Wacana Penambahan Usia Purna Hakim: Semakin Tambah Umur Semakin Matang

Penambahan usia pensiun hakim bukanlah langkah mundur, melainkan pengakuan atas realitas penuaan secara positif dan manusiawi, dengan memperhatikan keadilan yang bermartabat.
Ilustrasi hakim perempuan. Foto freepik.com
Ilustrasi hakim perempuan. Foto freepik.com

Saat ini, usia pensiun hakim Indonesia ditetapkan 65 tahun. Usia pensiun tersebut, jadi topik hangat, karena adanya rencana mengubah batas usia pensiun hakim. Dalam diskusi rancangan UU Jabatan Hakim yang diselenggarakan Mahkamah Agung dan Pengurus Pusat Ikatan Hakim Indonesia (PP IKAHI) pada Selasa (15/7) secara daring, di mana ada wacana memperpanjang usia pensiun tersebut menjadi 67 tahun. 

Wacana ini tidak terlepas dari perdebatan mengenai relevansi umur, dalam kapasitas hakim menjalankan tugasnya secara efektif, adil, dan sesuai norma masyarakat kontemporer. 
Membahas penambahan usia purnahakim, terdapat penolakan penetapan usia pensiun yang lebih lama, karena ada pandangan bahwa hakim yang menua, kehilangan sentuhan dinamika sosial dan nilai-nilai yang berkembang menurut teori pelepasan (disengagement), sebagaimana dikemukakan Cummings dan Henry.

Teori pelepasan Cummings dan Henry banyak dikritik, karena belum ada perbandingan dengan ilmu gerontologi positif (ilmu penuaan). Penuaan tidak selalu memberikan keterbatasan, melainkan memungkinkan pembagian kebijaksanaan, lewat keterlibatan sosial. 

Menurut ilmu gerontologi positif, penuaan tidak identik penurunan kapasitas mental atau keterputusan dari masyarakat. Banyak individu lanjut usia, termasuk hakim, tetap produktif, aktif secara sosial, dan adaptif atas perubahan zaman. Banyak penelitian gerontologi positif, menunjukkan bahwa seiring bertambahnya usia, individu cenderung mengandalkan pengalaman, keterampilan, dan hubungan sosial yang telah terbentuk selama hidup mereka, guna menanggapi tantangan baru yang berkelanjutan dan dinamis.

Terdapat risiko beberapa hakim bertahan dengan pola fikir, yang sudah tidak relevan. Namun risiko tersebut, bukan ansich diakibatkan usia, melainkan lebih pada kemampuan individu dalam beradaptasi dan merefleksikan perubahan sosial. 

Belum ada bukti usia tua, otomatis membuat hakim kehilangan sensitivitas terhadap nilai-nilai masyarakat. Justru, pengalaman panjang, dapat memperkaya perspektif dan memperdalam pemahaman terhadap kompleksitas hukum, serta kehidupan sosial.

Penambahan usia purnahakim jadi 67 tahun, dapat dipandang sebagai pengakuan kapasitas dan kontribusi hakim senior, yang masih kompeten. Kesenjangan usia dan periode perekrutan hakim baru, dapat dipecahkan dengan penambahan usia purnahakim. Dengan pengawasan kinerja dan mekanisme evaluasi yang ketat, usia tidak seharusnya jadi penghalang pelaksanaan peradilan. Hal lainnya, yang lebih penting adalah peningkatan kualitas pikiran, integritas, dan kemauan untuk terus belajar.

Dengan demikian, penambahan usia pensiun hakim bukanlah langkah mundur, melainkan pengakuan atas realitas penuaan secara positif dan manusiawi, dengan memperhatikan keadilan yang bermartabat.