KUHP Nasional akan segera berlaku pada Januari 2026. Begitupun dengan RUU KUHAP telah disahkan menjadi Undang-Undang .
Beberapa Putusan Hakim yang akan dikenal yaitu berupa putusan pemidanaan, putusan bebas, putusan lepas dari segala tuntutan hukum, putusan pemaafan Hakim, atau putusan berupa tindakan
Hal, yang jadi pokok pembahasan, adalah Putusan Pemaafan Hakim. Dalam konsep KUHAP baru Putusan Pemaafan Hakim, adalah pernyataan Hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka yang menyatakan terdakwa terbukti bersalah, tetapi karena ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana serta yang terjadi kemudian, Hakim tidak menjatuhkan pidana atau tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan (vide Pasal 1 ayat 19 KUHAP Baru).
Ketentuan Putusan Pemaafan Hakim, ditegaskan kembali dalam Pasal 246 ayat (1) dan (2) KUHAP Baru.
Namun, apakah Hakim dapat menjatuhkan Putusan Pemaafan Hakim bila dalam proses persidangan Korban tidak bersedia memaafkan perbuatan Terdakwa, sekalipun misalnya perbuatan/tindak pidana yang dilakukan Terdakwa sifatnya ringan?
Dalam Pasal 54 ayat (1) huruf j KUHP Nasional, disebutkan bahwa dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan pemaafan dari Korban dan/atau keluarga Korban.
Selanjutnya Pasal 54 ayat (2) KUHP nasional, menjelaskan ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana, serta yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.
Berdasarkan, hasil rangkuman penulis terhadap pendapat Eddy O.S. Hiariej dan Topo Santoso dalam bukunya berjudul Anotasi KUHP Nasional menjelaskan Pasal 54 ayat (2) KUHP Nasional, dikenal dengan asas rechterlijke pardon atau judicial pardon yang memberi kewenangan kepada Hakim untuk memberi maaf pada seseorang yang bersalah melakukan Tindak Pidana yang sifatnya ringan.
Pemberian maaf ini, dicantumkan dalam putusan Hakim dan tetap harus dinyatakan bahwa Terdakwa terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
Kemudian rechterlijk pardon adalah istilah dalam hukum yang berasal dari Bahasa Belanda yang memiliki arti pengampunan yang diberikan oleh Pengadilan atau Hakim kepada seseorang yang telah terbukti bersalah dalam suatu tindak pidana.
Tindakan tersebut, dilakukan sebagai bentuk kebijaksanaan Hakim memberikan kesempatan kedua kepada pelaku tindak pidana, yang menunjukkan penyesalan dan kemauan untuk memperbaiki perilakunya.
Keputusan mengenai pemberian rechterlijk pardon biasanya didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan tertentu, seperti sejauh mana pelaku menunjukkan penyesalan yang tulus, apakah ia telah mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki diri, serta faktor-faktor lain yang dianggap relevan oleh Hakim.
Pemberian rechterlijk pardon, tidak selalu terjadi dalam setiap kasus pidana dan biasanya bergantung pada kebijaksanaan dan penilaian Hakim terhadap kasus tersebut. Pemberian rechterlijk pardon dapat memberikan dampak yang positif, baik bagi pelaku kejahatan yang mendapat kesempatan kedua untuk memperbaiki diri, maupun bagi masyarakat yang ingin melihat adanya rehabilitasi dan reintegrasi bagi pelaku kejahatan.
Meskipun rechterlijk pardon dapat menjadi bentuk pijakan memperbaiki kesalahan dan meraih kesempatan kedua, namun tidak semua kasus pidana, akan memperoleh pengampunan tersebut.
Hakim harus mempertimbangkan secara seksama setiap kasus dan faktor-faktor yang terlibat sebelum membuat keputusan mengenai pemberian rechterlijk pardon.
Rumusan Pasal 54 ayat (2) KUHP Nasional, menyoroti pentingnya pertimbangan segi keadilan dan kemanusiaan dalam proses peradilan pidana. Hal ini, menggarisbawahi dalam menentukan hukuman terhadap seseorang yang terlibat dalam tindak pidana, tidak hanya melihat seberat apa perbuatannya, tetapi juga mempertimbangkan faktor-faktor lain, seperti keadaan pribadi pelaku, keadaan pada saat tindak pidana dilakukan, serta hal-hal yang terjadi setelahnya.
Dengan memperhitungkan ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, serta faktor waktu yang menjadi konteks tindak pidana, Pengadilan dapat lebih cermat dan adil dalam menentukan hukuman. Pertimbangan atas segi keadilan dan kemanusiaan dalam proses hukum, penting untuk menjaga keseimbangan antara penegakan hukum yang tegas dengan keadilan yang manusiawi.
Maka, rumusan tersebut menunjukkan kesadaran akan kompleksitas kasus pidana dan kebutuhan untuk melihat setiap individu sebagai manusia yang dapat berubah dan memperbaiki diri.
Selain itu, menekankan pentingnya prinsip kemanusiaan dalam penegakan hukum yang tidak boleh diabaikan. Implementasi rumusan ini memerlukan ketelitian dalam analisis kasus, keberpihakan kepada korban, serta kesediaan untuk memberikan kesempatan kepada pelaku tindak pidana untuk memperbaiki diri.
Berdasarkan pendekatan yang holistik, diharapkan keputusan hukum yang diambil akan lebih mengakomodasi nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan, serta mampu memberikan dampak positif bagi seluruh pihak yang terlibat dalam proses peradilan pidana.
Maka, guna menjawab pertanyaan apakah Hakim dapat menjatuhkan Putusan Pemaafan Hakim bila dalam proses persidangan korban tidak bersedia/tidak mau memaafkan perbuatan Terdakwa? Penulis berpendapat, Hakim tidak dapat menjatuhkan putusan Pemaafan Hakim sekalipun misalnya perbuatan/tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa sifatnya ringan.
Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 54 ayat (1) KUHP Nasional, harus dipertimbangkan oleh Hakim dalam pemidanaan yang salah satunya mempertimbangkan mengenai adanya pemaafan dari korban dan/atau keluarga korban.
Bagaimana mungkin seorang Hakim dapat memaafkan perbuatan Terdakwa, sementara korban sendiri tidak mau untuk memaafkan perbuatan Terdakwa. Hal tersebut, dapat menciderai rasa keadilan bagi korban
Sama halnya dengan penyelesaian perkara melalui mekanisme keadilan restoratif yang salah satu persyaratannya adalah adanya pemaafan dari korban dan/atau keluarganya (vide Pasal 79 KUHAP dan Perma 1/2024).
Jadi sifat pemaafan dari Korban dan/atau keluarganya menurut Penulis krusial dalam penjatuhan pidana bagi Terdakwa yang akan dipertimbangkan oleh Hakim dalam putusannya.
Namun, diluar itu dengan memperhatikan ringannya perbuatan Terdakwa, Hakim tentu dapat menjatuhkan alternatif pemidanaan lainnya (diluar Putusan Pemaafaan Hakim).
Adapun artikel ini, hanya merupakan pandangan/opini pribadi dari Penulis, yang tentunya juga melalui tulisan ini dapat membuka ruang diskusi yang mendalam diantara Para Hakim, guna menghindari terjadinya multitafsir atau kesalahan penafsiran dalam penjatuhan Putusan Pemaafan Hakim.
Referensi:
- Anotasi KUHP Nasional (Eddy O.S. Hiariej . Topo Santoso)
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
- Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Baru
- Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif