Tidak ada hukum yang benar-benar hidup tanpa kesadaran hukum yang tumbuh di dalam masyarakatnya. Hukum bukan hanya teks, tetapi keyakinan kolektif akan nilai-nilai yang patut ditegakkan. Ketika masyarakat tidak merasa terlibat secara batin dengan hukum, maka hukum tinggal menjadi deretan pasal yang hampa makna.
Teori E. Ehrlich memperkenalkan gagasan hukum yang hidup-“leben des Recht”-sebagai hukum yang sesungguhnya berfungsi dalam praktik sosial. Hukum tidak hanya berada di dalam buku, tetapi tumbuh dari kebiasaan, relasi sosial, dan struktur nilai yang dianut masyarakat sehari-hari. Di sinilah hukum menjadi cerminan hidup dari dinamika kolektif manusia.
Pendekatan ini menunjukkan bahwa, kesadaran hukum jauh lebih penting daripada sekadar kepatuhan legalistik. Masyarakat yang patuh karena sadar, bukan karena takut, akan lebih stabil dan harmonis. Kesadaran hukum tumbuh ketika hukum dirasakan adil, rasional, dan mencerminkan nilai-nilai luhur yang dijunjung bersama.
Jürgen Habermas menambahkan dimensi diskursif terhadap kesadaran hukum. Hukum menurutnya hanya sah jika terbentuk melalui proses komunikasi yang rasional dan inklusif. Dalam ruang publik yang sehat, setiap warga punya kesempatan menyuarakan pendapat, sehingga hukum menjadi hasil musyawarah, bukan dominasi kekuasaan.
Habermas percaya bahwa legitimasi hukum tidak datang dari kekuasaan formal, melainkan dari proses dialog yang jujur dan terbuka. Ketika hukum lahir dari partisipasi, maka kesadaran hukum akan tumbuh secara organik. Masyarakat akan merawat hukum sebagai bagian dari ekspresi moral kolektif mereka.
Contoh nyata dari kesadaran hukum bisa dilihat dalam budaya antre di tempat umum. Tidak ada polisi yang mengawasi, tetapi masyarakat tetap tertib karena sadar akan nilai keadilan dalam giliran. Ini menunjukkan bahwa kesadaran hukum lebih efektif daripada pemaksaan formal. Hukum yang hadir dalam batin jauh lebih kuat dari hukum yang hanya hadir sebagai tembok.
Kesadaran hukum juga tampak dalam komunitas adat yang menjaga hutan secara turun-temurun. Tanpa aturan tertulis pun, masyarakat menjaga larangan menebang pohon tertentu, karena hukum adat itu hidup di dalam kesadaran kolektif. Inilah hukum yang mengakar, bukan yang dipaksakan.
Namun, kesadaran hukum tidak tumbuh dengan sendirinya. Ia membutuhkan pendidikan hukum yang membumi, komunikasi hukum yang terbuka, dan sistem hukum yang adil. Ketika aparat hukum bertindak adil dan transparan, maka masyarakat pun belajar mempercayai dan mematuhi hukum bukan karena takut, tetapi karena hormat.
Keadilan yang nyata akan menumbuhkan kesadaran hukum yang sehat. Masyarakat yang melihat pelaku kejahatan dihukum dan korban dilindungi akan semakin yakin bahwa hukum bukan alat kekuasaan, tetapi perisai moral. Maka setiap keputusan hukum harus membawa pesan yang mendidik dan menumbuhkan nilai kepercayaan.
Dalam konteks negara demokratis, kesadaran hukum menjadi syarat utama bagi kelangsungan hidup institusi hukum. Demokrasi tanpa kesadaran hukum mudah berubah menjadi anarki hukum, di mana hak dipaksakan secara sepihak dan kekuasaan dimanipulasi demi kepentingan kelompok tertentu.
Kesadaran hukum juga adalah panggilan spiritual. Hukum yang sejati bukan sekadar sistem aturan, melainkan cerminan nilai ilahi tentang kebenaran, keadilan, dan tanggung jawab. Oleh sebab itu, menumbuhkan kesadaran hukum berarti menanamkan nilai-nilai luhur yang selaras dengan fitrah manusia yang hanif.
Kehadiran hukum dalam masyarakat idealnya bukan menakutkan, tetapi menentramkan. Hukum menjadi penuntun arah, bukan cambuk yang menjerat. Dalam cahaya kesadaran hukum, masyarakat dapat berjalan dalam keteraturan yang damai dan mulia.
Menghidupkan hukum berarti menyentuh hati masyarakat. Artinya, bahasa hukum harus menyapa nurani, bukan sekadar menyusun kalimat dalam bahasa teknis. Komunikasi hukum harus ramah, bijak, dan mendidik, sehingga masyarakat tidak merasa dijajah oleh aturan, tetapi dipeluk oleh keadilan.
Kesadaran hukum bukan proyek satu malam. Ia adalah hasil dari proses panjang yang melibatkan pendidikan, keteladanan, dan keadilan yang konsisten. Setiap keluarga, sekolah, dan institusi memiliki peran untuk menanamkan nilai hukum yang berakar pada martabat manusia.
Dari sini kita mengerti bahwa harapan akan tumbuhnya masyarakat yang taat hukum bukan karena tekanan, tetapi karena cinta pada nilai keadilan. Ketika hukum menjadi bagian dari nurani, maka tidak ada yang lebih mulia selain menjaga dan menegakkannya sebagai wujud ibadah sosial dan jalan menuju kehidupan yang baik.