Gadai Saham: Pengaturan, Eksekusi, dan Permasalahannya

Pasal 60 Ayat (5) UU PT, mengamanatkan, hak suara atas saham yang diagunkan tetap ada pada pemegang saham,
Ilustrasi perdagangan saham. Foto : Freepik
Ilustrasi perdagangan saham. Foto : Freepik

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), memberikan landasan yuridis fundamental mengenai status saham sebagai objek gadai atau jaminan fidusia. 

Pasal 60 Ayat (1) UU PT secara tegas, mengklasifikasikan saham sebagai benda bergerak, yang secara hukum membuka ruang bagi pembebanan jaminan atasnya. 

Penegasan ini, dilanjutkan dalam Ayat (2), yang secara eksplisit menyatakan bahwa saham dapat diagunkan baik dengan mekanisme gadai maupun jaminan fidusia. 

Secara pengaturan, UU PT mengatur adanya pemisahan yang jelas antara nilai aset dan tata kelola. 

Pasal 60 Ayat (5) UU PT, mengamanatkan, hak suara atas saham yang diagunkan tetap ada pada pemegang saham, berarti hal ini dapat disimpulkan, meskipun nilai saham telah beralih menjadi agunan bagi kreditur ketika terjadi perjanjian utang-piutang, hak-hak korporasi, terutama hak pada Pasal 52 UU PT.

Hal ini, seperti hak untuk hadir dan memberikan suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), tidak ikut beralih karena kedudukan kreditur sebagai penerima gadai atau fidusia hanya memegang jaminan atas nilai aset, sementara debitur sebagai pemegang saham tetap diakui sebagai pemegang kendali penuh atas hak suaranya di dalam perseroan.

Selain itu, Pasal 60 Ayat (3) UU PT yang mengharuskan setiap pembebanan jaminan atas saham, baik gadai maupun fidusia, wajib dicatat dalam daftar pemegang saham dan daftar khusus yang dikelola oleh direksi perseroan.

Dengan demikian, fokus utama UU PT bukanlah mengatur mekanisme eksekusi jaminan, melainkan mengatur akibat dari penjaminan saham tersebut terhadap tata kelola internal perseroan dan status pemegang saham. 

Di luar UU PT, mekanisme gadai diatur dalam Pasal 1150 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) mengenai konsep gadai, yang mensyaratkan adanya penyerahan kekuasaan atau penyerahan fisik barang berdasarkan asas inbezitselling. 

Namun, hal tersebut menjadi permasalahan secara konseptual karena terdapat perbedaan fundamentalnya, yaitu:

  • Gadai (KUHPerdata): Hak milik tetap pada debitur, namun asas inbezitstelling mensyaratkan penguasaan atas barang (fisik) harus diserahkan kepada kreditur. Ini menjadi problematis untuk saham modern yang bersifat scripless (tanpa warkat atau catatan elektronik).
  • Jaminan Fidusia (UU Nomor 42 Tahun 1999): Hak kepemilikan (secara yuridis) beralih kepada kreditur atas dasar kepercayaan, namun penguasaan atas barang (saham) tetap ada pada debitur.

Mengingat perdagangan saham pada saat sekarang bersifat scripless, banyak praktisi hukum berpendapat, jaminan fidusia adalah mekanisme yang lebih tepat secara yuridis dibandingkan gadai. Karena tidak mensyaratkan penyerahan penguasaan fisik.

Dalam konteks apabila debitur wanprestasi, maka pada ujungnya akan berakhir saham yang diagunkan tersebut dilakukan eksekusi dengan didasarkan pada Pasal 1155 dan 1156 KUHPerdata, meliputi dua cara eksekusi, antara lain:

  1. cara pertama dengan penjualan di muka umum (lelang) melalui KPKNL dan/atau Bursa Efek.
  2. cara kedua dengan penjualan dengan cara menuntut gugatan melalui pengadilan, agar dapat ditentukan oleh hakim dalam suatu keputusan.

Dalam konteks eksekusinya, eksekusi gadai saham dibedakan terhadap jenis perseroan terbatas yaitu PT Terbuka dan PT Tertutup, yakni: 

  • eksekusi gadai saham untuk PT. Tertutup dapat dilakukan melalui cara pertama yakni penjualan di muka umum (lelang) melalui KPKNL dengan syarat awal adanya surat peringatan sebanyak tiga kali diakhiri adanya surat pernyataan wanprestasi (default) dengan sifat opsional, yang kemudian nantinya pemohon akan mengajukan permohonan lelang, memperoleh laporan penilaian atas objek gadai, sampai dengan tahap pengumuman pemenang lelang dan penyerahan saham yang digadaikan kepada pembeli lelang, sebagaimana tahapan proses pada umumnya.
  • eksekusi gadai saham untuk PT. Terbuka terbagi atas pasar reguler dan pasar negosiasi, yang mana pasar reguler didasarkan proses tawar-menawar secara lelang yang berkesinambungan (continuous auction market) setelah dilakukannya transaksi bursa (T+2), sedangkan pasar negosiasi didasarkan tawar menawar langsung secara individual dan tidak secara lelang yang berkesinambungan (non-continuous auction market).

Oleh karenanya, dapat disimpulkan eksekusi gadai saham untuk PT Terbuka dapat saja dilakukan dengan cara pertama, yakni lelang pada bursa efek di dalam pasar reguler, atau sebagaimana cara kedua melalui pasar negosiasi dengan didahului adanya keputusan dari hakim, apabila gugatan wanprestasi dilayangkan kepada debitur oleh kreditur terhadap gadai saham tersebut. 

Meskipun begitu, terdapat perbedaan mekanisme cara pertama terlihat ketika pelaksanaan Pasal 1155 KUHPerdata yang mensyaratkan proses lelang dilakukan tergantung kebiasaan setempat, dimana perbedaannya eksekusi gadai saham pada PT. Tertutup dilakukan melalui KPKNL.

Sedangkan eksekusi gadai saham pada PT Terbuka melalui bursa efek, selain itu letak perbedaannya juga terlihat dari alur mekanisme, saham pada PT Terbuka setelah dilakukan pelayangan surat peringatan oleh kreditur.

Selanjutnya, kreditur dapat memberitahu bank kustodian atas terjadinya peristiwa wanprestasi yang nantinya bank kustodian dapat melakukan pembukaan rekening atau saham yang digadaikan sampai dengan proses penjualan dilakukan oleh perantara dua makelar hingga diakhiri pembeli memperoleh saham setelah bank kustodian memperoleh harga pembelian saham yang ditetapkan oleh makelar yang ditetapkan

Secara permasalahan, dalam pengaturan dan eksekusinya terdapat empat masalah utama yaitu:

  1. Pendefinisian pada KUHPerdata tidak dapat mengakomodir penyerahan secara fisik karena pada zaman sekarang saham dilakukan pencatatan secara elektronik karena dapat saja syarat inbezitstelling dianggap tidak terpenuhi secara kontekstual.
  2. Ambiguitas Pasal 1156 KUHPerdata, karena tidak menjelaskan apakah ditentukan oleh hakim dalam suatu keputusan tersebut didefinisikan berupa gugatan atau cukup dengan suatu permohonan dengan penetapan;
  3. Eksekusi dengan cara kedua melalui lelang pada bursa, di mana KSEI dapat melakukan pemblokiran atau pencabutan rekening atau saham, namun proses tersebut tidak menjamin kondisi nilai saham yang bersifat fluktuatif ketika akan dieksekusi meskipun pada Pasal 1155 KUHPerdata menegaskan, proses penjualannya dilakukan dengan perantara dua orang makelar, dengan ketentuan tergantung pasar yang digunakan apabila menggunakan mekanisme pasar reguler maka, batasan (penolakan otomatis) harga saham lebih dari 25%+ atau 7% ke bawah harga acuan dengan maksimal 50.000 lot, sedangkan untuk melebihi ketentuan dapat dimungkinkan melalui mekanisme pasar negosiasi.
  4. Kurangnya kekuatan hukum pada parate eksekusi, akibat gugatan debitur mengajukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) ke pengadilan dengan tuntutan provisi untuk menunda lelang KPKNL dan/ atau Bursa Efek, sehingga dimungkinkan menghambat jalannya proses penjualan di muka umum (lelang).

Sebagai penutup, saham adalah salah satu aset paling likuid dan berpengaruh dalam perekonomian modern, termasuk sebagai instrumen jaminan. 

Namun, permasalahan seperti perbedaan gadai-fidusia, degradasi nilai fluktuatif, dan hambatan eksekusi melalui KPKNL dan/atau Bursa Efek menuntut sinergi antar lembaga.

Oleh karena itu, dibutuhkan harmonisasi peraturan oleh DPR, Mahkamah Agung, KPKNL, BEI, KSEI, dan lembaga lainnya.

Penulis: Rafi Muhammad Ave
Editor: Tim MariNews