Albert Einstein melalui teorinya yang monumental, teori relativitas, mengubah cara pandang manusia tentang ruang dan waktu.
Dalam pandangan klasik Newton, ruang dan waktu dianggap absolut, berdiri sendiri, tidak dipengaruhi apa pun. Namun Einstein membuktikan sebaliknya: ruang dan waktu bersifat relatif, bergantung pada kecepatan dan kerangka acuan pengamat. Satu hal yang tetap hanyalah kecepatan cahaya, itulah konstanta universal.
Di luar fisika, gagasan ini dapat dijadikan metafora bagi hukum dan keadilan.
Relativitas Waktu dan Proses Hukum
Bagi terdakwa yang ditahan, satu hari terasa sangat panjang dan menyesakkan. Bagi aparat penegak hukum, satu hari hanyalah bagian dari jadwal sidang. Realitas waktu itu terasa berbeda.
Dari sini kita belajar bahwa hukum tidak boleh dipandang sekadar prosedur, melainkan pengalaman hidup yang nyata. Hakim, jaksa, dan aparat dituntut untuk hadir dengan empati, menyadari bahwa setiap keputusan memengaruhi hidup seseorang secara mendalam.
Ketika terjadi peristiwa sebuah delik pidana: apa yang dirasakan terdakwa, Hakim, dan korban bisa berbeda. Demikian pula yang terjadi dalam hukum keluarga. Ketika terjadi sengketa antara suami istri, yang ada adalah: suami, hakim, dan istri.
Perbedaan tersebut muncul dari perbedaan sudut pandang. Menjadi tugas hakim untuk memadukan 3 perasaan tersebut. Dan, muaranya adalah “keadilan”.
Jika yang demikian dihayati oleh setiap hakim, maka tidak ada istilah “keadilan belah bambu”. meskipun “terlihat sama besar” tetapi terbentuk dengan cara yang berbeda: satu diinjak, satu diangkat. Ukuran sama masih belum pasti (relatif) menyakitkan satu pihak sudah pasti.
Relativitas dan Konteks Sosial
Ruang dan waktu dalam relativitas dipengaruhi lingkungan sekitarnya. Begitu pula hukum: ia tidak hidup di ruang hampa, melainkan dalam konteks sosial, budaya, bahkan politik.
Itulah mengapa Prof. Satjipto Rahardjo pernah menegaskan: “Hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.” Jika hukum ditegakkan kaku tanpa mempertimbangkan kondisi sosial, hasilnya justru bisa melukai rasa keadilan.
Keadilan sebagai Konstanta Universal
Relativitas mengajarkan bahwa ada yang relatif, ada yang mutlak. Dalam fisika, yang mutlak hanyalah cahaya. Dalam hukum, yang mutlak adalah keadilan.
Adapun undang-undang, peraturan, atau prosedur hanyalah instrumen yang sifatnya dapat berubah sesuai zaman.
Maka tugas penegak hukum bukan sekadar menjalankan teks peraturan, melainkan memastikan nilai keadilan yang menjadi tujuan utama tetap terjaga.
Di sebuah harian nasional, Prof. Bismar Siregar pernah membuat tulisan yang sangat reflektif tentang keadilan.
Pada intinya menurutnya, ketika anda akan memutuskan perkara tanyalah nurani Anda: ”Adilkah yang akan saya putuskan?” Beliau juga menegaskan keadilan adalah yang utama, pasal yang melandasinya bisa dicari.
Keseimbangan yang Dinamis
Alam semesta bekerja dalam keseimbangan dinamis antara ruang, waktu, energi, dan massa. Begitu pula hukum bekerja dalam keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan sosial.
Jika hukum terlalu kaku, masyarakat bisa tercekik. Jika terlalu longgar, lahirlah ketidakpastian. Di sinilah relevansi teori relativitas menjadi pengingat: hukum harus fleksibel namun tidak kehilangan arah, bergerak menyesuaikan zaman, tetapi tetap berpijak pada nilai keadilan yang hakiki.
Einstein menyingkap rahasia alam, sedangkan penegak hukum ditugaskan menjaga harmoni kehidupan sosial.
Keduanya sama-sama mengajarkan bahwa kebenaran sejati tidak terletak pada kekakuan, melainkan pada kemampuan membaca konteks dan menjaga nilai yang paling fundamental.
Dalam fisika yang fundamental dan konstan itu adalah cahaya, dalam hukum itu adalah keadilan.