Sistem peradilan tata usaha negara di Indonesia sangat dekat dengan sistem peradilan administrasi Prancis. Akan tetapi beberapa konsep dalam peradilan administrasi Prancis telah berevolusi. Salah satunya yang telah berevolusi adalah konsep dalam penundaannya keputusan pemerintah melalui pengadilan administrasi Prancis.
Penundaan keputusan administrasi Prancis pada awalnya dimulai dengan konsep sursis à exécution. Namun, sejak 2000 berevolusi menjadi lebih ringkas dengan konsep référé-suspension. Penyebab evolusi itu adalah untuk mengakomodir kebutuhan masyarakat terhadap penundaan keputusan pemerintah.
Mekanisme sursis à exécution pada dasarnya sangat ketat dan bersifat pengecualian. Hakim administrasi Prancis juga begitu enggan dan sulit menangguhkan keputusan pemerintah kecuali alasannya sangat kuat.
Alasan kuat pertama adalah rumus boni juris (asap kebenaran hukum) yang menyangkut keraguan serius terhadap legalitas keputusan yang digugat. Alasan kuat kedua adalah periculum in mora (bahaya dalam penundaan) atau kerugian serius yang akan timbul jika keputusan langsung dilaksanakan.
Persyaratan memperoleh sursis à exécution memang akhirnya perlahan melonggar, tetapi tetap terlalu lambat dan sukar dikabulkan. Dinilai terlalu lambat karena sursis à exécution sangat terkait dengan gugatan pokok yang memakan waktu lama. Kerap kali terjadi ketika putusan penangguhan dikeluarkan kerugian sudah terlanjur terjadi karena keputusan sudah dilaksanakan.
Evolusi baru terjadi setelah terbitnya Pasal L-521-1 Kode Hukum Peradilan Administratif Prancis pada 2000. Di situ, diperkenalkan konsep prosedur référé-suspension. Tujuan utama dari référé-suspension menyediakan mekanisme penangguhan yang lebih cepat, efisien, dan mudah diakses. Prosedur ini dirancang sebagai "peradilan darurat" yang memungkinkan hakim administratif mengambil keputusan penangguhan dalam waktu singkat.
Terdapat empat aspek utama perbedaan antara référé-suspension dengan sursis à exécution. Pertama, aspek urgensi di mana urgensi menjadi harus lebih terang benderang dan jelas dalam prosedur référé-suspension. Artinya, hakim harus dapat menilai dengan jelas apakah akan ada kerugian serius jika keputusan tidak ditangguhkan.
Kedua, aspek kecepatan prosedur di mana proses référé-suspension jauh lebih cepat daripada sursis à exécution. Dalam konsep référé-suspension, hakim administrasi memiliki kewenangan untuk memutuskan permohonan penangguhan secara terpisah dan dengan lebih cepat. Hakim administrasi di Prancis dapat memutuskan penangguhan keputusan dalam hitungan hari dan paling lama dua pekan.
Aspek ketiga, yakni keraguan serius atau rumus boni juris yang bergeser ke arah doute sérieux sur la légalité atau keraguan serius tentang legalitas. Aspek ini harus dibuktikan oleh pemohon. Dalam doute sérieux sur la légalité, pemohon référé-suspension cukup memberikan argumen yang cukup kuat untuk menimbulkan "keraguan serius" di benak hakim mengenai keabsahan suatu keputusan administratif.
Sementara itu, aspek keempat adalah fleksibilitas, di mana référé-suspension juga dapat diterapkan pada keputusan penolakan administrasi yang sebelumnya mungkin lebih sulit ditangguhkan.
Praktik sursis à exécution secara bertahap berkurang setelah munculnya référé-suspension. Namun, perlu dicatat bahwa konsep "sursis" masih digunakan dalam konteks banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama. Konsep sursis ini masih terus digunakan untuk menunda pelaksanaan keputusan pengadilan administrasi.
Konsep sursis digunakan untuk menangani konsep banding dalam hukum Prancis. Dalam hukum Prancis, banding tidak bersifat penangguhan (suspensif). Artinya sambil menunggu putusan dari Pengadilan Tinggi Administratif (Cour administrative d'appel) pihak yang kalah di tingkat pertama harus melaksanakan putusan pengadilan.
Padahal rata-rata perkara di tingkat banding membutuhkan waktu satu hingga satu setengah tahun. Konsep sursis à exécution inilah, yang kemudian digunakan untuk menahan agar putusan pengadilan tingkat pertama tidak dijalankan dulu sebelum hakim banding mengeluarkan keputusan.