Saya itu penggila Jumat, karena, bagi saya pada hari itu ada energi bahagia yang lebih di banding hari-hari lainnya.
Namun, Jumat pagi ini, nuansa itu berbeda. Pasalnya, ketika saya baru saja menjejakkan kaki di kantor, datang sebuah perintah mendadak: Saya diminta meliput kegiatan pimpinan Mahkamah Agung. Sebenarnya saya senang mendapat tugas ini, namun, ada satu hal yang membuatnya beda.
Lalu, sesampainya di ruangan, setelah sedikit melakukan persiapan, saya segera meluncur ke lokasi acara. Tetapi sesampainya di sana, suasana terasa janggal-hening dan sepi. Seorang petugas protokol memberi tahu bahwa acara sudah dimulai.
Sedikit panik karena telat, saya mencari pintu masuk. Pelan-pelan saya buka salah satu pintu ruang rapat. Dan… ternyata ruangan sudah penuh. Ratusan hakim duduk rapi, mata mereka tertuju lurus ke depan. Sang Ketua Mahkamah Agung tengah berbicara.
Saya buru-buru menutup pintu. Tidak jadi masuk. Khawatir mengganggu.
Saya menyusuri lorong, berharap menemukan jalan masuk lain. Alhamdulillah, saya berhasil masuk dari sisi lain, dan menemukan tempat duduk di sudut ruangan.
Begitu saya duduk, jantung saya mulai berdebar. Suasana ruangan sangat hening. Tegang. Semua mata tertuju pada satu titik: Beliau, sang ketua.
Mendengar Beliau bicara adalah hal biasa, apalagi buat saya yang hampir setiap kegiatannya selalu saya liput. Namun, kali ini berbeda. Perbedaan ini yang membuat nuanasa Jumat saya menjadi berbeda.
Nada suaranya tinggi. Tegas. Tidak seperti biasanya. Ini adalah pertama kalinya saya melihat Beliau marah. Sosok yang selama ini saya kenal selalu tenang, santun, dan ramah. Bahkan, pada beberapa kesempatan saat kami berpapasan, sering kali Beliau menyapa lebih dulu, khas dengan senyumnya dan kerendahhatiannya. Beliau tidak malu menyapa, meski Beliau adalah orang nomor satu di institusi ini.
Semakin lama saya ada di kegiatan tersebut, saya menyimpulkan marahnya hari ini bukan marah biasa. Marahnya adalah marah yang lahir dari kepedulian, dari kekecewaan, dari kelelahan melihat luka yang terus saja terbuka: penangkapan demi penangkapan aparat peradilan.
Saya tahu, bagaimana Beliau berjuang memulihkan kepercayaan publik. Inovasi demi inovasi ia dorong. Pembinaan dilakukan berkala tanpa lelah. Pengawasan diperketat. Tetapi tetap saja, masih ada oknum yang berani melakukan hal-hal tercela.
“Ingat mati. Kullu nafsin dzā’iqul maut. Memangnya tidak akan mati, sehingga tak takut berbuat nista?” serunya dengan suara tinggi dan penuh kecewa.
“Hakim memang bukan malaikat, tapi bukan berarti memilih menjadi setan!”
Saya melihat ke sekeliling, semua terdiam. Tak ada yang berani menatap. Semua tertunduk, seperti anak yang sedang dimarahi ayah. Ayah yang sayang pada anaknya.
“Kalau bukan karena keserakahan, lalu karena apa semua ini terjadi? Hentikan semua bentuk pelayanan transaksional. Sekarang juga! Jika masih ada yang melakukannya, laporkan. Saya tidak main-main. Saya tidak akan mentolerir sedikit pun. Bagi hakim yang tak sanggup menjaga integritas, silakan mundur. Daripada menodai perjuangan ini,” tegasnya.
Air mata saya hampir menitik. Tidak kuat mendengar Beliau semarah dan sekecewa ini dengan keadaan yang belakangan ini merusak nama instansi.
Saya terdiam. Semua terdiam. Tetapi dalam diam itu, saya tahu, banyak hati yang terguncang. Karena di balik amarahnya, kami melihat ketulusan. Ketegasan yang lahir bukan dari ego, melainkan dari cinta: cinta kepada lembaga ini, kepada aparaturnya, kepada bangsa ini, kepada keadilan itu sendiri.
Jumat ini hati saya penuh. Penuh dengan rasa hormat, haru, dan doa.
Tak henti hati meluncurkan doa untuknya, pemimpin kami-yang tidak hanya pantas ditaati, tetapi layak dicintai.
Semoga Allah Yang Maha Pengasih selalu menjaganya. Meneguhkan langkah dan komitmennya. Karena kami, karena Indonesia, butuh pemimpin seperti Beliau.