Korupsi adalah penyebab hancurnya suatu peradaban, begitulah pesan Ibnu Khaldun. Tentunya pesan dari seorang sosiolog dan sejarawan Islam dimaksud, bukanlah pernyataan tanpa makna dan riwayat sejarah yang melatarbelakanginya. Catatan historis menjelaskan banyak sekali peradaban besar di dunia runtuh dan jatuh karena tingkah laku raja, kaisar atau pemimpinnya sibuk memperkaya diri sendiri beserta kroni-kroninya.
Ambil contoh, siapa tidak mengenal kedigdayaan Kekaisaran Romawi Barat. Sekitar abad ke-5, Romawi Barat harus merelakan keperkasaannya dan runtuh karena menjamurnya budaya koruptif di kekaisaran tersebut.
Penentuan kedudukan penting dan strategis di pemerintahan Kekaisaran Romawi, dilakukan dengan menyuap atau menyerahkan upeti. Akibatnya yang mengurus kepentingan warga Romawi, adalah orang-orang tidak berkompeten dan berorientasi mengejar keuntungan dari jabatannya. Belum lagi perilaku koruptif menjalar ke institusi pertahanan, sehingga mengakibatkan pengaruh asing di luar kekaisaran mudah menyelinap masuk dan mengetahui kelemahan pertahanan.
Pada akhirnya korupsi menggerus kepercayaan warga dan selanjutnya menimbulkan instabilitas politik, yang akibatkan kekuasaan Romulus Agustulus, Kaisar Romawi Barat terakhir, digulingkan oleh seorang Panglima Jermanik.
Pelajaran sejarah saat menempuh pendidikan tingkat menengah pastinya mengenalkan Kekaisaran Tiongkok yang modern, maju dan digdaya. Kekuasaan dan pengaruhnya tidak hanya di daratan Tiongkok, tetapi menyebar luas ke sebagian besar Asia Tengah. Salah satu warisannya, Tembok Raksasa China masih menjadi bagian dari tujuh keajaiban dunia dan teregister sebagai salah satu situs warisan dunia UNESCO.
Tembok raksasa yang dibangun tiga generasi kekuasaan antara lain dinasti Qin, Han dan Ming. Puncak pembangunannya berada di Dinasti Ming, yang membangun tembok raksasa dengan panjang 8.851 kilometer.
Namun, Kekaisaran Tiongkok pernah mengalami fase kemunduran, akibat dari perilaku korupsi yang menggerogoti pemerintahan. Pada 907 Masehi, Dinasti Tang harus mengakhiri kekuasaannya karena menjamurnya korupsi di lingkungan pejabat pemerintahan, yang mengakibatkan pudarnya kepercayaan publik dan tentara. Ketidakpercayaan tersebut menimbulkan pemberontakan dan pengakhiran kekuasaan Dinasti Tang.
Korupsi juga menjadi pengakhir era Kekaisaran Tiongkok dan menciptakan negara China yang merdeka dan berdaulat hingga saat ini. Akhir pemerintahan Dinasti Qing yang koruptif, menimbulkan revolusi Xinhai dan terwujudnya proklamasi Kemerdekaan Republik Tiongkok (China) pada 1 Januari 1912.
Mega korupsi yang dikenal era Dinasti Qing adalah penyelewengan anggaran pemerintahan yang seharusnya ditujukan membangun armada laut Tiongkok, namun diperuntukan untuk membangun hiasan kapal marmer di kediaman kaisar. Belum lagi diperparah dengan pejabat Tiongkok yang dapat disuap, agar candu (narkotika) dapat diselendupkan pedagang Inggris ke masyarakat Tiongkok. Padahal Dinasti Qing lagi berusaha keras memerangi ketergantungan candu di masyarakatnya.
Sejarah kolonialisme Hindia Belanda (Indonesia dahulu kala) juga mencatatkan tindakan penyelewengan jabatan dan perilaku koruptif yang meruntuhkan kekuasaan salah satu kongsi dagang terbesar di dunia, Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC).
Kongsi dagang Kerajaan Belanda yang digdaya dan menguasai transaksi bisnis di Asia tersebut, akhirnya mengalami kebangkrutan dan dinyatakan ditutup pda 31 Desember 1799, akibat kebiasaan pejabat VOC yang mendapatkan gratifikasi saat pergantian jabatan.
Ada juga pegawai VOC yang melakukan perdagangan ilegal dan tidak menyetorkan keuntungan perdagangan ke kas negara. Bahkan salah satu tokoh teras VOC, bernama Van Hoorn memiliki kekayaan 10 juta gulden saat menyelesaikan tugasnya dan kembali ke negeri kincir angin tersebut. Sedangkan pendapatan yang diterimanya hanya 700 gulden/bulan. Kebiasaan korupsi di VOC sudah menggurita, dari staf sampai pejabatnya korup.
Keruntuhan rezim Orde Baru yang kuat dan telah memerintah selama 32 (tiga puluh dua) tahun di Indonesia, juga dapat menjadi contoh perilaku koruptif menjatuhkan tatanan pemerintahan. Bahkan Presiden Soeharto pernah didakwakan melakukan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan yayasan, walaupun akhirnya Kejaksaan Agung mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) untuk perkara pidana Soeharto dan dinyatakan ditutup demi hukum.
Demikianlah sejarah runtuhnya peradaban akibat tindakan koruptif para pemangku jabatan publik. Semoga para hakim dan aparatur pengadilan dapat mengambil hikmah dari tulisan ini dan semoga menjaga amanah yang diberikan negara untuk menegakan hukum dan keadilan, dengan menjauhi tindakan koruptif dalam melaksanakan tugasnya, sehingga tidak berkontribusi dalam runtuhnya tatanan pemerintahan.