Praperadilan hadir sebagai mekanisme penting untuk mengawasi aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, hingga hakim agar tidak sewenang-wenang dalam menggunakan kewenangannya.
Lembaga ini lahir dari tuntutan perlindungan hak asasi manusia, terutama bagi mereka yang tersangkut perkara pidana.
Kewenangan pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus praperadilan diatur dalam Pasal 1 angka 10 KUHAP dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014.
Dengan begitu, praperadilan berfungsi sebagai pengendali atas tindakan penyidik dan penuntut umum, khususnya terkait penetapan tersangka, penahanan, dan penyitaan.
Penetapan seseorang sebagai tersangka tidak boleh berhenti pada sekadar formalitas hukum. KUHAP memang mensyaratkan adanya bukti permulaan yang cukup minimal dua alat bukti yang sah sebagaimana diatur Pasal 184 KUHAP, namun penerapannya harus dijalankan dalam kerangka keadilan prosedural agar tidak berubah menjadi tindakan sewenang-wenang.
Kewenangan penyidik dalam menetapkan tersangka, sesuai asas diferensiasi fungsional, tetap memerlukan pengawasan agar tidak disalahgunakan. Dalam kerangka diferensiasi fungsional ini, praperadilan hadir sebagai mekanisme kontrol dengan menilai legalitas prosedural penetapan tersangka, terutama terkait terpenuhinya syarat dua alat bukti yang sah.
Persoalannya, tafsir hakim praperadilan terhadap syarat “dua alat bukti yang sah” kerap berbeda. Ada yang menekankan aspek kuantitas, namun “hanya” berperan sebatas menghitung jumlah minimal bukti, sementara yang lain menilai juga kualitasnya seperti pada Putusan Nomor 2/Pid.Pra/2024/PN Jakarta Selatan yang melibatkan Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej, hakim menetapkan bahwa penetapan tersangka tidak sah karena tidak memenuhi syarat minimal dua alat bukti yang sah meskipun secara kuantitas alat bukti yang dihadirkan melebihi jumlah minimum yang disyaratkan.
Hakim menilai sejumlah bukti dinilai cacat prosedur, antara lain berita acara keterangan yang bersumber dari surat perintah penyelidikan, bukan penyidikan; keterangan saksi yang dibuat setelah penetapan tersangka; serta berita acara penyitaan dokumen yang tidak sah dijadikan dasar.
Pertimbangan ini menegaskan bahwa kuantitas alat bukti di praperadilan tidak cukup berhenti pada sekedar terpenuhinya minimum alat bukti, tetapi harus memastikan bukti yang digunakan sah secara formil, meski tanpa menyentuh materi pokok perkara.
Perbedaan Kualitas Alat Bukti di Praperadilan dan Subtansi Perkara
Perbedaan kualitas alat bukti di praperadilan dan substansi perkara pada dasarnya mencerminkan perbedaan fungsi kedua forum hukum tersebut. Penulis membagi aspek perbedaan penilaian kualitas alat bukti di praperadilan dengan subtansi perkara di pemeriksaan pokok perkara di persidangan:
- Aspek sifat dan fungsi: Praperadilan menilai terkait formal prosedural yang hanya menilai sah atau tidaknya alat bukti tersebut sesuai dengan ketentuan hukum acara, menentukan dasar legalitas penetapan tersangka dan proses penyidikan. Sedangkan dalam pokok perkara hakim menilai materiil-subtantif yang menekankan pada relevansi, keaslian, kredibilitas, dan kekuatan pembuktian dari alat bukti yang dihadirkan. Serta mempertimbangkan dasar pembuktian dakwaan hingga melampaui keraguan wajar (beyond reasonable doubt);
- Aspek kedalaman penilaian kualitas: Praperadilan terbatas pada jumlah minimal dua alat bukti sah tanpa menulai bobot pembuktian. Sedangkan dalam pokok perkara menilai secara menyeluruh, menilai kekuatan pembuktian secara komprehensif terhadap dakwaan;
- Aspek orientasi tujuan: Praperadilan memastikan tercapainya kepastian prosedural dan legalitas formal. Sedangkan dalam persidangan pokok perkara memastikan terpenuhinya kebenaran materiil dan keadilan substantif
- Aspek dasar hukum: Praperadilan diatur dalam Perma No. 4 Tahun 2016 Pasal 2 ayat (2): minimal dua alat bukti sah dan tidak memasuki materi. Sedangkan persidangan pokok perkara diatur pada Pasal 183 KUHAP: hakim menilai sekurang-kurangnya dua alat bukti + keyakinan hakim.
- Aspek prosedur mengukur kualitas alat bukti: Praperadilan cukup memeriksa eksistensi dan legalitas alat bukti seperti: (1) Memeriksa keberadaan alat bukti (apakah jumlahnya cukup dua atau lebih), (2) Mengecek legalitas formil, misalnya apakah alat bukti diperoleh sesuai prosedur hukum, bukan dengan cara melawan hukum, dan (3) Tidak masuk pada isi, relevansi, maupun kekuatan pembuktian. Sedangkan dalam persidangan pokok perkara hakim dan/atau majelis hakim menguji materiil dan subtansial dengan cara: (1) Menilai relevansi alat bukti dengan dakwaan, (2) Memeriksa keaslian, konsistensi, dan kredibilitas alat bukti serta saksi, (3) Menguji kekuatan pembuktian hingga melampaui keraguan yang wajar (beyond reasonable doubt), dan (3) Mengaitkan antar- alat bukti untuk melihat konsistensi fakta yang terbentuk;
Kriteria kualitas alat bukti memiliki perbedaan mendasar karena pada lembaga praperadilan hanya terbatas pada aspek formal, yakni terpenuhinya jumlah minimal dua alat bukti sah, diperolehnya bukti tersebut sesuai prosedur hukum, serta tidak diperoleh dengan cara yang nyata-nyata melawan hukum.
Sebaliknya, dalam substansi perkara kriteria kualitas alat bukti bersifat lebih ketat dan mendalam, meliputi relevansi dengan dakwaan, keaslian dan otentisitas bukti, konsistensi antar-alat bukti, serta kredibilitas saksi atau dokumen, sehingga mampu memberikan dasar pembuktian yang menyeluruh untuk menegakkan kebenaran materiil.
Apa yang sesungguhnya dikehendaki perundang-undangan bagi hakim praperadilan dalam menilai kuantitas dan kualitas alat bukti?
Penilaian kuantitas dan kualitas alat bukti diatur dalam beberapa aturan hukum yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 dan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan bahwa sah tidaknya penetapan tersangka hanya menilai aspek formil, yaitu apakah ada paling sedikit 2 (dua) alat bukti yang sah dan tidak memasuki materi perkara.
Penilaian kualitas alat bukti dalam praperadilan yang dikehendaki Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 masih belum terwujud karena adanya kelemahan mendasar dalam KUHAP, yakni tidak adanya sistem check and balance sebagaimana dituangkan dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi halaman 102 huruf g yang menyatakan bahwa:
“KUHAP tidak memiliki Check and balance system atas tindakan tersangka oleh penyidik karena KUHAP tidak mengenal mekanisme pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti dan tidak menerapkan prinsip pengecualian (exclusionary) atas alat bukti yang diperoleh secara tidak sah seperti di Amerika Serikat…………………………….”
Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya juga memberikan contoh kasus Dominique Strauss-Kahn di New York tahun 2011 yang menegaskan pentingnya penilaian bukan hanya pada kuantitas, tetapi juga kualitas alat bukti.
Perkara tersebut akhirnya dibatalkan karena muncul keraguan serius terhadap kredibilitas saksi korban, yang berimplikasi langsung pada validitas alat bukti.
Hal ini menunjukkan bahwa penilaian kualitas menjadi faktor esensial dalam menjaga fairness peradilan pidana, sementara penilaian kuantitas semata tidak cukup.
Jika Indonesia tidak memiliki mekanisme pengujian serupa dalam praperadilan, maka meskipun syarat minimal dua alat bukti telah terpenuhi, tetap ada potensi besar terjadinya pelanggaran hak tersangka akibat kualitas alat bukti yang tidak diuji secara substansial.
Mahkamah juga mengutip pandangan Paul Roberts dan Adrian Zuckerman mengenai tiga alasan fundamental perlunya mekanisme pengujian keabsahan perolehan alat bukti.
Pertama, untuk melindungi hak tersangka dari tindakan aparat yang melanggar hukum (rights protection by the state). Kedua, untuk mencegah aparat penegak hukum mengulangi pelanggaran hukum dalam mencari alat bukti (deterrence). Ketiga, untuk menjaga legitimasi putusan peradilan di mata masyarakat (the legitimacy of the verdict).
Dengan demikian, Mahkamah menegaskan Hukum Acara Pidana Indonesia belum sepenuhnya menerapkan prinsip due process of law karena aparat penegak hukum masih dapat mengajukan alat bukti tanpa diuji keabsahannya, dan pengadilan belum diberikan kewenangan penuh untuk mengecualikan bukti yang diperoleh secara tidak sah.
Penutup
Sebagai penutup, penting untuk diketahui bahwa penilaian minimum dua alat bukti yang sah tidak hanya berhenti pada sekedar menghitung jumlah alat bukti yang diajukan.
Sebab, praperadilan berfungsi sebagai mekanisme kontrol prosedural yang menilai kuantitas dan kualitas formal alat bukti untuk memastikan legalitas tindakan penyidik tanpa mencampuri kewenangan penuntut umum maupun hakim dalam menilai substansi perkara.
Namun, praktiknya masih didominasi syarat formil dua alat bukti yang sah, sementara pengujian kualitatif sebagaimana dikehendaki peraturan perundang-undangan yang ditafsirkan melalui Mahkamah Konstitusi belum sepenuhnya berjalan.
Karena itu, pembaruan KUHAP perlu secara tegas mengatur mekanisme penilaian kualitas alat bukti, termasuk penerapan prinsip exclusionary rule terhadap bukti yang diperoleh secara tidak sah. Dengan penguatan ini, praperadilan tidak lagi sekadar forum prosedural, melainkan instrumen efektif untuk melindungi hak tersangka, mencegah penyalahgunaan kewenangan aparat, dan memperkuat prinsip due process of law dalam sistem peradilan pidana Indonesia.
Referensi:
[1] Di. A. Ramadhani and R. A. Fikri, “The Role and Function Of Pretrial In Criminal Law Enforcement,” Int. J. Law Soc., vol. 1, no. 2, pp. 123–133, 2024, doi: 10.62951/ijls.v1i2.30.
[2] F. E. Prasnada, Sunardi, and M. Muhibbin, “Status Of Pretrail Institutions In Indonesian Criminal Law,” Int. J. Law, Environ. Nat. Resour., vol. 3, no. 1, pp. 96–106, 2023.
[3] L. Sulastri, Buku Ajar: Hukum Acara Pidana. Yogyakarta: Jejak Pustaka, 2024.
[4] L. T. B. Sekti, M. Junaidi, and Z. Arifin, “Implikasi Praperadilan Terhadap Pelaksanaan Kewenangan Penyidik Kepolisian Dalam Sistem Peradilan Pidana,” J. Jurid., vol. 2, no. 2, pp. 133–145, 2024.
[5] N. Rohmat, Sistem Peradilan Pidana. Yogyakarta: Penerbit K-Media, 2024.
[6] E. O. S. Hiariej, Hukum Acara Pidana. Tanggerang: Penerbit Universitas Terbuka, 2017.
[7] Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014, Pengujian Materil Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap UUD 1945. 2014.
[8] Putusan Nomor 2/Pid.Pra/2024/PN Jkt. Sel, “Kasus Permohonan Praperadilan Prof. Dr. Edward Omar Sharif Hiariej,” 2024.