataannya:
Meskipun Machiavelli memang membahas tindakan-tindakan yang dianggap tidak bermoral dalam konteks politik, tujuannya bukanlah untuk menganjurkan kejahatan demi kejahatan. Ia lebih fokus pada realitas politik pada masanya, di mana kekuasaan seringkali diperoleh dan dipertahankan melalui cara-cara yang keras.
Ia berusaha untuk memberikan analisis pragmatis tentang apa yang sebenarnya dilakukan oleh para penguasa yang sukses, terlepas dari pertimbangan moral tradisional. Dalam "Discourses," ia bahkan menunjukkan kekagumannya pada kebajikan sipil dan pentingnya moralitas publik untuk keberlangsungan republik.
2. "Tujuan Menghalalkan Cara" sebagai Prinsip Utama Machiavelli:
Salah Kaprah:
Kutipan ini sering dikaitkan dengan Machiavelli, meskipun sebenarnya tidak pernah ia tuliskan secara eksplisit. Namun, banyak orang percaya bahwa ini adalah inti dari filosofi politiknya.
Kenyataannya:
Meskipun Machiavelli menekankan bahwa seorang penguasa terkadang perlu melakukan tindakan yang secara moral dipertanyakan demi kepentingan negara (raison d'état), ini bukanlah pembenaran tanpa batas untuk segala cara. Konteks dan tujuan tindakan tetap penting dalam analisisnya.
Dalam "Discourses," ia lebih menekankan pada pentingnya hukum dan institusi yang adil, yang menunjukkan bahwa ia tidak sepenuhnya mengabaikan pertimbangan moral dan etika dalam pemerintahan republik.
3. Machiavelli Hanya Peduli pada Kekuasaan Tunggal (Monarki/Kepangeranan):
Salah Kaprah:
Karena "The Prince" fokus pada bagaimana seorang penguasa tunggal dapat memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, banyak orang mengira bahwa Machiavelli hanya mendukung bentuk pemerintahan monarki atau kepangeranan.
Kenyataannya:
"Discourses on Livy" dengan jelas menunjukkan preferensi Machiavelli terhadap bentuk pemerintahan republik. Ia mengagumi Republik Romawi dan menganalisis bagaimana institusi-institusinya memungkinkan partisipasi warga negara dan menciptakan stabilitas. Ia percaya bahwa republik, dengan keseimbangan kekuasaan dan kebebasan sipil, lebih unggul dalam jangka panjang dibandingkan kekuasaan tunggal.
4. Machiavelli Mengabaikan Etika dan Moralitas Sepenuhnya:
Salah Kaprah:
Beberapa orang menganggap Machiavelli sebagai seorang realis politik yang dingin dan tanpa pertimbangan etis sama sekali.
Kenyataannya:
Machiavelli tidak mengabaikan etika dan moralitas, tetapi ia memisahkan etika pribadi dari etika politik. Ia berpendapat bahwa seorang penguasa harus bertindak sesuai dengan kebutuhan negara, yang terkadang mungkin bertentangan dengan nilai-nilai moral individu.
Dalam "Discourses," konsep "virtù civile" menunjukkan bahwa ia sangat menghargai kualitas-kualitas moral yang mendukung kesejahteraan republik.
5. Machiavelli adalah Seorang Sinis dan Pesimis:
Salah Kaprah:
Pandangan Machiavelli adalah seorang yang sinis dan pesimis tentang sifat manusia dan politik.
Kenyataannya:
Meskipun Machiavelli memiliki pandangan yang realistis dan terkadang keras tentang sifat manusia (misalnya, ia sering menyebut manusia cenderung serakah dan tidak dapat dipercaya), ia juga memiliki keyakinan pada potensi manusia untuk mencapai kebesaran dan membangun republik yang stabil dan berjaya, seperti yang dicontohkan oleh Roma.
"Discourses" menunjukkan optimismenya terhadap kemampuan institusi dan hukum untuk mengarahkan perilaku manusia demi kebaikan bersama.
Penting untuk membaca kedua karya utama Machiavelli, "The Prince" dan "Discourses," secara bersamaan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang pemikirannya. "The Prince" seringkali dilihat sebagai panduan untuk situasi politik yang luar biasa atau pendirian negara baru, sementara "Discourses" menawarkan refleksi yang lebih mendalam tentang prinsip-prinsip pemerintahan republik yang stabil dan berkelanjutan.
Memahami konteks sejarah dan tujuan penulisan kedua karya ini juga krusial untuk menghindari interpretasi yang salah kaprah.
Oleh karena itu, aparat negara, pejabat publik, pejabat negara dan penegak hukum dalam alam republik demokrasi harus tahu bahwa kekuasaan mereka itu tidak mutlak dan hanya dipinjamkan sementara.
Mereka bukanlah sang pangeran pewaris sang bapaknya atas kekuasaan yang mereka miliki, maka harus memiliki integritas dan kebijaksanaan yang jelas dan nyata untuk bisa diikuti dan dipercaya oleh para pemberi pajak.
Tidak boleh ada kesewenang-wenangan dan semena-mena atas nama pragmatis karena kursi kekuasaan mereka dan seluruh fasilitas hanyalah pinjaman.