Pengantar: Transformasi Karakter dan Pilihan Epik
Dalam buku The Lucifer Effect: Understanding How Good People Turn Evil, Philip Zimbardo mengajukan pertanyaan mendasar: bagaimana orang baik dapat berubah menjadi jahat, atau, dalam konteks penegakan hukum, bagaimana seorang Aparat Penegak Hukum hingga Hakim dapat menyimpang dari jalannya? Analisis Zimbardo menunjukkan bahwa batas antara "malaikat" dan "iblis" bersifat tembus pandang dan kabur, dan transformasi karakter—baik menuju kebaikan maupun kejahatan—dapat terjadi. Bagi seorang Penegak Hukum termasuk Hakim, yang memegang amanah luhur dalam mencari keadilan, keberanian bukan sekadar sifat, melainkan suatu keharusan untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, sebagaimana yang dimaksud dalam buku ini.
I. Teori Tiga Kekuatan: Ujian Sistem dan Situasi
Zimbardo menjelaskan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh tiga tingkat: Disposisi individu (sifat), Situasi langsung, dan Sistem yang menciptakan kondisi situasional. Keberanian Hakim adalah keberanian untuk mengakui dan melawan dua kekuatan terakhir. Ringkasan buku menegaskan bahwa Sistem buruk menciptakan situasi buruk, dan Situasi buruk dapat mengubah orang baik yang tidak berkarakter kuat menjadi pelaku kejahatan. Ketika seorang memilih kenyamanan situasional atau tekanan sistem, hal tersebut dapat merefleksikan kegagalan melawan penyimpangan sistemik.
II. Sisi Gelap Situasi: Kekuasaan Tanpa Pengawasan dan Ego
Kebutuhan dasar Hakim sebagai manusia haruslah terpenuhi dan terjamin oleh Negara, akan tetapi jika gagal mengendalikan diri dan memanfaatkan kekuasaan karena alasan situasional, maka hal tersebut mengindikasikan penyimpangan dari perilaku ideal yang dituntut oleh profesi. Setiap orang dapat beranggapan dirinya ideal untuk berkuasa, namun kenyataannya ditentukan oleh pilihan ketika dihadapkan pada situasi, sangat didukung oleh temuan eksperimen dalam buku ini.
Kepentingan Pribadi di Balik Situasi
Individu yang gagal dalam ujian situasi adalah mereka yang memanfaatkan seragam dan peran institusional mereka sebagai tameng untuk memuaskan kepentingan pribadi.
Deindividuasi dan Ego: Kekuatan situasional dapat menyebabkan deindividuasi (hilangnya identitas pribadi dan rasa tanggung jawab), membuat Penegak Hukum termasuk Hakim merasa bahwa tindakannya adalah cerminan dari peran, bukan karakter pribadinya. Mereka yang mendahulukan kepentingan pribadi (Cupiditas) berpotensi memanfaatkan anonimitas dan kekuasaan seragam ini.
Mereka yang menyimpang akan menggunakan kekuasaan untuk mengejar kepentingan finansial, kekuasaan semu, atau kebutuhan pribadi, alih-alih melayani keadilan, dengan dalih "kebutuhan sistem" atau "kondisi situasional".
Contoh dari Buku (SPE & Abu Ghraib): Dalam Eksperimen Penjara Stanford (SPE) dan kekejaman Abu Ghraib, para pelaku (penjaga penjara atau tentara) bukanlah individu yang secara disposisional jahat, tetapi mereka adalah orang biasa yang diberi otoritas situasional dan kurangnya akuntabilitas. Mereka menyalahgunakan seragam mereka untuk melakukan penyiksaan dan pelecehan. Mereka membenarkan kekejaman mereka dengan alasan "kepatuhan pada peran," padahal analisis menunjukkan tindakan itu didorong oleh hasrat pribadi untuk memuaskan rasa superioritas yang didapatkan dari seragam tersebut.
A. Kekuasaan dan Degradasi Moral
Temuan kunci dari Eksperimen Penjara Stanford (SPE) yang disorot dalam ringkasan adalah:
Kekuasaan tanpa batasan dan pengawasan, mendorong kesewenang-wenangan.
Untuk itu, Aparat Penegak Hukum hingga Hakim, harus selalu menyadari tujuan dan batasan dari adanya Profesi mereka.
Peran sosial memengaruhi perilaku lebih kuat daripada sifat pribadi. Lingkungan yang buruk, orang disekitar yang permisif dan menganggap penyimpangan adalah hal biasa, dapat mempengaruhi mereka yang tidak memiliki karakter kuat, sehingga bagaikan keranjang busuk yang apabila dimasukkan apel segar, tanpa nutrisi dan perlindungan yang baik apel tersebut dapat cepat ikut membusuk.
Bagi seorang pemegang kuasa, kekuasaan yang tidak diawasi adalah katalisator yang sempurna untuk kepentingan pribadi.
Seorang yang menyimpang cenderung menggunakan kekuasaan, jabatan, dan otoritasnya sebagai tameng untuk memuaskan kepentingan pribadi yang tak pernah terpuaskan, alih-alih melayani.
B. Mekanisme Kejahatan Situasional
Dalam buku ini, penyimpangan moral sering dipercepat oleh mekanisme yang disorot dalam psikologi sosial (termasuk kasus Abu Ghraib dan eksperimen Milgram/Asch), seperti:
a.) Deindividuasi: Kurangnya karakter, orisinalitas kepribadian, pemahaman Individu dan komitmen Integritas pada kebaikan moralitas, yang dapat menyebabkan hilangnya tanggung jawab pribadi karena berlindung di balik peran atau seragam.
b.) Ketaatan dan Konformitas pada Kekuatan Situasional: Individu yang lemah ketika dihadapkan pada situasi yang buruk dan tidak seharusnya, memiliki kecenderungan memilih untuk patuh pada sistem yang korup atau tekanan kelompok daripada moralitas. Kekuatan lingkungan dan konteks tertentu dapat mempengaruhi perilaku. Kekuatan ini sangat menonjol dalam situasi baru di mana pedoman lama tidak berlaku, membuat variabel kepribadian kurang dapat memprediksi tindakan, seperti dalam eksperimen SPE, mahasiswa yang tidak terlatih dan faham terhadap tanggung jawab mereka, terhanyut dalam permainan peran karena lingkungan yang tidak baik.
c.) Dehumanisasi oleh Kekuatan terstruktur sistem: Kekuatan hirarkis, politik, kebutuhan ekonomi, historis, atau budaya lingkungan yang menciptakan dan melegitimasi situasi itu sendiri. Inilah "pembuat barel" yang merancang "barel yang buruk," dan menciptakan "apel-apel busuk". Seperti sikap permisif terhadap penyimpangan yang dianggap biasa, tekanan atau intervensi dalam bentuk lainnya.
Kecenderungan untuk memilih kejahatan karena alasan situasional dapat dilihat sebagai kegagalan melawan tekanan situasional dan terstruktur.
III. Sisi Terang Situasi: Resolusi Kepahlawanan dan Empati
The Lucifer Effect tidak berhenti pada kegelapan, melainkan menekankan bahwa manusia harus berani menjadi Pahlawan dan tidak menjadi pengecut yang kemudian jadi jahat. Seorang Hakim harus menjadi Pahlawan Situasional sebagaimana yang dimaksud dalam buku ini, yang melawan arus situasi yang membusuk demi kebaikan yang lebih tinggi, yakni tujuan dari profesinya sendiri:
Pahlawan menurut buku ini harus memiliki tiga atribut penting:
Menolak Otoritas yang Tidak Etis: Berani menentang instruksi atau budaya sistem kerja dan pergaulan yang secara moral salah. Berani menolak tekanan kelompok dan Intervensi dalam institusi untuk mengambil keputusan yang tidak bermoral, salah atau tidak adil.
Menyadari Bias dan Tekanan Sosial: Memiliki mindsight (kesadaran moral dan tanggung jawab) untuk memastikan keadilan tidak dikalahkan oleh kepentingan pribadi atau politik.
Menjaga Empati: Ini adalah pertahanan utama melawan dehumanisasi, memungkinkan Hakim melihat hukum dengan mata yang jujur, juga sebagai persoalan manusia, dengan memahami tujuan, batasan diri dan tanggungjawab sebagai manusia dan penegak hukum.
Keberanian ini adalah untuk berani bertindak saat orang lain diam, mencontoh Pahlawan yang dimaksud Zimbardo dalam eksperimen ini seperti Christina Maslach yang menantang seluruh Eksperimen Stanford karena keyakinan moralnya.
IV. Penutup: Pilihan Pahlawan di Pusat Hati Manusia
Peran Hakim menuntut pilihan epik yang berkelanjutan: antara kepengecutan yang diubah menjadi kejahatan situasional, atau resolusi kepahlawanan. Zimbardo menyimpulkan bahwa sama seperti kejahatan dapat menjadi biasa, heroisme juga bisa menjadi kebiasaan jika dilatih. Hakim yang berani harus terus-menerus melatih keberanian moralnya saat dihadapkan pada situasi dan pilihan sulit untuk bertanggung jawab atas tujuan hukum dan profesi nya.
Inilah pesan perpisahan yang harus dipegang teguh oleh setiap Hakim, sebagaimana Zimbardo menutup bukunya:
"Pesan perpisahan yang mungkin kita petik dari perjalanan panjang kita ke jantung kegelapan dan kembali lagi adalah bahwa tindakan kepahlawanan dan orang-orang yang terlibat di dalamnya harus dirayakan. Mereka membentuk mata rantai penting di antara kita; mereka menempa Koneksi Kemanusiaan kita. Kejahatan yang terus-menerus ada di tengah-tengah kita harus dilawan, dan pada akhirnya diatasi, oleh kebaikan yang lebih besar di hati kolektif dan resolusi kepahlawanan pribadi setiap Pria dan Wanita Biasa."
Zimbardo, menggambarkan bahwa setiap Manusia pada akhirnya akan dihadapkan oleh situasi dan pilihan, yang membuat mereka memilih, yaitu antara penyimpangan moral dan resolusi kepahlawanan; Keberanian Hakim adalah wujud dari resolusi kepahlawanan pribadi ini, karena, sebagaimana diingatkan oleh Aleksandr Solzhenitsyn: "Garis antara kebaikan dan kejahatan terletak di pusat setiap hati manusia". Hakim harus memastikan garis di hatinya selalu memihak keadilan, bukan pada ego dan kepentingan situasional.
Dalam ranah keadilan, hakim dan aparat penegak hukum memegang amanah yang sangat luhur. Mereka adalah tiang penopang keseimbangan moral, penjaga harmoni, dan pelindung hubungan antarmanusia dari segala bentuk kejahatan. Profesi mereka bukan sekadar pekerjaan, melainkan sebuah panggilan suci untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Oleh karena itu, moralitas yang baik dan teguh menjadi mahkota yang tak terpisahkan dari peran mereka. Ketika mereka berpegang teguh pada prinsip ini, keadilan akan bersinar terang, membawa kedamaian dan kepercayaan bagi seluruh masyarakat.
Sumber Referensi:
Zimbardo, Philip. The Lucifer Effect: Understanding How Good People Turn Evil. Random House, 2007





