Menurut Zainal Abidin Farid dan Andi Hamzah, keberlakuan asas teritorial merupakan salah satu asas pokok yang dianggap sebagai asas yang paling tua karena disandingkan dengan kedaulatan sebuah negara. Bahkan, telah dikenal keberlakuannya dalam hukum adat di Sulawesi Selatan, suatu pepatah adat "dimana api menyala, di situ dipadamkan," yang berarti di mana delik dilakukan, di situ diadili berdasarkan atas adat yang berlaku di wilayah itu.
Pada Pasal 4 KUHP Nasional, disebutkan bahwa KUHP berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana di wilayah NKRI, di kapal atau di pesawat udara Indonesia, atau di bidang teknologi informasi atau tindak pidana lainnya yang akibatnya dialami atau terjadi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di kapal Indonesia dan di pesawat udara Indonesia.
Pasal tersebut menunjukkan, Indonesia sebagai negara yang berdaulat, memiliki kewenangan menegakkan hukum demi menjamin keamanan dan ketertiban di wilayahnya.
Oleh sebab itu, negara Indonesia melalui aparat penegak hukumnya dapat menjatuhkan pidana kepada seseorang yang melakukan perbuatan pidana di wilayah dan tempat sebagaimana disebutkan di atas.
Dalam penjelasan pasal tersebut yang dimaksud "wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia" adalah satu kesatuan wilayah kedaulatan di daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, dan ruang udara di atasnya, serta seluruh wilayah yang batas dan hak negara di laut teritorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen. Pengaturan tersebut, telah sejalan dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara.
Keberlakuan asas ini, berlaku bagi setiap orang tanpa memandang kewarganegaraannya, sehingga baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing, yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah negara Indonesia, maka akan diberlakukan hukum pidana Indonesia.
KUHP terdahulu pun telah mengatur terkait asas teritorial termuat dalam pasal 2 KUHP lama, yang bunyinya,"Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan suatu tindak pidana di Indonesia” lebih lanjut pada Pasal 3, ”Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia”.
Sejarahnya WvS Belanda dahulunya hanya mengatur terkait "vaartuig" (kendaraan air), namun sejak 16 Juni 1952 karena telah adanya penemuan pesawat udara, kemudian mulai dipergunakan baik dalam penerbangan militer maupun sipil, maka ada kebutuhan memasukkan juga "luchtvaartuig" (alat udara) ke dalam perluasan asas teritorial dalam Pasal 3 WvS, sehingga berbunyi "vaartuig of luchtvaartuig" (kendaraan air atau pesawat udara).
Sementara di Indonesia dari 1952 hingga 1976 belum ada tambahan, masih terbatas pada "vaartuig"(kendaraan air) saja, belum ditambahkan "pesawat udara" ke dalam Pasal 3 KUHP Indonesia. Barulah di 1976, terjadi penambahan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976 tentang Perubahan dan Penambahan Beberapa Pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-Undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap Sarana/Prasarana Penerbangan. Hal tersebut kemudian diadopsi pula oleh KUHP Nasional yang baru. Yang juga mengatur ketentuan “di kapal atau di pesawat udara Indonesia”.
Namun, terkait kapal dan pesawat udara Indonesia tetap harus memperhatikan kaidah hukum internasional yakni keberlakuan aturan tersebut hanya mengakui kapal perang, kapal dagang laut terbuka dan dalam hal dijalankan ius passagii innoxi (ketentuan yang mengatur suatu kapal yang lewat secara damai di wilayah laut suatu negara lain) sebagai wilayah nasional. Siapa saja yang melakukan tindak pidana di dalam atau diatas suatu kapal Indonesia, meskipun dalam laut wilayah negara lain, tetap dapat dituntut berdasarkan hukum pidana di Indonesia.
Tujuan dari pasal ini adalah agar tindak pidana yang terjadi di dalam kapal atau pesawat udara yang berada di perairan bebas atau berada di wilayah udara bebas, tidak termasuk wilayah teritorial suatu negara, setidaknya hukum Indonesia dapat digunakan untuk mengadili perbuatan tersebut. Namun, hal tersebut, juga tidak mengurangi kemungkinan suatu tindak pidana diadili di negara asing di mana kapal atau pesawat tersebut berada.
KUHP baru pun mencakup perkembangan baru yakni tindak pidana di bidang teknologi informasi atau tindak pidana lainnya yang akibatnya dialami atau terjadi di wilayah Indonesia. Maksud dari “tindak pidana lainnya”, antara lain tindak pidana terhadap keamanan negara atau tindak pidana yang dirumuskan dalam perjanjian internasional yang telah disahkan oleh Indonesia.
Keberlakuan KUHP Nasional pun tetap berlaku meskipun perbuatannya dilakukan di luar wilayah teritorial Indonesia, tetapi akibat perbuatan tersebut memiliki implikasi hingga ke tanah air. Pengaturan asas teritorial pada KUHP Nasional, telah mengalami perkembangan yang cukup jauh dibanding ketentuan yang termuat dalam Pasal 3 KUHP lama.