Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2009, Hari Batik Nasional diperingati setiap tanggal 2 Oktober untuk merayakan pengakuan batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity) pada 2 Oktober 2009 oleh UNESCO.
Batik, sebagai seni tradisional yang kaya akan nilai filosofi dan sejarah, merupakan simbol identitas bangsa Indonesia yang diakui dunia.
Peringatan Hari Barik Nasional tidak hanya bertujuan untuk melestarikan batik sebagai warisan budaya, tetapi juga untuk mendorong masyarakat lebih mencintai dan mengenakan batik dalam kehidupan sehari-hari.
Beragam kegiatan, seperti pameran, lomba, dan acara budaya digelar di seluruh negeri, mengajak semua kalangan untuk menjaga keberlanjutan tradisi batik. Hari Batik Nasional juga menjadi momentum bagi industri batik untuk terus berkembang dan berinovasi dalam memperkenalkan kekayaan.
Seiring berjalannya waktu, penggunaan batik tidak lagi dipandang sebagai pakaian adat semata di waktu dan tempat tertentu, namun juga sebagai seragam kerja di berbagai sektor pemerintahan, BUMN, dan Swasta. Batik telah menjadi ikon yang tak terpisahkan dari citra lembaga.
Sebagai contoh menarik, instansi pemerintahan pada Kementerian/Lembaga Negara telah menggunakan pakaian batik KORPRI sejak tahun 90-an yang digunakan oleh ASN dalam kegiatan Pelantikan, Upacara Peringatan, HUT Kemerdekaan, dan hari-hari besar peringatan hari lainnya.
Lambang Korpri terdiri dari tiga unsur utama, yaitu pohon, rumah (berbentuk balairung), dan dua sayap. Pohon dengan 17 ranting, 8 dahan, dan 45 daun.
Mahkamah Agung sebagai Lembaga Tinggi Negara memiliki peran sebagai Lembaga yang tidak hanya menggunakan KORPRI bagi Aparatur Peradilan dalam beberapa kegiatan, juga mengimplementasikan dalam kegiatan pekerjaan sebagaimana Keputusan Sekretaris Mahkamah Agung Nomor 117/SEK/SK.HK1.2.5/I/2025 tentang perubahan atas Keputusan Sekretaris Mahkamah Agung Nomor 588/SEK/SK/VI/2021 pedoman pelaksanaan pakaian dinas bagi ASN di Lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang berada dibawahnya telah mempedomani bahwa Bagi Hakim dan Pegawai menggunakan seragam batik Mahkamah Agung (PDSBMA) pada hari Kamis, dan batik/tenun/lurik atau pakaian khas daerah pada hari Jumat.
Penggunaan batik sebagai seragam kerja memberikan dampak positif yang besar pada lingkungan kerja, hal tersebut telah dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung Prof. Dr. H. Sunarto, S. H., M. H., dan Sekretaris Mahkamah Agung Sugiyanto, S. H., M. H., dengan meluncurkan Pakaian Dinas Seragam Batik Mahkamah Agung (PDSBMA) pada HUT Mahkamah Agung ke-80 pada Selasa (19/8/2025).
PDSBMA telah memiliki hak paten dengan desain batik khas memiliki makna filosofis motif batik seperti, lambang cakra dan logo Mahkamah Agung, timbangan sebagai indikator keadilan yang berjumlah 4 berarti empat lingkungan peradilan Warna emas bermakna kesempurnaan dan keluhuran Ilahi, hijau botol dan tosca dimaknai kedamaian, ketenangan, keseimbangan, dan kestabilan, warna hitam melambangkan kewibawaan, kebijaksanaan, keberanian, dan disiplin.
Warna bukan hanya sekadar elemen visual, melainkan memiliki kekuatan untuk memengaruhi perasaan dan perilaku secara mendalam menggambarkan integritas, pelayanan yang berkeadilan, dan kedudukan yang sama dalam hukum terhadap masyarakat. Hal ini secara psikologis membangun kesadaran kolektif akan tujuan dan tanggung jawab bersama.
Di sinilah peran Mahkamah Agung memiliki filosofi motif batik seragam sebagai elemen komunikasi visual yang kuat. Kebijakan ini sekaligus menguatkan citra Lembaga yang tidak hanya profesional, tetapi juga turut bangga dengan kearifan lokal Indonesia.